Medsos terlalu kuat untuk propaganda Rusia
Jakarta (ANTARA) - Rusia memang jauh mengungguli Ukraina dalam invasinya ke Ukraina yang kerap disebut "perang hibrida" karena tak saja melibatkan mesin perang dan politik namun juga instrumen-instrumen tak biasa termasuk disinformasi dan perang siber.
Ironisnya Rusia tampaknya kewalahan tak bisa menaklukkan media sosial.
Dalam apa yang luas disebut "perang media sosial pertama" di dunia, propaganda Rusia kalah melawan verifikasi real-time di garis depan perang yang dilakukan Ukraina.
Mesin-mesin propaganda pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin sendiri juga memanfaatkan media sosial. Tujuannya, merontokkan moral Ukraina dan melontarkan popularitas Putin di dalam negeri Rusia.
Namun karena dianggap kebanyakan berupa disinformasi, Uni Eropa akhirnya menuntut media sosial berhenti menyebarkan kabar dari media pemerintah Rusia, walau pihak selain Rusia juga membuat disinformasi.
Larangan itu sendiri menciptakan dilema bagi raksasa-raksasa media sosial karena dikhawatirkan malah menyumbat rakyat Rusia dalam mendapatkan informasi yang independen ketika media di negeri itu semakin dikendalikan oleh rezim.
Salah satu yang turut mendorong Uni Eropa menempuh langkah itu adalah disinformasi Rusia mengenai Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy yang disebut terbirit-birit meninggalkan ibukota Kiev.
Disinformasi itu dibuat oleh kantor berita Rusia, Tass, yang mengutip seorang anggota parlemen Rusia, melaporkan bahwa Zelenskyy terbirit-birit meninggalkan Kiev. Kabar ini segera menyebar via media sosial ke seluruh dunia.
Rusia ingin menunjukkan Zelenskyy pengecut sehingga tak layak didukung rakyat Ukraina, selain menaikkan dukungan rakyat Rusia kepada Putin.
Kabar itu sendiri disanggah oleh video selfie Zelenskyy di depan sebuah gedung pemerintahan Ukraina, sambil berkata "Saya masih di sini. Kita sama sekali tak akan meletakkan senjata."
Berikutnya, setiap kali Rusia menyebarkan disinformasi dan propaganda, setiap kali itu pula bantahan lewat media sosial muncul.
Selfie Zelenskyy itu sendiri membuat Barat dan sekutu-sekutunya kian kompak di belakang Ukraina, dan seketika menjadi simbol perlawanan yang mempersatukan semua elemen nasional Ukraina, sampai tokoh-tokoh olahraga asal negeri ini di luar negeri ramai-ramai pulang kampung demi angkat senjata membela tanah airnya.
Video selfie Zelenskyy itu merusak upaya Rusia dalam mempengaruhi persepsi publik, baik di dalam negeri Rusia maupun di Ukraina dan dunia.
Wartawan terancam
Media sosial, termasuk Facebook yang sangat populer di Rusia, malah kemudian membelah opini publik di Rusia ketika ribuan orang di puluhan kota berunjuk rasa menentang perang.
Tak hanya itu, tokoh-tokoh Rusia, mulai ilmuwan dan budayawan sampai taipan bisnis dan atlet, meminta perang dihentikan.
Tekanan publik di dalam negeri seperti ini tentu sangat ditakutkan oleh Putin, karena setiap perubahan opini publik tak saja merusak rencana perang di Ukraina, tapi juga mengancam masa depan kekuasaannya.
Rusia kemudian bertindak yang jauh lebih keras daripada permintaan Uni Eropa agar Facebook dan media sosial tidak menyebarluaskan konten buatan media massa pemerintahan Putin.
Tidak hanya memblokir Facebook dan laman-laman media asing, Rusia juga menerbitkan undang-undang yang membuat wartawan bisa dipenjara karena membuat berita yang bisa mereka kategorikan tidak benar mengenai tentara Rusia di Ukraina.
UU itu mendorong banyak media massa asing seperti BBC dan Bloomberg menghentikan reportase di Rusia, demi melindungi wartawan-wartawan asal Rusia yang bekerja kepada mereka.
Rusia berhak menempuh langkah seperti ini, apalagi mereka menganggap diri dalam keadaan perang walau sebenarnya merekalah yang pantas disebut agresor.
Tapi manuver ini bisa menjadi bukti Rusia justru kalah melawan media sosial yang sudah menjadi alternatif rakyat Rusia dalam mendapatkan kabar selain suara dari pemerintah.
Di sisi lain UU itu membuat Ukraina menjadi medan utama perang informasi bagi Rusia.
Sayang, Rusia tak bisa lagi menyebarkan narasi di Eropa lewat media sosial karena media sosial termasuk TikTok telah dilarang dijadikan kanal bagi propaganda Rusia.
