“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, termasuk pula semut di dalam liangnya, termasuk pula ikan paus, benar-benar bershalawat kepada orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.“ (Diriwayatkan At-Tirmidzi) Istilah intelektual muncul pertama kali pada tahun 1898, ketika seorang perwira berpangkat kapten keturunan Yahudi bernama Albert Dreyfus dipecat dari Dinas Ketentaraan Perancis karena dicurigai bekerja sebagai mata-mata pihak asing. Dengan adanya kasus Dreyfus inilah kemudian menjadikan masyarakat Prancis terbagi dua; yang membela dan yang mengutuknya. Yang membela Dreyfus ini disebut sebagai les intellectuels dan yang mengutuk disebut deracines. Para pembelanya antara lain Emile Zola, Emile Durkheim, dan Anatole France. Dari kasus inilah kemudian sebutan intelektual lebih merupakan pemburukan daripada sanjungan, yang berlaku tidak hanya di Perancis, tapi juga di Inggris dan Amerika. Setelah kasus Dreyfus, kemudian, muncullah secara beruntun para sarjana yang mengembangkan istilah intelektual ini. Beberapa ciri intelektual dari sarjana barat adalah non-committal (tak terikat dari segi ide), independen (tak terikat dari segi aksi), non-sektarian, non-partisan, tidak memihak; pantang menyerah, cenderung memberontak; menentang arus, berani berbeda, dan menunjukkan perlawanan. Dalam Islam intelektual mempunyai dua tipe, mengikut sejarah dan konteks keislaman, yaitu intelektual profetik dan intelektual diabolik. Intelektual profetik adalah para nabi dan waratsat al-ambiya. Merekalah para pembela kebenaran, sebagaimana kebenaran yang terkonsep dalam Alquran. Sedangkan intelektual diabolik adalah iblis dan para pengikutnya. Pada dasarnya ada perbedaan makna intelektual antara Barat dan Islam. Contohnya istilah 'menentang arus' di dunia Kristen tidak akan sama dengan 'menentang arus' dalam konteks di dunia Islam. 'Membela kebenaran' dalam konteks dunia Barat tidak sama dengan 'membela kebenaran' dalam konteks dunia Islam. Intelektual dalam Islam bercirikan; Pertama, ia tidak ada rasa takut menyuarakan kebenaran (la khaufun alaihim wa la hum yahzanun). Kedua, tidak ditunggangi kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok (la yas alukum alaihi ajran wahum muhtadun). Ia hanya ditunggangi kepentingan misi Tuhannya. Ketiga, ia adalah agent of change (agen perubahan), dan bukan subject of change (yang dirubah oleh lingkungannya). Masyarakat dalam ilmu sosiologinya senantiasa akan mengalami perubahan. Sesuai dengan tuntutan dan perubahan zaman itu sendiri. perubahan sosial dalam teori sosial beragam ada yang berpendapat bahwa masyarakat berubah karena ide berupa pandangan hidup, pandangan ide dan nilai-nilai. Tokoh yang banyak berbicara tentang ini adalah Max Weber. Tesis utama weberianisme adalah pengakuan besar terhadap peranan ideologi sebagai variable independent dalam perkembangan masyarakat. Perubahan kemudian juga dilakukan oleh orang kreatif yang berkumpul menjadi suatu gerakan sosial yang terlembagakan dalam bentuk lembaga yang melakukan pemberdayaan masyarakat (Jalaluddin Rahmat, Rekayasa Sosial). Transformasi/perubahan profetik merupakan derivasi dari etika profetik, dengan ilmu sosial profetik yang menjadikan alat untuk melakukan perubahan sosial, sehingga bentuk transformasinya pun dinamakan dengan transformasi/perubahan profetik. Transformasi ini diilhami bagaimana cara nabi melakukan transfomasi/perubahan yang bukan sekedar membebaskan dari ketertindasan tetapi sekaligus mengarahkannya. Bentuk arahan yang dilakukan oleh nabi dengan membentuk sistem yang lebih berkeadilan serta iman yang melandasarinya. Tantangan Hari Ini Dan Solusi Pada saat sekarang perubahan kehidupan manusia terbawa oleh arus global. Masyarakat atau bangsa yang kurang siap akan terbawa oleh arus global (H.A.R.Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan). Hampir setiap negara membicarakan globalisasi dengan serius seperti kata globalisasi dikenal oleh warga Prancis dengan mondialisation, sedangkan di Spayol dan Amerika Latin menyebut dengan globalizacion dan untuk Jerman meyebutnya dengan globalisierung (Anthony Giddens, Runaway World). Globalisasi telah memberikan dampak yang sangat buruk kepada generasi hari ini hingga globalisasi dikambinghitamkan oleh pemuka agama yang mengeluhkan merosotnya moral kaum muda setelah mengenal internet dan gaya hidup barat (B.Hari Juliawan, Keretaku Tak Berhenti Lama). Globalisasi telah menjadi candu bagi bagi kaum muda Islam. Sehingga harapan akan hadirnya generasi rabbani dan qur’ani sekarang menjadi langka. Penghancuran akidah dan akhlak menjadi sangat mudah melalui media baik cetak dan elektronik. Bahkan ia jauh lebih berbahaya dibandingkan seribu meriam sekalipun. Inilah yang disebut dengan perang pemikiran (ghazwul fikri). Tampak dari life style yang bukan budaya orang Islam tapi kebaratan. Karen Amstrong dalam buku “A History of God” yang melacak sejarah bagaimana manusia mempersepsikan Tuhan dari masa Nabi Ibrahim hingga sekarang. Menyimpulkan bahwa Human beings cannot endure emptiness and desolation; they will fill the vacuum by creating a new facus of meaning. The idols of fundamentalism are not good substitutes for God (1993: 399). Manusia tidak mungkin melepaskan diri sepenuhnya dari Tuhan. Sebab, ia bukan saja homo sapiens melainkan juga homo religius, dan agama dapat memenuhi kebutuhan itu. Karen Amstrong memprediksikan, agama akan mengemban peran lebih besar pada abad ke-21 ini karena dunia dan manusia secara serius menghadapi krisis moral, sosial, lingkungan, ekonomi, dan politik. Dengan pergantian tahun 1428 ke 1429 H ini semestinya umat Islam terutama kaum muda harus berjuang sungguh-sungguh dalam meningkatkan kemampuan intelektual. Kecerdesaan intelektual harus dibingkai dengan spritual yang matang. Keshalihan pribadi (shalih linafsih) kemudian harus melahirkan keshalihan sosial (nafi’un lighairih) sehingga akan menjadi penyeru kebenaran dalam rangka menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu pernah berkata, “Pelajarilah ilmu, karena mempelajari ilmu karena Allah itu mencerminkan ketakutan, mencarinya adalah ibadah, mengkajinya adalah tasbih, mencarinya adalah jihad, mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahui adalah shadaqah, membelanjakannya untuk keluarga adalah taqarrub. Ilmu adalah pendamping saat sendirian dan teman karib saat menyepi”. Melalui proses pendidikan (tarbiyah) yang mengkolaborasikan potensi akal, jasad dan iman akan memberikan solusi terhadap masalah diatas. Betapa juga dulu Rasulullah melakukan perubahan yang sangat luar terhadap masyarakat jahiliah menuju peradaban akhlak dan iman. Metode yang dilakukan Rasul pun sangat efektif yaitu membina diri (binaul rijal), keluarga (binaul ursy), masyarakat (binaul ijtimai) dan negara (binaul daulah). Semoga dengan proses yang dijalani ini akan semakin menerangkan jalan menuju kebangkitan Islam. Wallahu’alam! Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Unand dan Wakil Direktur SIS

Pewarta : Musfi Yendra, S.IP
Editor :
Copyright © ANTARA 2024