Jakarta (ANTARA) - Kepala Pusat Penelitian Center for Indonesian Property Studies Felippa Amanta menyatakan impor pangan perlu dilihat secara lebih konstruktif karena pada saat ini sejumlah kebijakan untuk mencapai ketahanan pangan dinilai tidak efisien dan menghabiskan banyak anggaran.
"Sudah saatnya impor dipandang dengan pendekatan yang lebih konstruktif, yaitu sebagai amunisi untuk menstabilkan harga di pasar karena produksi dalam negeri belum mencukupi kebutuhan. Bahkan di beberapa komoditas, hasil produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan industri sehingga perlu dilakukan impor. Di saat yang bersamaan, pemerintah perlu fokus memperbaiki kinerja sektor pertanian domestik, melakukan modernisasi, membuka investasi dan meningkatkan kapasitas petani," kata Felippa Amanta dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, sejumlah kebijakan mengendalikan impor seperti hambatan nontarif, sistem kuota, dan pembatasan investasi dinilai berpotensi mempersulit akses masyarakat kepada produk panga dengan harga lebih terjangkau.
Ia mengingatkan pentingnya memperhatikan distribusi pangan, contohnya proses distribusi daging sapi yang dinilai memakan biaya cukup tinggi sehingga konsumen akhir yang menanggung biayanya.
Berdasarkan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), lanjutnya, ada empat dimensi ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, akses, penggunaan dan stabilitas. Konsep ini juga digunakan dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Felippa berpendapat bahwa berdasarkan definisi ini, ketahanan pangan bukan hanya sebatas soal ketersediaan, namun juga soal kualitas dan keterjangkauan harga.
"Tingkat ketahanan pangan kita dinilai masih rendah meskipun Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan penilaian Global Food Security Index (Indeks Ketahanan Pangan Global) 2019 dari The Economist Intelligence Unit, Indonesia berada di posisi 62 dari 113 negara. Jika diselidiki lebih dalam pada tiap indikator, Indonesia berada di posisi 48 untuk indikator ketersediaan, namun berada di posisi 58 untuk indikator keterjangkauan," paparnya.
Ia juga mengemukakan, isu keterjangkauan harga pangan masih sering luput dari perhatian saat kita membicarakan soal pangan.
Apalagi, ujar dia, berdasarkan data dari Buletin Konsumsi Pangan Kementerian Pertanian 2019, pengeluaran untuk bahan makanan terus meningkat sebesar 10 persen sejak 2016 hingga 2018.
"Hal ini dapat diatribusikan ke dua faktor, yaitu peningkatan konsumsi masyarakat dan peningkatan harga," jelasnya.
Tingginya harga pangan Indonesia sangat merugikan masyarakat, lanjut Felippa, terutama bagi masyarakat miskin karena mereka bisa menghabiskan sekitar 50 hingga 70 persen dari pengeluarannya hanya untuk membeli makanan.
Ia menyatakan, besarnya proporsi pengeluaran untuk makanan membuat masyarakat sangat rentan terhadap lonjakan harga komoditas pangan sehingga memengaruhi pola konsumsi.
"Dapat dimengerti kalau isu impor ini sangat sensitif, terutama karena menyangkut nasib para petani Indonesia. Tapi kenyataannya, kebijakan proteksionis perdagangan pangan Indonesia malah gagal memberi proteksi, justru merugikan petani kita. Petani Indonesia merupakan net consumer yang berarti mereka lebih banyak membeli daripada memproduksi pangan. Artinya, kerugian petani dari mahalnya harga pangan lebih besar dari keuntungan yang mereka dapatkan dari perlindungan sektor pertanian Indonesia," katanya.
Untuk itu, ujar dia, kebijakan proteksionis bukanlah jawabannya, tetapi pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan inovasi dan meningkatkan produktivitas pertanian yang bisa mendorong petani Indonesia semakin kuat dan kompetitif.