Bukittinggi, (ANTARA) - Berbicara mengenai perak, mungkin Kotagede Yogyakarta atau Desa Celuk Bali langsung terlintas di benak setiap orang. Wajar saja karena kerajinan perak asal daerah tersebut telah ditetapkan sebagai warisan tak benda.
Namun, masih ada daerah yang terkenal dengan sentra kerajinan perak yakni Nagari Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Berjarak sekitar 6 kilometer dari pusat Kota Bukittinggi, masyarakat di desa ini telah mulai membuat aneka kerajinan perak sejak jaman pendudukan Belanda.
Di tahun 2000an geliat sentra aneka kerajinan perak di Koto Gadang masih sangat terasa, hampir setiap rumah menggantungkan nasib pada olahan hasil tambang tersebut.
Bagaimana tidak, Kota Bukittinggi merupakan kota wisata andalan Sumatera Barat. Setiap libur panjang, kota tersebut seakan penuh sesak karena dikunjungi oleh berbagai wisatawan lokal hingga mancanegara. Tak jarang, wisatawan sengaja berkunjung ke Koto Gadang untuk mencari suvenir yang tentunya memiliki desain khas Minangkabau.
Namun perlahan jumlah perajin dan pengusaha kerajinan perak di sentra perak itu mulai berkurang. Kini hanya ada sekitar 25 perajin dan pengusaha yang tersisa.
Satu dari sedikit pengusaha itu adalah Fitri Haryanti, yang mendirikan usaha kerajinan aksesori perak yang diberi nama Sulaman dan Silver Cici sejak 2003.
Tergiur akan omzet dari penjualan kerajinan perak, ibu dari tiga anak itu pun memberanikan diri untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai pegawai pemerintahan agar bisa fokus merintis bisnis.
Selain itu, melestarikan budaya yang sudah ada sejak beratus abad lalu itu turut menjadi alasan Fitri mendirikan usahanya.
“Jadi kita sebagai penerus dari zaman dulu berfikir bagaimana agar kerajinan perak di Koto Gadang tidak punah. Karena itu Ibu tertarik untuk berusaha sebagai perajin dan penjual kerajinan Koto Gadang dan juga melestarikan perhiasan di Minangkabau,” kata Fitri.
Ia pun mempelajari ilmu bisnis dari pamannya yang berjualan emas. Sedangkan untuk mengolah perak menjadi aneka kerajinan dan aksesori, suaminya bernama M.Iskandar lah yang menjadi perajin. Iskandar belajar ilmu-ilmu dasar dari kakaknya, kemudian dia terus mengasah ilmunya secara otodidak seiring berjalannya waktu.
Meski jenis aksesori yang dijual Iskandar tidak banyak seperti gelang dan kalung, namun variasinya sangat beragam. Mulai dari aksesori untuk pemakaian sehari-hari dengan waktu pengerjaan paling cepat 1 hari hingga aksesori yang kerap digunakan pada acara adat seperti pernikahan yang memakan waktu pengerjaan hingga 15 hari.
Untuk menyiasati permintaan pasar dengan harga yang lebih terjangkau, beberapa aksesori buatan Iskandar berasal dari perunggu yang kemudian dilapisi perak atau emas. Harga yang dipatok pun bervariatif mulai dari ratusan ribu hingga belasan juta.
Karya buatan pria usia 55 tahun itu pun mendapat pengakuan dari masyarakat dan pemerintah setempat, tak jarang ia mendapat permintaan khusus untuk membuat aneka miniatur.
“Terkadang bangunannya sudah tidak ada, hanya ada foto saja. Saya harus mempelajari dulu bentuk dari bangunan tersebut atau meminta mereka menyampaikan cerita dibalik benda tersebut agar bisa memahami filosofinya dan membuat bangunan sesuai gambaran itu,” ungkap Iskandar.
Pameran hingga luar negeri berkat pembinaan
Salah satu ajang promosi yang tepat bagi pengusaha wastra adalah pameran dan Fitri bisa dibilang sebagai pengusaha UMKM yang tak takut mengambil risiko demi memperluas usahanya. Di saat awal-awal merintis bisnis, ia dan suaminya memberanikan untuk ikut pameran di Surabaya menggunakan uang dari kantong pribadi.
Namun, nasib berkata malang, produk dagangan Fitri hanya terjual beberapa saja dan justru malah rugi dikarenakan harus mengeluarkan biaya untuk akomodasi dan menyewa tempat di pameran.
Kendati demikian, kegagalan tersebut tidak membuat Fitri terpuruk. Ia justru mencari ide agar produk kerajinan miliknya dapat mendapat tempat di hati pembeli.
