Kisah peradaban hukum Siallagan di Samosir
Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo bersama Ibu Negara Iriana Widodo dalam kunjungan kerjanya di Provinsi Sumatera Utara pada Rabu antara lain meninjau Huta Siallagan, kampung adat di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, yang dikenal sebagai kawasan penegakan hukum.
Saat mengunjungi kampung berhawa sejuk yang berada tak jauh dari kawasan Danau Toba itu, Presiden mendapat sambutan dari Bupati Samosir Rapidin Simbolon dan sejumlah tokoh adat, termasuk raja ke-17 Siallagan bernama Gading Jansen Siallagan yang menceritakan asal mula "kampung hukum" kepada Presiden.
Gading, yang merupakan tetua kampung, menuturkan bahwa di Huta Siallagan ada area yang disebut dengan "batu persidangan", tempat raja mengadili para pelanggar hukum adat. Batu persidangan terdiri atas satu meja dengan kursi-kursi yang disusun melingkarinya.
"Jadi kalau Raja Siallagan bersidang, memberikan hukuman kepada setiap penjahat, di sinilah dia di sidang," kata Gading sebagaimana dikutip siaran pers Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Kepresidenan.
Gading menjelaskan pula bahwa batu persidangan di sebelah kanan raja dalam prosesi persidangan pada masa dahulu biasanya ditempati oleh adik-adik raja, sedangkan batu yang ada di sebelah kiri raja merupakan tempat para penasihat, termasuk dua penasihat terdakwa, dua penasihat korban, dan satu penasihat kerajaan.
"Kenapa mereka perlu penasihat kerajaan? Apabila tidak ada komitmen (kesepakatan) antara empat penasihat, maka keputusan ada di tangan penasihat kerajaan," Gading menjelaskan.
"Jadi jangan aneh, Bapak, kalau orang Batak banyak jadi pengacara. Jadi kayaknya Pak, mereka itu lulusan Siallagan semua," tambah Gading berkelakar.
Menurut hukum Raja Siallagan pada masa lalu, setidaknya ada tiga jenis persidangan yakni persidangan untuk tindak pidana ringan, tindak pidana umum, dan tindak pidana serius (berat).
"Kami sebut tindak pidana ringan, yaitu mencuri. Raja masih memaafkannya, raja membebaskannya, asal dia bisa bayar empat kali apa yang dia curi. Kalau dia curi satu kerbau, dia harus bayar empat kerbau, maka boleh bebas," kata Gading.
Dalam persidangan, raja dan para penasihat juga akan mencari hari baik untuk mengeksekusi pelaku tindak pidana berdasarkan kalender Batak. Jika waktu eksekusi telah diputuskan, maka hukuman akan diberikan.
"Seorang dukun akan diperintahkan oleh raja kapan orang ini akan dipancung. Orang Batak punya (semacam) feng shui. Kalau orang Jawa bilang itu primbon, orang Batak bilang maniti ari," kata Gading.
Huta Siallagan memiliki benteng pelindung berupa tembok batu yang mengelilingi area seluas kurang lebih 2.400 meter persegi.
Presiden dan Ibu Negara mengunjungi Huta Siallagan didampingi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Pariwisata Arief Yahya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Saat mengunjungi kampung berhawa sejuk yang berada tak jauh dari kawasan Danau Toba itu, Presiden mendapat sambutan dari Bupati Samosir Rapidin Simbolon dan sejumlah tokoh adat, termasuk raja ke-17 Siallagan bernama Gading Jansen Siallagan yang menceritakan asal mula "kampung hukum" kepada Presiden.
Gading, yang merupakan tetua kampung, menuturkan bahwa di Huta Siallagan ada area yang disebut dengan "batu persidangan", tempat raja mengadili para pelanggar hukum adat. Batu persidangan terdiri atas satu meja dengan kursi-kursi yang disusun melingkarinya.
"Jadi kalau Raja Siallagan bersidang, memberikan hukuman kepada setiap penjahat, di sinilah dia di sidang," kata Gading sebagaimana dikutip siaran pers Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Kepresidenan.
Gading menjelaskan pula bahwa batu persidangan di sebelah kanan raja dalam prosesi persidangan pada masa dahulu biasanya ditempati oleh adik-adik raja, sedangkan batu yang ada di sebelah kiri raja merupakan tempat para penasihat, termasuk dua penasihat terdakwa, dua penasihat korban, dan satu penasihat kerajaan.
"Kenapa mereka perlu penasihat kerajaan? Apabila tidak ada komitmen (kesepakatan) antara empat penasihat, maka keputusan ada di tangan penasihat kerajaan," Gading menjelaskan.
"Jadi jangan aneh, Bapak, kalau orang Batak banyak jadi pengacara. Jadi kayaknya Pak, mereka itu lulusan Siallagan semua," tambah Gading berkelakar.
Menurut hukum Raja Siallagan pada masa lalu, setidaknya ada tiga jenis persidangan yakni persidangan untuk tindak pidana ringan, tindak pidana umum, dan tindak pidana serius (berat).
"Kami sebut tindak pidana ringan, yaitu mencuri. Raja masih memaafkannya, raja membebaskannya, asal dia bisa bayar empat kali apa yang dia curi. Kalau dia curi satu kerbau, dia harus bayar empat kerbau, maka boleh bebas," kata Gading.
Dalam persidangan, raja dan para penasihat juga akan mencari hari baik untuk mengeksekusi pelaku tindak pidana berdasarkan kalender Batak. Jika waktu eksekusi telah diputuskan, maka hukuman akan diberikan.
"Seorang dukun akan diperintahkan oleh raja kapan orang ini akan dipancung. Orang Batak punya (semacam) feng shui. Kalau orang Jawa bilang itu primbon, orang Batak bilang maniti ari," kata Gading.
Huta Siallagan memiliki benteng pelindung berupa tembok batu yang mengelilingi area seluas kurang lebih 2.400 meter persegi.
Presiden dan Ibu Negara mengunjungi Huta Siallagan didampingi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Pariwisata Arief Yahya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.