Nenek moyang orang Mentawai mungkin datang ke Pulau Siberut ratusan tahun yang lalu. Asal usul mereka belum diketahui, tetapi mereka mungkin berasal dari Batak, Sumatera Utara. Tipe kebudayaan ini mungkin menyebar di seluruh Indonesia pada masa lampau, tetapi telah dipengaruhi oleh kebudayaan lain (Hindu, Budha dan Islam yang datang dari daerah luar. Sampai saat ini kebudayaan Mentawai masih cukup asli karena kepulauan Mentawai terpisah, dan orangnya tidak dipengaruhi oleh kebudayaan lain. Struktur sosial masyarakat Mentawai bersifat patrilinial dan kehidupan sosialnya dalam suku di sebut uma. Struktur sosial tradisional adalah kebersamaan, mereka tinggal di rumah besar yang juga disebut Uma di tengah tanah suku mereka. Struktur sosial itu juga bersifat egalitarian, yaitu setiap anggota dewasa Uma mempunyai hak yang sama, kecuali "SIKEREI" (atau dukun) yang mempunyai hak lebih tinggi karena dapat menyembuhkan penyakit dan memimpin upacara kagamaan. (***) Makanan poko adalah sagu, pisang dan keladi. Makanan lainnya seperti buah-buahan, madu dan jamur dikumpul dari hutan atau ditanam di ladang. Sumber protein seperti rusah, burung dan monyet diburu, dan ikan dipancing dari kolam dan sungai. Secara tradisional Uma mempunyai wewenang tertinggi di Siberut. Tetapi karena pengaruh program permukiman pemerintah dan aparat pemerintah desa, mengharuskan perubahan organisasi sosial masyrakat Mentawai. Akibatnya, pola kehidupan tradisional berkurang di beberapa daerah. Namun Uma masih mempunyai aspek yang penting sekali bagi masyarakat Mentawai. Menurut Agama tradisional (Arat Sabulungan) seluruh benda hidup dan segala yang ada di alam mempunyai roh atau jiwa (simagre). Roh dapat memisah dari tubuhnya dan berjalan sendiri. Jika keharmonisan antara roh dan tubuhnya tidak dilestarikan roh akan pergi. Di samping itu dapat menyebabkan penyakit. Konsep kepercayaan ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari di Siberut. Kegiatan sehari-hari dapat mengganggu keseimbangan dan keharmonisan roh di alam. Upacara agama dikenal sebagai punen, puliaijat atau lia harus mengikuti kegiatan manusia supaya gangguan tersebut berkurang. Upacara tersebut dipimpin oleh para sikerei yang dapat berkomunikasi dengan roh dan jiwa yang tidak dapat dilihat orang biasa. Baik roh dari makhluk hidup maupun yang telah mati akan diberikan sajian, dan makanan yang banyak disediakan untuk semua anggota suku. Rumah adat (uma) dihiasi, daging babi disediakan dan ada tarian (turuk) untuk menyenangkan roh, sehingga mereka akan mengembalikan keharmonisan. Selama upacara, hal-hal yang tabu (kekei) dilarang. Selama 30 abad terakhir ini, agama tradisional Mentawai khususnya tabu dilarang adalah sesuatu alat pengontrolan pertambahan populasi penduduk dan peraturan pada perusakan dan eksploitasi hasil hutan. Namun sekarang, tradisi itu sudah mulai hilang. Akibatnya, penduduk meningkat sepat dan sumber daya alam mulai dieksploitasi tanpa memperhatikan peraturan adat. (*)

Pewarta : Iswanto JA
Editor :
Copyright © ANTARA 2024