Usus buntu pada anak berisiko lebih tinggi dibanding dewasa

id Usu buntu, kurang serat, kesehatan anak

Usus buntu pada anak berisiko lebih tinggi dibanding dewasa

Sheila Tri Meilani (tengah) terbaring setelah melakukan tindakan operasi kedua karena penyakit usus buntu di RSUD Luwuk, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah, Rabu (24/8/2022). FOTO ANTARA/HO-Sentra Nipotowe

Jakarta (ANTARA) - Praktisi kesehatan yang juga dokter spesialis bedah dr Dion Ade Putra, Sp.BS mengatakan usus buntu yang terjadi pada anak bisa berisiko lebih tinggi jika dibandingkan dengan dewasa karena jaringan lemaknya yang masih pendek.

“Untuk terjadinya perforasi atau usus buntu yang pecah itu lebih tinggi dibandingkan orang dewasa karena jaringan lemak di anak itu masih pendek sehingga sulit untuk melokalisasi infeksinya,” katanya dalam diskusi mengenai penanganan usus buntu yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.

Infeksi akibat usus buntu yang pecah pada jaringan lemak perut yang disebut omentum, katanya, akan menyebar lebih cepat pada area perut karena organnya masih pendek pada anak. Sehingga tingkat keparahannya akan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa.

Ia mengatakan secara teori orang yang mengalami usus buntu biasanya akan terasa nyeri di perut kanan bawah. Selain itu, terdapat risiko untuk terjadinya perforasi atau pecah usus buntu sebesar tujuh sampai delapan persen dalam 12 jam ke depan, sehingga harus cepat ditangani oleh dokter.

“Sebaiknya bila sudah merasakan nyeri yang sangat intens di perut kanan bawah sebaiknya segera periksakan diri ke dokter terdekat,” katanya.

Dijelaskannya usus buntu biasanya terjadi karena ada sumbatan di usus akibat feses yang mengeras, dan mengakibatkan radang usus buntu. Feses yang keras, kata Dion, biasanya disebabkan karena diet yang kurang serat, tidak minum air putih secara teratur dan kurangnya asupan prebiotik untuk melancarkan saluran cerna.

“Usus buntu biasanya karena segala sesuatu yang menyebabkan seseorang mengalami konstipasi atau menyebabkan fesesnya keras sehingga feses tersebut menyumbat di usus buntu tersebut,” kata dokter bedah Rumah Sakit Mayapada .

Pada orang dewasa, kata dia, gejala awal usus buntu bisa dideteksi dari nyeri di sekitar pusar yang akan meningkat dan beralih ke perut kanan bawah. Biasanya juga bisa disertai dengan demam dan kemudian mual dan muntah.

“Ada beberapa kasus bisa dikatakan dengan diare. Tapi gejala yang khas adalah nyeri di perut kanan bawah,” katanya.

Penderita usus buntu secara praktiknya tidak mengenal usia dan jenis kelamin. Namun ia mengatakan orang dengan usia sekitar 20 sampai 30 tahun menjadi yang paling sering mengalami usus buntu.

Sedangkan pada lansia di atas usia 40 sampai 50 tahun, harus dilihat lagi penyakit penyerta lainnya karena pada orang yang lebih tua ada penyakit yang gejalanya mirip usus buntu. Jika sudah merasakan gejala yang khas, ia menyarankan untuk segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mencegah penyakit semakin berat.

“Sebaiknya periksakan diri langsung ke dokter baik bedah umum maupun bedah digestif, karena apabila ini ditunda maka gejalanya akan makin berat dan penatalaksanaannya juga akan lebih rumit,” demikian Dion Ade Putra.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Praktisi: Usus buntu pada anak berisiko lebih tinggi dibanding dewasa