Perlukah kompensasi bagi G30S/PKI?

id G30S/PKI,Kompensasi G30S/PKI

Perlukah kompensasi bagi G30S/PKI?

Film G30S PKI.

Setiap menjelang akhir September, pemerintah Indonesia hampir selalu diingatkan untuk akan adanya permintaan untuk memaafkan bahkan juga memberi kompensasi terkait peristiwa G30S/PKI.

Beberapa hari menjelang 30 September tahun 2015, seorang warga negara Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo agar pemerintah Indonesia mengampuni para pemberontak G-30S/PKI bahkan orang- orang komunis beserta seluruh anggota keluarganya harus diberi ganti rugi alias kompensasi atas kerugian materiil dan nonmateriil atas tindakan dianggap yang "merugikan" mereka oleh mayoritas anak bangsa.

Permintaan itu datang dari orang Indonesia yang "kebetulan" lahir di sebuah negara di Eropa.

Namun tuntutan atau desakan kepada pemerintah Indonesia itu mendapat reaksi keras dari Persatuan Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia- Angkatan Darat atau TNI AD.

Saat itu para purnawirawan Angkatan Darat menegaskan bahwa para pemberontak itu sama sekali tak pantas untuk dimaafkan atau diampuni, ataupun diberi kompensasi karena mereka telah berusaha menggulingkan pemerintahan Indonesia yang sah.

Presiden Joko Widodo mendengar dan memerhatikan aspirasi para pensiunan Angkatan Darat itu beserta berbagai unsur rakyat lainnya, sehingga kemudian menegaskan bahwa PKI tidak akan dimaafkan atau diberi kompensasi.

Keputusan mantan gubernur DKI Jakarta dan juga mantan wali kota Solo tersebut membuat lega para purnawirawan.

Tanpa terasa pemberontakan G-30-S/PKI yang berlangsung pada tahun 1965 itu telah berlangsung 53 tahun silam, akan tetapi sebagian besar rakyat Indonesia terutama generasi tua pasti tak akan bisa melupakan pemberontakan PKI itu yang didukung oleh satuan elit Tjakrabirawa yaitu satuan pengawal kepresidenan.

Letnan Kolonel Untung, salah satu perwira menengah di Tjakrabirawa memang dikenal sebagai salah satu "pentolan" dalam upaya pemberontakan ini.

Selain dia, juga terdapat beberapa perwira Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang (kini Tentara Nasional Indonesia /TNI) yang dinyatakan terlibat dalam pemberontakan tahun 1965 itu.

Bahkan, kemudian ada seorang anggota DPR dari Fraksi ABRI yang terpaksa diganti alias direcall karena diduga keras terlibat PKI.

Pada tahun 2018 ini, dalam situasi politik di Tanah Air yang jauh lebih baik dan tenang dibanding tahun 1965, bangsa Indonesia sedang bersiap-siap menyambut pemilihan presiden dan wakil presiden yang dibarengi dengan pemilihan anggota DPD RI, DPR RI serta DPRD provinsi serta kota dan kabupaten pada 17 April 2019.

Dengan pilpres dan pileg yang sudah di depan mata tersebut, maka diharapkan kehidupan berpolitik dan berdemokrasi di Tanah Air akan semakin mulus.

Selain itu, beberapa negara yang dianggap sebagai "dedengkot" komunis di tingkat dunia sudah memperlihatkan perubahan mendasar.

Uni Sovyet yang telah pecah menjadi beberapa negara dan yang terbesar dan terkuat adalah Rusia, berubah menjadi lebih terbuka dan hangat.

Beberapa bulan lalu di negara itu dilaksanakan kejuaraan sepak bola tingkat dunia sehingga ibu kota Rusia, Moskow menjadi pusat perhatian dunia.

Sementara itu, Republik Rakyat Cina alias Tiongkok juga telah banyak menunjukkan perubahan, antara lain dengan semakin bebasnya orang- orang asing untuk berkunjung bahkan berinvestasi.