Langkah selanjutnya yang diambil Fitri untuk mengembangkan usaha adalah mengajukan pinjaman ke BRI. Pinjaman pertama yang diajukannya sebesar Rp3 juta pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2008 ia mengambil inisiatif untuk mengangkat motif khas dari daerah lain di Sumatera Barat, agar variasi aksesori buatan suaminya itu menjadi lebih beragam.
Merasakan manfaat dari pinjaman perbankan, Fitri akhirnya menjalin hubungan erat dengan BRI. Hingga pada tahun 2012, BRI membawa ia dan suaminya untuk ikut serta dalam pameran di Belanda. BRI pun turut memberikan pendampingan kepadanya.
“Saya tidak menyangka, usaha kecil seperti saya bisa ikut pameran ke luar negeri rasanya tidak mungkin. Dari sekian banyak usaha seperti saya dan sudah berupa PT, saya yang terpilih ke Belanda,” kenangnya.
Tak hanya dari BRI, Sulaman dan Silver Cici juga mendapat pendampingan dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda). Pendampingan tersebut juga berbuah manis, di tahun yang sama dengan pameran di Beijing, ia juga mengikuti pameran di Guangzhou, China. Kemudian pada 2017 ia kembali terbang ke belahan dunia lain untuk mengikuti pameran di Inggris.
Ia pun menyarankan pelaku UMKM lainnya agar tak ragu mengambil risiko khususnya untuk mengikuti pameran. Menurutnya, pameran menjadi ajang promosi yang sangat tepat bagi
“Jangan pernah takut harus berani mengambil risiko. Kalau belum ada pendampingan dari perbankan atau pemerintahan, coba saja ikut pameran karena bisa mendapatkan pembeli baru. Seperti saya, pembeli dari kalangan menengah ke atas seperti di Jakarta sering membeli ke saya,” ucap dia.
Lesu akibat pandemi COVID-19
Pandemi COVID-19 tentu saja turut menghantam usaha milik Fitri. Pembatasan mobilitas hingga larangan turis asing masuk wilayah Indonesia tak pelak membuat usahanya itu mengalami penurunan omzet hingga 80 persen.
Rekanan sesama perajin di sekitarnya pun juga banyak yang pasrah dengan keadaan. Sebagian besar perajin dan pengusaha yang jumlahnya hanya tersisa sekitar 25 orang itu pun beralih ke usaha lain seperti bertani.
“Kalau sampai tutup tidak, tapi mereka beralih ke bertani tetapi mereka bisa balik lagi kalau banyak pesanan,” tutur Fitri.
Total data perajin ada 25 orang dan kini beralih profesi menjadi petani agar bisa bertahan tapi mereka bisa balik lagi kalau ada banyak pesanan, dan selama pandemi ini juga pemerintah tidak tinggal diam, pemerintah membantu melalui berbagai program bantuan.
Kendati demikian, ia tidak mau menyerah begitu saja. Ia yakin, aksesori yang mengangkat budaya khas setempat apalagi dikerjakan secara hand made akan selalu memiliki target pasarnya sendiri.
Salah satu alasan tertarik untuk mengembangkan usaha ini karena dikerjakan secara manual bukan tenaga mesin. Dengan hand made ini, diyakin usaha ini akan bertahan meski ada teknologi terbaru.
Bangkit lewat Gernas BBI
Program pemerintah untuk memberdayakan UMKM melalui Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia kembali berlanjut di 2022.
Gelaran di Sumatera Barat kali ini berbeda dibandingkan pelaksanaan sebelumnya karena diselenggarakan selama tiga bulan di tiga tempat berbeda, yakni pembukaan dan peresmian di Kota Bukitting pada April 2022, kemudian berlanjut di Payakumbuh di Mei 2022 serta penutupan di Kota Padang pada Juni.
Fitri kembali bersyukur karena dari 300 lebih UMKM terpilih, usaha rumahan miliknya itu berhasil lolos seleksi menjadi 45 UMKM terkurasi lewat BRI. Ia berharap UMKM di Sumatera Barat bisa kembali bangkit seperti sebelum pandemi.
“Banyak omset yang menurun termasuk saya, sehingga harapannya dengan gelaran ini bisa membawa pengunjung ke Sumbar,” ucapnya.
Jika sebelumnya hanya mengeluarkan perak saja, kini UMKM sudah diinovasikan dengan batu seperti giok dan batu akik.
Untuk itu, dibutuhkan dukungan Pemkab Agam dalam membina pelaku UMKM melalui forum khusus yang memungkinkan terjalinnya kerja sama antar sesama perajin.
Perajin juga harus tetap semangat dan berusaha berinovasi agar produknya bisa diterima pasar.
Karena pada era pemulihan ini produk UMKM kembali bisa diminati lagi oleh masyarakat lokal, nasional dan internasional.