Mungkin tak apa bagi Rusia, karena keadaan itu malah membuat Putin menjadi lebih anteng menguatkan narasi mereka di dalam negeri, apalagi Putin tak begitu peduli kepada opini di luar Rusia.
Cuma, dengan cara begitu, Ukraina akan terus mengungguli Rusia dalam membentuk opini, termasuk dari laporan langsung warga Ukraina di garis depan perang yang akan kian mendominasi narasi di media sosial.
Laporan real-time dalam bentuk banjir video dari medan perang, berkat smartphone yang kian canggih, membuat siapa pun di Ukraina bahkan bisa mengisi peran yang sebelum ini dimainkan wartawan-wartawan perang seperti Walter Cronkite, Peter Arnett dan Christiane Amanpour.
Jika arus informasi via media sosial dari versi Ukraina seperti itu semakin deras, entah itu disinformasi ataupun fakta, maka citra Ukraina sebagai pihak yang benar dalam konflik bisa semakin kuat.
Lagi pula kebanyakan orang akan memihak si korban, dari pada agresor, apalagi agresor yang ambigu dalam menjustifikasi aksinya.
Bagaimana tidak, Rusia menyatakan invasi ke Ukraina itu dilakukan demi melindungi rakyat sipil ketika saat bersamaan membom pemukiman sipil, sampai pembangkit listrik tenaga nuklir pun diserangnya.
Mereka beralasan invasi ke Ukraina demi menumpas neo Nazi ketika pada waktu bersamaan memburu seorang presiden keturunan Yahudi yang justru etnis yang menjadi korban terbesar Nazi.
Satir Ukraina
Dalam perang opini di media sosial, pihak Ukraina terlihat lebih kreatif, sampai menggunakan meme berisi humor bernada kritik dan ironi yang malah membuat orang tersentuh dan bersimpati.
Salah satu satir mereka adalah olok-olok empat jenis penyebab sakit kepala; yakni "migrain, hipertensi, stres dan bertetangga dengan Rusia."
Satir lainnya adalah balasan Ukraina untuk cuitan Rusia yang mengajak mereka mengulang "masa-masa indah" sewaktu Rusia dan Ukraina rukun dalam bingkai Uni Soviet, dengan menyebut Rusia "mantan yang toksik".
Di Rusia sendiri, kaum mudanya yang dilaporkan hanya 47 persen mendukung perang, menjadi pengguna media sosial teraktif. Mereka juga acap memanfaatkan media sosial untuk mengungkapkan pesan antiperang atau suara yang berseberangan dengan rezim.
Mereka berbeda dengan generasi tua yang lebih suka menyantap informasi dari televisi dan media massa pemerintah. Tetapi dua kecenderungan ini bisa berubah seandainya perang tak kunjung berhenti karena bisa semakin menyengsarakan rakyat Rusia sendiri.
Senjata canggih Rusia memang bisa membuat Ukraina bertekuk lutut. Tapi ini tak mungkin dilakukan tanpa serangan brutal seperti dilakukan di Suriah beberapa tahun lalu.
Kabar mengenai korban jiwa yang besar dari pihak Rusia yang kemungkinan masih bisa tersebar lewat platform-platform seperti Instagram, Telegram, atau bahkan WhatsApp sekalipun Facebook telah dilarang, bisa balik menyudutkan Putin.
Rakyat Rusia juga akan bertanya mengapa harus bertindak brutal kepada Ukraina yang adalah bangsa serumpun yang berbahasa dan suku bangsa sama, serta memiliki ikatan kesejarahan dan budaya yang kuat.
Rakyat Rusia mungkin tak ambil pusing ketika Rusia membombardir wilayah-wilayah oposisi Arab Sunni dan Kurdi yang menentang Presiden Suriah Bashar al-Assad yang bukan dari mayoritas Arab Sunni, selain juga membom ISIS, karena Suriah tak memiliki kaitan sekuat dengan Ukraina. Tapi aksi brutal terhadap bangsa serumpun, bisa membuat rakyat Rusia geram.
Apalagi jika perang tak berkesudahan ketika korban tewas, terutama dari pihak Rusia, semakin banyak.
Ketika ini terjadi Putin akan sekuat tenaga mengendalikan lagi narasi sebelum opini publik balik merugikan dia, terlebih sanksi dan boikot internasional semakin menyulitkan rakyat Rusia.
Membuat UU yang bisa memenjarakan wartawan karena memberitakan perang yang tidak sesuai skenario pemerintah, adalah langkah pertama Putin dalam mengendalikan narasi itu.
Langkah ini bisa saja diperluas sampai ke rakyat sipil, termasuk menutup sama sekali semua platform media sosial termasuk layanan-layanan perpesanan seperti Telegram dan WhatsApp.
