Pemimpin korup karena hilangnya akhlak, ujar Abraham

id Abraham Samad

Pemimpin korup karena hilangnya akhlak, ujar Abraham

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad. (ANTARA Sumbar/Fathul Abdi)

Pemimpin yang melakukan korupsi itu karena dia tidak mempunyai integritas diri, dan akhlak. Karena jika akhlak itu ada, sifatnya tidak akan berlawanan dengan moralitas
Padang, (Antaranews Sumbar) - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, menilai perilaku korup yang dilakukan oleh seorang pemimpin atau kepala daerah karena hilangnya akhlak.

"Pemimpin yang melakukan korupsi itu karena dia tidak mempunyai integritas diri, dan akhlak. Karena jika akhlak itu ada, sifatnya tidak akan berlawanan dengan moralitas," kata Abraham Samad saat jumpa wartawan di Padang, Kamis malam (22/3).

Dari penanganan yang dilakukan KPK, katanya, setidaknya ada 100 lebih bupati atau wali kota yang terjerat korupsi, dan 20 lebih gubernur.

Ia menyebutkan ada dua teori korupsi yang pertama karena serakah, kedua karena kebutuhan.

Teori serakah digolongkan kepada seseorang yang sudah punya jabatan tinggi, mempunyai pendapatan yang cukup, tapi masih melakukan korupsi.

"Orang yang punya jabatan tapi masih korupsi, mereka ini serakah. Padahal gaji dari jabatannya seharusnya sudah mencukupi," katanya.

Ia menegaskan orang-orang korupsi serakah itulah yang harus dikenakan hukuman berat.

Untuk teori kebutuhan, ia memisalkan pada seorang oknum yang menerima pemberian dari masyarakat karena memang pendapatannya kurang.

"Seorang pegawai kecil yang gajinya pas-pas an, kemudian dia melakukan korupsi seperti menerima uang sogokan dari masyarakat. Ini adalah kelompok korupsi karena kebutuhan," katanya.

Untuk korupsi kebutuhan, katanya, solusi yang harus ada adalah perbaikan sistem penggajian oleh pemerintah dan negara.

Pria kelahiran Makassar itu juga mengatakan sistem pendidikan yang mengedepankan karakter perlu untuk pencegahan korupsi.

"Pendidikan tidak hanya kognitif, tapi juga karakter untuk penanaman nilai. Ilmu yang tinggi dengan karakter lemah, di situlah muncul celah korupsi," katanya.

Ia menyarankan harus ada porsi besar pendidikan karakter di Indonesia mulai dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), hingga perguruan tinggi.

"Perilaku orang tua juga akan membentuk karakter anak, tidak perlu orang tua itu sarjana ataupun profesor," katanya. (*)