Jakarta (ANTARA) - Parlemen di Republik Indonesia, terdiri atas MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) periode 2014-2019 resmi berakhir per 1 Oktober 2019, ditandai dengan pelantikan DPR, DPD, dan MPR baru periode untuk lima tahun ke depan.
Lembaga wakil rakyat yang bermarkas di kompleks Senayan untuk 2014-2019 telah masuk menjadi bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini dan menyimpan banyak cerita sangat menarik bagi praktik politik praktis di pentas nasional negeri ini.
Tulisan ini bukan untuk mengorek kembali berbagai catatan kelam dari wajah parlemen kita dalam lima tahun terakhir melainkan sebagai pengingat agar praktik yang hanya mengedepankan politik praktis semata dan komitmen mereka yang rendah sebagai wakil rakyat sehingga berurusan dengan hukum, tidak terulang lagi pada masa mendatang.
Pelantikan DPR RI periode 2014-2019 sejak awal sudah terpecah ke dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
KMP terdiri atas Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, dan PKS, sedangkan KIH terdiri atas PDI Perjuangan, PKB, PPP, Nasdem, dan Hanura.
Dari total 560 kursi di DPR RI saat itu, PDI Perjuangan yang merupakan partai pemenang Pemilu 2014, meraih 109 kursi, Partai Golkar 91 kursi, Gerindra 73 kursi, Demokrat 61 kursi, PAN 49 kursi, PKB 47 kursi, PKS 40 kursi, PPP 39 kursi, Nasdem 35 kursi, dan Hanura 16 kursi.
KMP menguasai 56,07 persen atau 314 kursi dari 560 kursi DPR RI, sedangkan KIH meraih 43,93 persen atau 246 kursi.
Lewat pemilihan pimpinan yang tak diikuti oleh KIH karena walk out alias meninggalkan ruang sidang, terpilih pimpinan DPR RI yakni Ketua DPR Setya Novanto (Golkar) dan empat wakil ketua yakni Fadli Zon (Gerindra), Agus Hermanto (Demokrat), Taufik Kurniawan (PAN), dan Fahri Hamzah (PKS).
Sementara pimpinan DPD RI yang terpilih adalah Irman Gusman sebagai ketua (pada periode 2009-2014, Irman Gusman yang mewakili Sumatera Barat, juga menjabat Ketua DPD RI), dan dua Wakil Ketua yakni Farouk Muhammad (NTB) dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas (DI Yogyakarta).
Pimpinan MPR RI, yang komposisi keanggotaannya terdiri atas DPR dan DPD, juga didominasi oleh KMP, yakni Ketua MPR Zulkifli Hasan (PAN) dan empat wakil ketua, yakni EE Mangindaan (Demokrat), Mahyudin (Golkar), Hidayat Nurwahid (PKS), dan Oesman Sapta (dari DPD RI).
Keberadaan KMP yang mendominasi parlemen dan KIH di pemerintahan membuat hubungan legislatif dan eksekutif dalam praktik pemerintahan dan kenegaraan mengalami sedikit hambatan karena pertimbangan politik praktis.
Sampai pada akhirnya, Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato pada Sidang Tahunan MPR tanggal 14 Agustus 2015, mengajak lembaga-lembaga negara membangun kekompakan demi memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Kekompakan lembaga-lembaga negara sangat diperlukan dalam perjuangan untuk mewujudkan janji kemerdekaan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Di samping itu terjadi dinamika yang menarik di parlemen bahwa Partai Golkar dan PAN masuk dalam koalisi pemerintahan Presiden Jokowi, Partai Demokrat memutuskan tidak memihak pada KMP atau KIH.
Selain itu, Fahri Hamzah dipecat dari keanggotaan PKS karena konflik internal, tetapi Fahri masih memenangkan statusnya untuk bertahan di jabatannya.
Ketua DPR Setya Novanto mengundurkan diri pada 16 Desember 2015 setelah dugaan percakapannya dengan petinggi sebuah perusahaan pertambangan yang beroperasi di Papua terkuak. Kasus tersebut lebih dikenal dengan kasus Setnov, papa minta saham. Posisinya di pimpinan DPR, digantikan oleh Ade Komaruddin.
Namun pada 30 November 2016, Setya Novanto yang juga Ketua Umum Partai Golkar sejak Munas di Bali pada 17 Mei 2016, kembali memimpin DPR RI, menggantikan Ade yang dicopot.
Setnov baru benar-benar meninggalkan posisinya Senayan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik dan dia ditahan oleh KPK sejak 17 November 2017. Beberapa waktu sebelumnya, Setnov sempat dinyatakan buron karena saat akan ditangkap di rumahnya dia tidak ada dan tidak diketahui keberadaannya, hingga ada peristiwa kendaraan yang ditumpanginya menabrak tiang listrik pada 16 November 2017.
Posisinya sebagai Ketua DPR RI digantikan oleh Bambang Soesatyo. Sementara jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Golkar digantikan oleh Airlangga Hartarto. Airlangga bahkan dipercaya oleh Presiden Jokowi masuk ke kabinet di pemerintahannya, dengan menjabat sebagai Menteri Perindustrian.
Selain itu, Ketua DPD Irman Gusman terkena operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan menerima suap pada 2016 sehingga posisinya digantikan oleh Mohammad Saleh (Bengkulu).
Tak lama berselang, pada pekan pertama April 2017 terjadi pergantian pimpinan di DPD RI, Ketua DPD dijabat oleh Oesman Sapta dengan dua wakil ketua yakni Nono Sampono dan Darmayanti. Oesman Sapto tetap merangkap sebagai Wakil Ketua MPR.