Jika ini terjadi, generasi muda Rusia yang serba digital dan sudah keranjingan media sosial, bisa meradang dan kemudian bisa saja memelopori suara yang kian kritis terhadap rezim. Dan ini bisa membahayakan Putin.
Ironisnya Rusia tampaknya kewalahan tak bisa menaklukkan media sosial.
Dalam apa yang luas disebut "perang media sosial pertama" di dunia, propaganda Rusia kalah melawan verifikasi real-time di garis depan perang yang dilakukan Ukraina.
Mesin-mesin propaganda pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin sendiri juga memanfaatkan media sosial. Tujuannya, merontokkan moral Ukraina dan melontarkan popularitas Putin di dalam negeri Rusia.
Namun karena dianggap kebanyakan berupa disinformasi, Uni Eropa akhirnya menuntut media sosial berhenti menyebarkan kabar dari media pemerintah Rusia, walau pihak selain Rusia juga membuat disinformasi.
Larangan itu sendiri menciptakan dilema bagi raksasa-raksasa media sosial karena dikhawatirkan malah menyumbat rakyat Rusia dalam mendapatkan informasi yang independen ketika media di negeri itu semakin dikendalikan oleh rezim.
Salah satu yang turut mendorong Uni Eropa menempuh langkah itu adalah disinformasi Rusia mengenai Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy yang disebut terbirit-birit meninggalkan ibukota Kiev.
Disinformasi itu dibuat oleh kantor berita Rusia, Tass, yang mengutip seorang anggota parlemen Rusia, melaporkan bahwa Zelenskyy terbirit-birit meninggalkan Kiev. Kabar ini segera menyebar via media sosial ke seluruh dunia.
Rusia ingin menunjukkan Zelenskyy pengecut sehingga tak layak didukung rakyat Ukraina, selain menaikkan dukungan rakyat Rusia kepada Putin.
Kabar itu sendiri disanggah oleh video selfie Zelenskyy di depan sebuah gedung pemerintahan Ukraina, sambil berkata "Saya masih di sini. Kita sama sekali tak akan meletakkan senjata."
Berikutnya, setiap kali Rusia menyebarkan disinformasi dan propaganda, setiap kali itu pula bantahan lewat media sosial muncul.
Selfie Zelenskyy itu sendiri membuat Barat dan sekutu-sekutunya kian kompak di belakang Ukraina, dan seketika menjadi simbol perlawanan yang mempersatukan semua elemen nasional Ukraina, sampai tokoh-tokoh olahraga asal negeri ini di luar negeri ramai-ramai pulang kampung demi angkat senjata membela tanah airnya.
Video selfie Zelenskyy itu merusak upaya Rusia dalam mempengaruhi persepsi publik, baik di dalam negeri Rusia maupun di Ukraina dan dunia.
Wartawan terancam
Media sosial, termasuk Facebook yang sangat populer di Rusia, malah kemudian membelah opini publik di Rusia ketika ribuan orang di puluhan kota berunjuk rasa menentang perang.
Tak hanya itu, tokoh-tokoh Rusia, mulai ilmuwan dan budayawan sampai taipan bisnis dan atlet, meminta perang dihentikan.
Tekanan publik di dalam negeri seperti ini tentu sangat ditakutkan oleh Putin, karena setiap perubahan opini publik tak saja merusak rencana perang di Ukraina, tapi juga mengancam masa depan kekuasaannya.
Rusia kemudian bertindak yang jauh lebih keras daripada permintaan Uni Eropa agar Facebook dan media sosial tidak menyebarluaskan konten buatan media massa pemerintahan Putin.
Tidak hanya memblokir Facebook dan laman-laman media asing, Rusia juga menerbitkan undang-undang yang membuat wartawan bisa dipenjara karena membuat berita yang bisa mereka kategorikan tidak benar mengenai tentara Rusia di Ukraina.
UU itu mendorong banyak media massa asing seperti BBC dan Bloomberg menghentikan reportase di Rusia, demi melindungi wartawan-wartawan asal Rusia yang bekerja kepada mereka.
Rusia berhak menempuh langkah seperti ini, apalagi mereka menganggap diri dalam keadaan perang walau sebenarnya merekalah yang pantas disebut agresor.
Tapi manuver ini bisa menjadi bukti Rusia justru kalah melawan media sosial yang sudah menjadi alternatif rakyat Rusia dalam mendapatkan kabar selain suara dari pemerintah.
Di sisi lain UU itu membuat Ukraina menjadi medan utama perang informasi bagi Rusia.
Sayang, Rusia tak bisa lagi menyebarkan narasi di Eropa lewat media sosial karena media sosial termasuk TikTok telah dilarang dijadikan kanal bagi propaganda Rusia.
Mungkin tak apa bagi Rusia, karena keadaan itu malah membuat Putin menjadi lebih anteng menguatkan narasi mereka di dalam negeri, apalagi Putin tak begitu peduli kepada opini di luar Rusia.
