Wajahnya kuyu dengan mata sayu, tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Itulah kondisi Rosi Nurmaini (30) warga Cubadak Aia, Kelurahan Lubuak Lintah Kecamatan Kuranji Pandang, yang terkapar lemas berjibaku melawan kanker ganas pada payudara sebelah kanan.
Di ruang perawatan Marwa 1 Rumah Sakit Siti Rahmah Padang, ibu dua anak itu dirawat. Pada Minggu (16/10), ketika Tim Dompet Dhuafa Singgalang mengunjunginya, Rosi terlihat tidak berdaya, dengan penyakitnya yang sudah mengganas.
Tubuhnya kurus terbaring lemah, dengan botol infus yang menggantung tepat di atas kepalanya. Guratan perih tergambar pada raut wajahnya, setiap kali dia mencoba berganti posisi di tempat tidur.
Terang saja, Rosi merintih. Betapa tidak, kanker payudara yang dialaminya telah meruyak, bengkak, berwarna merah kehitaman dengan benjolan yang lebih besar dari kepala orang dewasa.
Rosi yang turut ditemani Rusmaini (ibu Rosi) bersama Ridwan (suami Rosi), sempat menceritakan awal mula penyakit ganas itu menyerang.
"Lebih kurang sekitar tiga setengah tahun lalu, saya periksakan enam bulan kehamilan yang kedua kepada seorang bidan," kata Rosi.
Ketika pemeriksaan, ditemukan benjolan sebesar ujung jari kelingking pada payudara kanan. Sempat dia tanyakan kepada bidan mengenai hal itu, namun sang bidan hanya mengatakan bahwa itu hal biasa terdapat pada ibu yang tengah mengandung dan akan hilang ketika melahirkan.
Ia cukup tenang mendengar keterangan itu, apalagi setelah dua hari anaknya yang kedua--Humairah--lahir normal, benjolan itu hilang.
Di akhir 2010, setelah Humairah berusia dua tahun enam bulan, kekhawatiran kembali muncul karena benjolan yang dulu sempat hilang, timbul kembali di tempat yang sama.
Awalnya memang sebesar ujung kelingking namun lama-kelamaan ukurannya semakin membesar, berwarna kemerahan dan Rosi mulai merasakan sakit.
"Satu bulan jelang Ramadhan 2011, benjolan sudah sebesar satu kepalan tinju orang dewasa dan saat itu suami saya memberikan terapi pengobatan herbal. Sakitnya hilang, tapi benjolannya tak mau berkurang. Bahkan, satu minggu setelah Ramadhan, benjolan itu pecah," jelas Rosi dengan suara berat.
Apa mau dikata, sangat disayangkan, kondisi itu tidak segera ditangani serius secara medis, hanya merutinkan minum obat herbal yang dibelikan sang suami.
Terlebih lagi, Ridwan yang sehari-hari bekerja sebagai pengantar air isi ulang hanya berpenghasilan Rp400 ribu per bulan. Untuk biaya pengobatan ke rumah sakit, menjadi sangat sulit baginya.
Kondisi Rosi semakin parah. Setiap hari benjolan yang pecah itu semakin menganga. Lukanya terus menebal, membesar hingga sebesar buah kelapa dan mulai bernanah.
Dengan kondisi seperti itu, dia mengaku tidak bisa duduk lagi, susah tidur karena dada kanannya terasa sakit. Keluarga tidak dapat berbuat banyak, hanya obat herbal yang mampu dibeli. Kondisi ekonomi yang menghukum.
Rosi rutin mengonsumsi obat herbal itu, hingga dia mampu bertahan walau bersusah payah. Namun kondisi itu tidak berlangsung lama, karena obat tersebut sempat langka diperoleh dan dia pun berhenti mengonsumsi obat.
Pada akhirnya, ditemani suami dan keluarga lain, Rosi dibawa ke salah satu rumah sakit di Padang.
"Sudah tiga hari pulang balik, istri saya hanya periksa darah dan kencing saja, setelah itu disuruh pulang. Tak satu obat pun yang diberikan dari rumah sakit," ujar Ridwan.
Dengan kondisi seperti itu, sang istri terpaksa dibawa pulang sembari kecewa dan pengobatan serius urung didapat.
"Pada Kamis (13/10) pagi, istri saya tiba-tiba menggigil hebat, badannya mendingin, matanya nyaris hanya tampak putih saja," katanya.
Ridwan mengungkapkan, seolah istrinya itu tengah sekarat. Pagi itu juga dia bawa istrinya ke rumah sakit lain di kota Padang.
Namun disayangkan, karena kondisi Rosi telah parah dan peralatan terbatas, pihak rumah sakit meminta mereka untuk merujuk ke rumah sakit yang pertama kali mereka datangi.
"Saya sudah kecewa dan trauma ketika itu dan tak mau antarkan istri ke sana lagi. Kami putuskan untuk membawa ke rumah sakit Siti Rahmah dan alhamdulillah istri saya langsung segera ditangani dan diberi obat-obatan," jelas Ridwan.
Pihak rumah sakit menyarankan Ridwan untuk tetap menjaga sang istri. Otomatis pekerjaannya pun terbengkalai. Hampir tiga minggu kerjanya tidak efektif lagi, bahkan satu minggu terakhir Ridwan tidak kerja sama sekali.
Kebutuhan hidup terus berlanjut dan itu butuh uang. Bahkan anaknya yang sulung sudah duduk di bangku SD kelas 2, delapan tahun usianya kini.
Ridwan semakin galau, apalagi statusnya kini berutang dengan pihak rumah sakit. Sewa per hari ruangan tempat istrinya dirawat Rp80.000, itu belum masuk biaya obat-obatan, apalagi kemungkinan besar istri akan menjalani operasi pengangkatan kanker.
Dibantu Lima Kantong Darah
Saat mendengarkan kondisi penyakit yang sedang diderita Rosi, Dompet Dhuafa Singgalang menanggapi kegelisahan Ridwan yang kini tengah memikirkan untuk pengganti darah yang telah disediakan rumah sakit untuk istrinya selama tiga hari sebanyak lima kantong.
Dompet Dhuafa Singgalang segera menghubungi relasi yang ada untuk menghadirkan pendonor darah. Hingga Minggu (16/10) sore berhasil mengumpulkan enam orang pendonor darah. Lima kantong pun terpenuhi.
Saat ini, Dompet Dhuafa Singgalang terus berupaya mencari donatur yang bersedia membantu biaya pengobatan Rosi, termasuk biaya operasi pengangkatan kanker yang diperkirakan mencapai Rp25 juta hingga Rp30 juta.
Bagi para donatur yang berniat untuk membantu dapat menyerahkan langsung bantuannya ke Graha Kemandirian Dompet Dhuafa Singgalang Jl. Juanda No. 31 C Pasar Pagi, Padang, telepon 0751-40098 atau transfer donasi melalui rekening BNI Syariah 234.66666.6 a/n Dompet Dhuafa Singgalang. (*)
Rosi pun Hanya Bisa Pasrah
Rosi terbaring lemah di Rumahsakit Siti Rahmah, Minggu (16/10).