Para pengusaha Cina pun sebaliknya juga banyak sekali yang menanamkan modal atau investasi di banyak negara termasuk Indonesia.

Selesaikah Komunis?

Sekalipun komunis disebut- sebut mulai pudar keperkasaan atau kekuatannya, nbukan berarti bangsa Indonesia boleh berleha- leha atau tenang- tenang saja. Indonesia boleh saja berbaik sangka terhadap Rusia, RRC, Kuba atau beberapa negara komunis lainnya.

Namun yang pasti seluruh rakyat Indonesia harus tetap mewaspadai adanya gerakan- gerakan yang bisa mengarah kepada upaya memasukkan kembali paham komunis ke negara ini.

Jajaran TNI, Badan Intelijen Negara (BIN), serta Polri pasti mempunyai bukti yang tidak bisa dianggap main- main atau remeh tentang masuknya lagi ideologi komunis.

Selain itu, juga terdapat berbagai ideologi lainnya yang ingin dimasukkan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini.

Sebuah kelompok internasional yang diberi nama ISIS juga terus berusaha masuk ke berbagai negara termasuk Indonesia sehingga ratusan atau bahkan ribuan WNI berhasil lolos dari Tanah Air untuk "menuntut ilmu peperangan di Suriah, Irak bahkan juga negara tetangga seperti Filipina.

Generasi muda alias milenial Indonesia perlu diingatkan bahwa PKI bukan hanya baru sekali melakukan pemberontakan bersenjata tapi sudah beberapa kali.

Sebut saja pemberontakan di Madiun. Kemudian juga pernah terjadi pembunuhan terhadap seorang prajurit ABRI, Pelda Sudjono di Bandar Betsy, Provinsi Sumatera Utara.

Jadi paham dan gerakan komunisme tidak bisa dianggap sudah "mati" di Indonesia dan negara-negara lainnya termasuk Kuba, Rusia, China.

Sekalipun Rusia sudah menjadi "begitu terbuka" dengan menjadi tuan rumah kejuaraan sepak bola dunia, apakah ada jaminan bahwa komunisme benar- benar sudah "angkat kaki" dari negara tersebut?

Kemudian, pada saat Mikail Gorbachev memimpin Rusia dengan ide keterbukaannya yang disebarkan ke seluruh dunia, apakah juga sudah menjamin bahwa komunis tidak akan "bergentayangan" lagi ke seluruh dunia?

Di Indonesia, tingkat pendidikan sudah cukup maju dengan semakin bertebarannya lembaga-lembaga pendidikan mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, SMA-SMK hingga perguruan tinggi yang mengakibatkan terus bertambahnya kelompok cerdik pandai di semua daerah di Tanah Air.

Di pelbagai negara yang biasa melakukan kejuaraan- kejuaraan ilmiah tingkat dunia, para pemuda dan pemudi terus "berunjuk gigi" sehingga menghasilkan prestasi- prestasi yang patut dibanggakan.

Sekalipun di antara 265 juta orang Indonesia begitu banyak orang- orang pintar, sikap waspada tetap harus dimiliki oleh bangsa ini agar tidak terjadi lagi pemberontakan seperti peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965 dengan berbagai bentuknya.

Menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila atau Hapsak yang biasanya diselenggarakan pemerintah pusat di Jakarta dan seluruh pemerintah daerah di provinsi, kota hingga kabupaten pada tanggal 1 Oktober 2018, perlu diserukan sikap waspada terhadap kemungkinan masuknya paham komunis ke NKRI dan juga ideologi- ideologi lainnya dengan dasar negara Pancasila.

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sudah berusia 73 tahun harus terus dipertahankan kehidupannya sehingga tidak "berganti baju" dengan paham atau ideologi lainnya, sehingga Pancasila tetap bertahan sekalipun akan semakin tumbuh generasi milenial. (*)