Sementara pada 2018, seiring dengan perubahan UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3), pada 2018 terdapat penambahan tiga wakil ketua MPR RI, yakni Ahmad Muzani (Gerindra), Ahmad Basarah (PDI Perjuangan), dan Muhaimin Iskandar (PKB).
Kerja bersama
Bila pada awalnya, parlemen serasa berseberangan dengan kekuatan eksekutif di pemerintahan, namun dengan saling mempengaruhi dan dinamika yang terjadi membuat eksekutif dan legislatif bisa bekerja bersama.
Bahkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 16 Agustus lalu, Presiden Jokowi memberikan apresiasi yang sangat besar kepada MPR, DPR, dan DPD.
Kepala Negara menekankan bahwa "visi yang sama juga harus hidup dalam kerja kita semua, di semua lembaga negara". Check and balances antarlembaga negara sangat penting, tetapi harus berada dalam bingkai yang sama, satu visi besar Indonesia Maju.
Pencapaian visi besar harus kita percepat. Tidak ada jalan lain bagi kita semua, selain meninggalkan cara-cara lama dan beradaptasi dengan cara-cara baru. Kita butuh terobosan-terobosan baru untuk menjawab harapan rakyat yang makin meningkat. Butuh lompatan-lompatan kemajuan untuk meningkatkan kepercayaan dan kecintaan rakyat. Butuh karya-karya nyata agar lembaga-lembaga negara menjadi institusi yang kuat dan berwibawa.
Untuk menjadi kuat, kita tidak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri. Ego lembaga harus diruntuhkan, sehingga karya-karya baru dapat diciptakan bersama-sama. Ego sektoral yang terkotak-kotak sudah tidak relevan lagi dan harus ditinggalkan. Kolaborasi dan sinergi antarlembaga harus ditingkatkan.
Presiden menegaskan MPR mengawal dan memberikan jaminan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia harus mencerminkan semangat dan jiwa Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. MPR telah melakukan sosialisasi empat konsensus kebangsaan secara gencar ke seluruh pelosok Tanah Air, dengan menyasar seluruh kelompok masyarakat. Mulai dari pelajar, akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga masyarakat umum.
Presiden menghargai MPR yang terus mencari cara-cara baru sehingga nilai-nilai konsensus kebangsaan bisa diterima, terutama oleh generasi muda. MPR telah menerapkan perpaduan antara penggunaan media seni budaya dengan pemanfaatan kemajuan teknologi.
Jokowi juga menghargai MPR yang sudah menggelar survei nasional, berkaitan dengan hasil kinerjanya dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai luhur bangsa. Hasil survei tersebut bisa menjadi referensi untuk menyempurnakan strategi sosialisasi empat konsensus kebangsaan yang telah dilakukan.
Sementara upaya DPR untuk meningkatkan kualitas produk perundang-undangan harus didukung, ucap Presiden.
"Saya mengapresiasi setinggi-tingginya semangat DPR untuk bersinergi dan berkolaborasi dengan Pemerintah," ujar Presiden Jokowi.
Selama tahun 2019, misalnyam, DPR telah memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap 34 Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk negara-negara sahabat. Selain itu, DPR juga melanjutkan diplomasi parlemen untuk memperkuat politik luar negeri Indonesia.
Pada bulan September 2018, DPR menjadi tuan rumah Forum Parlemen Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan untuk yang kedua kalinya. Serta menjadi tuan rumah pertemuan pimpinan parlemen dan perwakilan dari lima negara middle power, yaitu Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia.
DPR juga terus menjalankan misi diplomasi parlemen, baik secara bilateral maupun multilateral, melalui partisipasi aktif di forum-forum antar-parlemen di tingkat regional dan global.
DPD sebagai representasi daerah terus bekerja menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. DPD juga telah menjadi ujung tombak dalam menjaga dan merevitalisasi nilai-nilai kearifan lokal.
Presiden juga mengapresiasi respons cepat DPD dalam menyikapi tantangan mendesak yang dihadapi oleh daerah, seperti tantangan kedaulatan pangan, penataan hak ulayat dan masyarakat hukum adat, pemanfaatan energi terbarukan, dan pengembangan UMKM.
Presiden berharap DPD bersama Pemerintah terus bergerak membangun Indonesia dari pinggiran, dari daerah dan desa. Dukungan DPD untuk memajukan daerah harus terus dilanjutkan. Peraturan Daerah-Peraturan Daerah (Perda) yang formalitas, berbelit-belit, dan menghambat masyarakat serta pelaku usaha harus dipangkas. Tata kelola pemerintahan dan keuangan daerah harus ditingkatkan.
Terlepas dari kinerja parlemen kita yang bisa saja mengundang pertanyaan, bahkan kontroversi, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi etika dan penghormatan kepada institusi lembaga negara, tak berlebihan bila kita juga berterima kasih kepada MPR, DPR, dan DPD periode 2014-2019, meskipun di awal terjadi gonjang-ganjing kubu-kubu dalam koalisi, terjadi polemik selama lima tahun terakhir, dan DPR sempat didemonstrasi oleh mahasiswa bahkan oleh pelajar di penghujung akhir periodenya.
Apapun wajah parlemen Indonesia periode lima tahun terakhir ini merupakan wajah para wakil rakyat Indonesia.
Dengan pelantikan MPR, DPR, dan DPD yang baru periode 2019-2024, tampaknya harus bisa belajar dari periode sebelumnya. Hal yang baik harus ditingkatkan sedangkan hal yang tidak baik, jangan sampai terulang.