Cuma, dengan cara begitu, Ukraina akan terus mengungguli Rusia dalam membentuk opini, termasuk dari laporan langsung warga Ukraina di garis depan perang yang akan kian mendominasi narasi di media sosial.
Laporan real-time dalam bentuk banjir video dari medan perang, berkat smartphone yang kian canggih, membuat siapa pun di Ukraina bahkan bisa mengisi peran yang sebelum ini dimainkan wartawan-wartawan perang seperti Walter Cronkite, Peter Arnett dan Christiane Amanpour.
Jika arus informasi via media sosial dari versi Ukraina seperti itu semakin deras, entah itu disinformasi ataupun fakta, maka citra Ukraina sebagai pihak yang benar dalam konflik bisa semakin kuat.
Lagi pula kebanyakan orang akan memihak si korban, dari pada agresor, apalagi agresor yang ambigu dalam menjustifikasi aksinya.
Bagaimana tidak, Rusia menyatakan invasi ke Ukraina itu dilakukan demi melindungi rakyat sipil ketika saat bersamaan membom pemukiman sipil, sampai pembangkit listrik tenaga nuklir pun diserangnya.
Mereka beralasan invasi ke Ukraina demi menumpas neo Nazi ketika pada waktu bersamaan memburu seorang presiden keturunan Yahudi yang justru etnis yang menjadi korban terbesar Nazi.
Satir Ukraina
Dalam perang opini di media sosial, pihak Ukraina terlihat lebih kreatif, sampai menggunakan meme berisi humor bernada kritik dan ironi yang malah membuat orang tersentuh dan bersimpati.
Salah satu satir mereka adalah olok-olok empat jenis penyebab sakit kepala; yakni "migrain, hipertensi, stres dan bertetangga dengan Rusia."
Satir lainnya adalah balasan Ukraina untuk cuitan Rusia yang mengajak mereka mengulang "masa-masa indah" sewaktu Rusia dan Ukraina rukun dalam bingkai Uni Soviet, dengan menyebut Rusia "mantan yang toksik".
Di Rusia sendiri, kaum mudanya yang dilaporkan hanya 47 persen mendukung perang, menjadi pengguna media sosial teraktif. Mereka juga acap memanfaatkan media sosial untuk mengungkapkan pesan antiperang atau suara yang berseberangan dengan rezim.
Mereka berbeda dengan generasi tua yang lebih suka menyantap informasi dari televisi dan media massa pemerintah. Tetapi dua kecenderungan ini bisa berubah seandainya perang tak kunjung berhenti karena bisa semakin menyengsarakan rakyat Rusia sendiri.
Senjata canggih Rusia memang bisa membuat Ukraina bertekuk lutut. Tapi ini tak mungkin dilakukan tanpa serangan brutal seperti dilakukan di Suriah beberapa tahun lalu.
Kabar mengenai korban jiwa yang besar dari pihak Rusia yang kemungkinan masih bisa tersebar lewat platform-platform seperti Instagram, Telegram, atau bahkan WhatsApp sekalipun Facebook telah dilarang, bisa balik menyudutkan Putin.
Rakyat Rusia juga akan bertanya mengapa harus bertindak brutal kepada Ukraina yang adalah bangsa serumpun yang berbahasa dan suku bangsa sama, serta memiliki ikatan kesejarahan dan budaya yang kuat.
Rakyat Rusia mungkin tak ambil pusing ketika Rusia membombardir wilayah-wilayah oposisi Arab Sunni dan Kurdi yang menentang Presiden Suriah Bashar al-Assad yang bukan dari mayoritas Arab Sunni, selain juga membom ISIS, karena Suriah tak memiliki kaitan sekuat dengan Ukraina. Tapi aksi brutal terhadap bangsa serumpun, bisa membuat rakyat Rusia geram.
Apalagi jika perang tak berkesudahan ketika korban tewas, terutama dari pihak Rusia, semakin banyak.
Ketika ini terjadi Putin akan sekuat tenaga mengendalikan lagi narasi sebelum opini publik balik merugikan dia, terlebih sanksi dan boikot internasional semakin menyulitkan rakyat Rusia.
Membuat UU yang bisa memenjarakan wartawan karena memberitakan perang yang tidak sesuai skenario pemerintah, adalah langkah pertama Putin dalam mengendalikan narasi itu.
Langkah ini bisa saja diperluas sampai ke rakyat sipil, termasuk menutup sama sekali semua platform media sosial termasuk layanan-layanan perpesanan seperti Telegram dan WhatsApp.
Jika ini terjadi, generasi muda Rusia yang serba digital dan sudah keranjingan media sosial, bisa meradang dan kemudian bisa saja memelopori suara yang kian kritis terhadap rezim. Dan ini bisa membahayakan Putin.