Kendati RUU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah disyahkan DPR masa bakti 2004-2009, Selasa, (29/9) lalu dalam proses pembahasan yang cukup alot dan dikebut, namun UU Tipikor ini belum dapat segera dilaksanakan.
Pasalnya, akan menghadapi uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW).
UU Tipikor ini mereka nilai masih banyak kelemahan dan ketidakpastian, jika dibiarkan maka akan memperlemah upaya pemberantasan korupsi yang sedang dijalankan.
Segala kelemahan yang ditemukan dalam Undang-undang ini secara tersirat nampak untuk memperlemah pemberantasan korupsi yang sedang dilakukan oleh KPK untuk mengusut kasus korupsi yang banyak melibatkan pejabat negara.
Bukan sebaliknya, yaitu untuk memberikan pijakan yuridis yang kuat bagi KPK untuk lebih giat memberantas musuh bangsa tersebut. Undang-undang KPK No 32 tahun 2002 dan UU Tipikor adalah dua produk hukum yang seharusnya sejalan beriringan bukannya menjadi subordinasi atas yang lain.
Gejala untuk memperlemah proses pemberantasan korupsi telah mulai nampak sejak awal-awal pembahasan, mulai dari persidangan yang tidak pernah quorum, hingga berlama-lamanya pembahasan pada pasal yang tidak terlalu substansial.
Menjadi pertanyaan kenapa UU ini diselesaikan pada babak-babak terakhir anggota DPR berada di gedung dewan atau sekitar dua bulan lagi masa jabatan mereka akan habis. Padahal, MK telah memberikan waktu sejak tahun 2006 hingga 19 Desember 2009 ini. Ada kurun waktu tiga tahun bagi DPR untuk melaksanakan putusan MK tersebut.
Jika UU ini sejak awal dijadikan skala prioritas, tentu prosesnya tidak akan seperti sekarang ini, dikebut siang dan malam. UU ini akan menjadi payung hukum demi bersihnya penyelenggara negara ini dari tindakan korupsi.
Diujinya kembali UU ini di depan hakim MK merupakan bukti bahwa UU ini tidak memeliki kualitas legislasi yang dapat memperkuat pemberantasan korupsi ke depan. Artinya, pada pasalnya-pasalnya banyak ditemukan cela-cela dan pasal-pasal karet yang justru akan memperlemah semangat pemberantasan korupsi di negeri ini.
Cela-cela tersebut yang paling utama adalah terkait dengan jumlah komposisi hakim Tipikor, sebanyak lima orang, dengan komposisi sebagai berikut, tiga dari hakim karir yang berinduk ke Mahkamah Agung (MA), dan dua hakim non karir.
Penentuan komposisi tersebut menjadi kewenangan ketua pengadilan negeri untuk menentukan.
Ketua pengadilan negeri adalah bawahan dari hakim MA. Padahal, MK dalam amar putusannya tidak ada mengamanahkan perubahan komposisi hakim tersebut, namun dalam pembahasan UU Tipikor ini, isu ini yang paling hangat dan menjadi pusat perhatian anggota DPR yang terhormat tersebut.
Kedua, terkait dengan kewenangan penuntutan oleh KPK. Hal ini pun mendapat perhatian utama bagi DPR. Berbagai opini pun muncul saat itu, diantaranya ada yang ingin meghapuskan kewenangan penuntutan oleh KPK, dengan alasan bahwa itu adalah kewenangan mutlak lembaga kejaksaan, dasar hukumnya UU No 16/2004 tentang kejaksaan, dan ada yang ingin tetap dipegang oleh KPK karena pada hakekatnya KPK didirikan adalah untuk mengambil alih penuntutan di lembaga kejaksaaan karena tidak mampu melakukan proses penuntutan terutama pada kasus korupsi yang melibatkan petinggi negara.
Namun, pada akhirnya, kewenangan itu tetap diberikan pada KPK kembali, tapi definisi penuntut pada UU Tipikor ini tidak lagi kuat karena fungsinya disamakan dengan kewenangan penuntutan sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Masalah penuntutan sangat penting dijelaskan lebih lanjut sehingga dalam prakteknya nanti tidak terjadi tarik-ulur antara KPK dengan kejaksaan mengenai kewenangan penuntutan.
Ketiga, terkait dengan penyadapan yang selama ini menjadi kewenangan KPK. Hal ini sempat juga diutak-atik oleh DPR yang melakukan pembahasan UU Tipikor ini. Walaupun kewenangan ini tatap dikembalikan pada KPK kembali.
Keempat, juga terkait dengan pembentukan pengadilan Tipikor di 33 propinsi di seluruh Indonesia dibentuk paling lama dua tahun terhitung sejak UU ini diundangkan. Bagaimana dan apa yang akan terjadi, sekiranya dalam waktu dua tahun pengadilan Tipikor di 33 propinsi tersebut tidak terbentuk?. Apa konsekuensi yuridisnya?. Persoalan ini patut dijernihkan lagi melalui uji materi melalui MK nanti. Pertanyaan berikutnya, dalam ilmu hokum pidana terdapat adanya kompetensi pengadilan untuk mengadili perbuatan pidana.
Hal ini juga terkait dengan tempat terjadinya tindak pidana (locus delicty). Misalnya, jika perbuatan pidana tersebut terjadi di wilayah hokum yang merupakan yurisdiksi pengadilan negeri, apakah pengadilan Tipikor yang hanya berada di tingkat propinsi dapat mengadilinya?.
Kenapa Pengadilan Tipikor ini tidak dibentuk juga di tingkat kabupaten/kota. Jika dilihat dari kedudukan otonomi daerah berada di tingkat kabupaten/kota, dan tingkat korupsi pun sudah menjalar ke pemerintah kabupaten/kota. Menurut penulis pengadilan Tipikor sangat relevan juga dibentuk di tingkat kabupaten/kota sehingga pekerjaan pengadilan Tipikor di tingkat propinsi tidak terlalu berat.
Paling tidak, empat hal inilah yang menjadi pokok perdebatan ketika RUU Tipikor dibahas di DPR. Dari awal sudah jelas kelihatan bahwa tidak ada kesungguhan dan keseriusan DPR untuk membuat UU ini lebih bergigi dan berguna bagi pemberantasan korupsi di negeri ini. Publik sudah menduga bahwa sudah ada scenario besar DPR untuk menjungkir balikkan KPK sehingga lemah dalam upaya pemberantasan korupsi.
Buktinya, bagaimana komposisi hakim selalu dijadikan perdebatan mendalam, ada upaya untuk mencabut dan mengurangi kewenangan KPK. Semuanya itu dibuat agar KPK tidak berdaya untuk mengungkap kasus korupsi besar. Salah satu saluran hokum yang dapat digunakan saat ini adalah menguji UU Tipikor ini ke MK agar rasa keadilan masyarakat dapat terpenuhi dengan seadil-adilnya.
(Penulis adalah Wartawan LKBN antara-sumbar.com Perwakilan Kabupaten Pasaman).