Mengorbankan anak-istri dalam aksi terorisme?

id teror bom di surabaya

Mengorbankan anak-istri dalam aksi terorisme?

Ledakan bom di Surabaya. (cc)

Jakarta, (Antaranews Sumbar) - Apa yang terjadi dengan sebagian keluarga Indonesia yang dikenal sebagai bangsa religius dan ramah, hingga muncul fenomena baru di luar nalar tatkala tiga keluarga diduga menjadi pelaku peledakan bom bunuh diri di Jawa Timur?

Anak dan istri tidak terlahir sebagai teroris tetapi mengapa mereka dilibatkan dalam aksi kejahatan kemanusiaan ini?

Bukankah ini merupakan bentuk baru dari kekerasan dalam rumah tangga, tatkala anak dan istri, dilibatkan oleh kepala rumah tangga dan didoktrin untuk ikut dalam keyakinan sesat dan menghalalkan segala cara?

Bukankah anak merupakan titipan Tuhan yang harus dipelihara agar tumbuh menjadi anak yang saleh dan saleha hingga bisa mendoakan kedua orang tuanya untuk keselamatan hidup di dunia dan akhirat?

Bukankah anak dan istri mesti terlindungi dalam kehidupan keluarga yang "sakinah, mawaddah, wa rahmah" atau tenteram, penuh cinta dan kasih sayang?

Bukankah kepala rumah tangga menjadi imam untuk membawa setiap anggota keluarganya selamat dalam kehidupan di dunia dan akhirat?

Pertanyaan-pertanyaan besar itu semestinya menjadi pemikiran sebelum bertindak karena jawabannya pasti mengacu pada norma-norma agama dan sosial.

Ternyata norma-norma agama dan sosial itu tidak berlaku bagi tiga kepala keluarga, Dita Oepriyanto (dalam pemberitaan sebelumnya tertulis Priyanto dan Supriyanto), Anton Febrianto dan Tri Murtiono. Mereka diduga telah mengorbankan anak dan istri untuk terlibat dalam aksi terorisme yang mengguncang negeri ini hingga terasa ke seluruh dunia.

Dita bersama istrinya, Puji Kuswati, dan empat anaknya, Yusuf Fadil (18), Firman Halim (16), Fadilah Sari (12) serta Pamela Rizkita (9), melakukan aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada Minggu (13/5) pagi. Keluarga itu tinggal di kawasan Krukut, Surabaya.

Dita, pelaku peledakan bom di Gereja Pentakosta Pusat Surabaya (GPPS) Jalan Arjuna, diduga menggunakan mobil dengan bom yang dipangku. Sebelumnya dia menurunkan Puji, Fadilah Sari dan Pamela Rizkita meledakkan diri mereka di parkiran Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro dengan menggunakan bom yang dibelitkan di pinggang mereka.

Sementara Yusuf dan Firman yang mengendarai sepeda motor meledakkan diri di Gereja Maria Tak Bercela (GMTB) di Jalan Ngagel.

Polisi menyebut hingga Senin (14/5) malam terdapat 18 korban meninggal dunia (termasuk enam dari satu keluarga terduga pelaku) dan 43 orang terluka.

Anton (47) bersama istri, Puspita Sari (47) dan empat anaknya, Hilta Aulia Rahman (17), Ainur Rahman (15), Faisa Putri (11) dan Garida Huda Akbar (10), melakukan aksi peledakan bom di rumah mereka di Rusunawa Blok B Lantai V Wonocolo, Sidoarjo, pada Minggu malam.

Mereka tinggal di sana sejak 2015. Lokasi kejadian itu berjarak sekitar 10 kilometer dari lokasi kejadian di tiga gereja pada Minggu pagi.

Polisi, sebagaimana disebutkan oleh Kabid Humas Polda Jatim Kombes Polisi Frans Barung Mangera, setelah terdengar satu kali ledakan, mendapati Anton terluka dan masih memegang "switching" bom kedua sehingga dilumpuhkan hingga tewas oleh polisi. Sedangkan Puspita dan Aulia telah meninggal.

Sementara Ainur yang selamat, didapati polisi sedang berusaha membawa kedua adiknya yang terluka ke rumah sakit. Polisi kemudian membawa korban luka ke RS Bhayangkara.

Sementara Tri Murtiono (50) beralamat di Ngagel Rejo, Surabaya, bersama istri, Tri Ernawati (43) dan tiga anaknya, mengendarai dua motor dan masuk ke Mapolrestabes Surabaya kemudian meledakkan bom bunuh diri.

Hanya Ais, anak bungsu mereka, yang diduga berusia delapan tahun yang terluka. Sedangkan ayah, ibu dan dua kakaknya tewas di tempat.

Fenomena yang terjadi pada tiga keluarga itu memang sama sekali tidak mewakili keluarga Indonesia. Namun apa yang mereka lakukan tentu saja mengungkapkan ada yang tidak wajar dalam pembinaan keluarga mereka.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengemukakan, keluarga terduga teroris tersebut terkait dengan jaringan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Kapolri memastikan tiga keluarga itu saling terkait.

Tiga keluarga ini belajar merakit bom sendiri secara daring melalui media sosial dari jaringan JAD dan JAT.

