"Suara minta tolong itu masih terus terngiang di telinga saya, mulai dari teriakan keras, perlahan, rintihan hingga sayup-sayup lalu hilang sama sekali," kata Toni, pemilik Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) "Sony Sugana College" (SSC) Padang. Setelah berkata itu, Tony tertunduk lunglai dengan mata seolah menahan tangis sambil menatap reruntuhan gedung berlantai empat tempat bimbingan belajar yang telah rata dengan tanah itu. Saat gempa terjadi, Rabu (30/9) siang, diperkirakan ada 40 siswa masih belajar di gedung itu. Kini belum ditahui nasib mereka, karena upaya evakuasi belum lagi dilakukan oleh pihak manapun, kata dia. Setelah gempa dan gedung ambruk, saya mendengar teriakan minta tolong dari reruntuhan itu, tapi tiada yang bisa menolong karena reruntuhan sangat tinggi dengan tiang-tiang beton besar, katanya. Ia menyebutkan, saat hari menjelang senja, teriakan-teriakan itu masih nyaring, meski tiada daya kami untuk memberikan bantuan. Menjelang tengah malam, suara-suara itu masih terdengar meski mulai perlahan yang membuat hati perih mendengarnya di tengah guyuran hujan dan padamnya aliran listrik yang membuat suasana kian mencekam, tambahnya. Saat menjelang subuh, suara minta tolong masih terdengar meski hanya sayup-sayup dan rintihan lemah, katanya. Ketika hari Kamis memulai pagi dan langit mulai terang, suara-suara minta tolong itu sudah tidak terdengar lagi, kata Tony. Tony, selaku pemilik bimbel itu telah menghubungi aparat dan Sarkorlak agar segera diturunkan tim SAR ke lokasi reruntuhan gedung, namun hingga siang dan sore hari belum juga ada yang datang menolong. Ia nampak pasrah namun masih berharap tim SAR segera datang membantu, karena untuk mencari para korban hanya bisa dilakukan dengan bantuan alat berat dan petugas SAR. "Kami tidak bisa berbuat apa-apa, kami pasrah hanya bisa mendengar dan melihat serta terus berharap bantuan segera datang untuk menolong mereka, tapi sampai kini tiada kunjung tiba," katanya lirih. Hingga Jumat upaya mencari korban di reruntuhan gedung itu belum dilakukan dan nasib korban yang diduga tertimbun belum dapat diketahui. Upaya pencarian korban gempa yang tertimbun reruntuhan gedung memang belum merata, karena tim SAR yang hanya dibantu beberapa alat berat terfokus di lokasi yang diduga ada korban dalam jumlah besar mencapai ratusan. Sedangkan lokasi-lokasi lain belum bisa ditangani dan masih nampak puing-puing bangunan yang diduga dibawahnya banyak korban yang belum dapat dibantu. Hingga Jumat siang baru ditemukan 448 korban tewas dan sekitar 2300 orang korban luka akibat gempa yang melanda Sumatera Barat itu. Hingga Jumat terdata sebanyak 448 korban ditemukan meninggal akibat gempa bumi berkekuatan 7,9 SR dengan kedalaman 71 berlokasi pada 53 km barat daya Pariaman. Korban meninggal umumnya ditemukan di sela reruntuhan bangunan lantai dua dan tiga. Diperkirakan hingga tiga hari setelah gempa itu masih ada ratusan warga yang masih terjebak di dalam reruntuhan hotel, gedung, dan ruko yang rusak parah. Berdasarkan data yang diperoleh dari Satkorlak Penanggulangan Bencana, hingga Jumat sore rincian jumlah korban gempa di Sumatra Barat (Sumbar) yakni korban tewas sebanyak 448 orang, luka berat (237 orang), luka ringan (2.099 orang). Rumah rusak berat (11.945 unit), rusak sedang (3.046 unit), rusak ringan ( 5.468 unit). Korban tewas sebanyak itu merupakan yang telah terdata dengan rincian, Kota Padang (197 korban), Kabupaten Padang Pariaman (184 korban), Kota Pariaman (49 korban), Kota Bukittinggi (7 korban), Kabupaten Pesisir Selatan (7 korban) dan Kota Solok (4 korban). Hingga kini masih dilakukan evakuasi yang terpusat pada sejumlah titik dengan jumlah korban terbanyak tertimbun yakni di Hotel Ambacang, gedung LBA LIA, dan gedung lembaga kursus GAMA. (*/wij)

Pewarta : Hendra Agusta
Editor :
Copyright © ANTARA 2024