Padang, (ANTARA) - Dua bulan terakhir di Sumatera Barat telah mengalami musim kemarau, Tidak hanya daerah zona musim tetapi daerah pesisir pantai juga mengalami penurunan curah hujan. Kabupaten Dharmasraya, Kota Bukit Tinggi, Kota Padang, Limapuluh Kota, Pasaman, Pesisir Selatan, Sijunjung, Solok, Solok selatan dan Tanah Datar telah mulai merasakan dampak penurunan ketersediaan air.
Daerah Sitiung di Kabupaten Dharmasraya saat ini mengalami hari tanpa hujan yang sangat panjang sudah lebih dari 30 hari . Koto Besar dan Koto Salak sudah lebih dari 20 hari tanpa hujan. Daerah lainnya hari tanpa hujan sangat pendek dengan jumlah curah hujan yang rendah. Hari tanpa hujan kategori sangat panjang (30 - 60 hari) harus diwaspadai sehingga tidak menimbulkan dampak kerugian yang lebih besar. Langkah – langkah Mitigasi dan adaptasi perlu untuk disiapkan dalam mengatasinya.
Curah hujan di Sitiung dalam sepuluh tahun terakhir tercatat terjadi dua kali musim kemarau terpanjang selama lebih dari 6 bulan tahun 2013 dan tahun 2015. Untuk hari tanpa hujan terpanjang terjadi pada tahun 2015 selama 45 hari sejak Agustus hingga September. Di Koto Salak hari tanpa hujan terpanjang dalam 5 tahun terakhir yaitu selama 42 hari Agustus hingga September. Begitu juga di Koto Besar hujan tidak turun selama 40 hari dibulan September hingga Oktober 2015. Diketahui pada periode ini terjadi indeks elnino kuat September 2015 hingga Maret 2016 dan Indeks Ocean Dipolemode (IOD) positiv kuat selama September hingga Oktober yang mengakibatkan berkurangnya awan-awan pembentuk hujan di bagian timur Sumatera Barat.
Sangir Jujuhan di Solok Selatan tercatat tidak hujan selama 31 hari dengan jumlah curah hujan 47,5 mm dalam 50 hari dan Sejak Juli hingga saat ini hujan turun 3 hari. Sungai Kunyit Sangir Balai Janggo juga sudah mulai krisis air bersih 832 kepala keluarga. Sekitar 100 hektare areal persawahan warga di Nagari Bidar Alam, Kecamatan Sangir Jujuan, Solsel terancam gagal panen dikarenakan turunnya debit air Sungai Batang Sangir sehingga tidak mampu mengaliri irigasi pertanian masyarakat sekitar (Haluan).
Kekeringan menurut defenisinya adalah pengurangan jumlah air yang tersedia secara terus menerus yang bersifat perlahan tetapi memiliki dampak akumulasi dalam waktu yang lama. Banyak sektor yang terkait dengan kekeringan diantaranya pertanian, peternakan, pengairan, sosial dan ekonomi serta kesehatan. Badan Meteorologi Dunia (WMO) membagi Kekeringan menjadi 4 jenis yaitu kekeringan meteorologis, hidrologis, pertanian dan sosial ekonomi. Air sebagai unsur penting bagi tanaman untuk aktivitas metabolismenya. Sebagai pelarut dan pengangkut hara dari dalam tanah sekaligus pendingin bagi tubuh tanaman.
Proses Fotosintesis misalnya sumber energi dari matahari dan air memiliki peran penting dari proses tersebut, penguapan yang juga terus berlangsung maka tanaman akan tertekan/stress sehingga menggangu aktivitasnya. Meskipun kebutuhan air dari masing-masing tanaman pangan berbeda-beda jika hujan tidak turun lebih dari 10 hari tanaman mulai mengalami stress/tekanan yang akan berlanjut layu permanen dan kekurangan hasil atau kegagalan tanam maupun panen. Sawah-sawah yang tidak berigasi akan sangat terpengaruh dengan kemarau saat ini.
Tinjauan dinamika atmosfer secara global dan regional yang dominan mempengaruhi musim kemarau saat ini dapat dilihat dari pola arah angin dan kondisi indeks suhu muka laut Indonesia. Kondisi dominan lebih dipengaruhi pergerakan angin musim Australia/ angin timuran yang bersifat kering sejak april. Menguatnya nilai IOD sejak Agustus : 0.79 dan Suhu Muka laut perairan Sumatera yang mendingin juga mengakibatkan kurangnya pembentukan awan-awan hujan.
Prakiraan sepuluh hari kedepan Curah hujan berpeluang dalam kategori rendah hingga menengah. Untuk itu upaya antisipasi perlu terus dilakukan. Penyesuaian pola tanam di daerah musim kering pada sawah tadah hujan dengan menyesuaikan tanamannya atau menunda tanam hal yang mungkin dilaksanakan selain dari beralih menanam hortikultura yang berumur pendek. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan dengan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat untuk tidak membakar lahan/ladangnya sehingga rendahnya titik api (hot spot) di Sumatera Barat.
Penurunan kualitas udara dalam kategori sedang hasil monitoring GAW Koto Tabang juga akibat kiriman asap dari provinsi Riau dan Jambi yang saat ini deteksi banyak titik api. Hasil pantuan Hot Spot di Sumatera berdasarkan citra Satelit Tera Aqua Lapan sedikitnya terdapat 10 titik api dengan tingkat kepercayaan 81-100 persen yang dapat mengurangi jarak pandang dan pernafasan.
Penulis adalah Pengamat Meteorologi Geofisika Muda BMKG Pd Pariaman