Dari media sosial inilah, jaringan teroris ini menanamkan ajaran dan mengubah pemahaman masyarakat yang pada akhirnya satu keluarga yang terdiri atas ayah, ibu dan anak-anaknya, bahkan yang berusia balita, bersedia melakukan serangan bom bunuh diri. Tito berpengalaman membedah jaringan teroris dan pernah mengepalai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Daya Tahan

Mengapa keluarga bisa melakukan aksi terorisme bersama-sama?

Najeela Shihab, seorang psikolog pendidikan dari Sekolah Cikal, berkomentar bahwa suatu keluarga dapat menjadi pelaku kekerasan karena dalam keluarga tersebut tidak diajarkan nilai-nilai kemanusiaan.

Nilai-nilai dasar yang menghormati kemanusiaan tidak diajarkan di keluarga sehingga satu keluarga bisa menjadi pelaku pengeboman.

"Tidak diajarkan di keluarga itu, berarti orang tua mengajarkan hal yang tidak tepat, atau tidak membahasnya sama sekali. Berarti juga di sekolah, tidak dibiasakan membahas isu-isu moral, membandingkan informasi," katanya.

Nilai dan kepercayaan, termasuk pemahaman dan praktik keagamaan memang tumbuhnya dalam keluarga. Jadi bahwa satu keluarga mendukung bahkan melakukan kekerasan dan kejahatan bersama, itu sebetulnya sesuatu yang bisa diprediksi.

Hal itu mirip dengan pelaku korupsi yang juga berasal dari keluarga yang sama. Nilai-nilai intoleransi tumbuh dan berkembang dalam keluarga tersebut.

Penyebab lainnya, kemungkinan besar juga percakapan dalam lingkungan tetangga sangat terbatas dan cenderung dengan kelompok yang homogen. Media yang ditonton atau pemuka agama yang didengarkan juga jangan-jangan menganjurkan kekerasan dan tidak saling menghormati.

Apa yang terjadi pada tiga keluarga itu memang telah melenceng atau "out of the track" dari norma kehidupan yang sehat dalam keluarga.

Keluarga semestinya menjadi benteng utama untuk mencegah dari berbagai upaya dan paparan berbagai media sosial terhadap terorisme dan radikalisme.

Sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto Wiyogo bahwa ketahanan keluarga merupakan benteng utama dari upaya penyebaran paham radikalisme.

Tidak adanya kekuatan terhadap ketahanan keluarga, maka anggota keluarga yang lain dengan mudah terpengaruh paham radikal begitu ada salah satu keluarga terpengaruh.

Anggota keluarga yang terpengaruh paham tersebut kemudian menyebarkan paham tersebut kepada anggota keluarga yang lain.

Keluarga harus mempunyai daya tahan dari kesesatan. Dengan demikian, harus ada pembinaan keluarga. Pemerintah juga harus selalu melakukan pengawasan dan pendampingan sampai tingkat rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) serta bukan hanya untuk sosialisasi politik saja.

Keluarga perlu menanamkan sejak kecil dari pangkuan hingga dewasa terhadap nilai-nilai kehidupan yang beragama, bermoral, penuh kasih sayang antaranggota keluarga dan masyarakat, belajar mencintai sesama, lingkungan hidup dan terus dipupuk sampai dewasa.

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami, istri atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya.

Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga semestinya terbina dengan baik agar tumbuh dan berkembang menjadi masyarakat yang baik pula, menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan sosial kemasyarakatan.

Sebagaimana amanat yang mengikat setiap warga negara atas hukum positif seperti dalam UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Pendudukan dan Pembangunan Keluarga, pembangunan keluarga adalah upaya mewujudkan keluarga berkualitas yang hidup dalam lingkungan yang sehat.

Dengan kasus tiga keluarga yang melakukan aksi kejahatan kemanusiaan itu harus menjadi pembelajaran bagi seluruh potensi bangsa ini untuk bersatu padu menyelamatkan keluarga dari paham-paham sesat dan menyesatkan.

Dalam perkembangan zaman yang juga berdampak pada pergeseran nilai dalam masyarakat, termasuk dalam keluarga yang bisa dipetik dari kasus tiga keluarga tersebut, memegang teguh jati diri dan karakter sebagai bangsa yang beragama, bermoral dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menjadi sebuah keniscayaan dan semakin relevan untuk selalu dan selamanya tertanam dalam hati sanubari dan tercermin perilaku sehari-hari.

Indonesia dibangun dan berdiri sebagai negeri demokratis di atas desain negara kekeluargaan yang menjadi kunci utama mempersatukan kemajemukan Bangsa Indonesia, berdasarkan empat konsensus nasional yang merupakan harga mati yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kekeluargaan merupakan jantung keindonesiaan. Kehilangan semangat kekeluargaan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia merupakan kehilangan segala-galanya.

Kehilangan yang membuat biduk perahu kebangsaan limbung, terombang-ambing gelombang perubahan tanpa jangkar dan arah tujuan.

Jadi saatnya menjaga keluarga dengan berani memerangi terorisme dan radikalisme. Selamatkan keluarga, sekarang!. (*)