Jakarta, (Antara Sumbar) - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) segera berwenang untuk menangani perkara permainan pelaku usaha seperti kartel di lingkup internasional melalui revisi Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 yang segera dibahas dalam rapat paripurna DPR.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengatakan dalam revisi UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat itu ada lima poin yang menjadi substansi, salah satunya mengubah definisi pelaku usaha yang bisa dikenai sanksi jika melakukan tindakan antipersaingan usaha.
"Dengan mengubah definisi cakupan pelaku usaha yang dikenai sanksi pada UU Nomor 5 Tahun 1999, memperkenankan KPPU menangani perkara di luar teritori Indonesia dan akan sangat positif bagi kemajuan ekonomi kita dalam mencegah kartel bersifat internasional," kata Syarkawi dalam konferensi pers di Gedung KPPU Jakarta, Selasa (6/6).
Syarkawi mengatakan KPPU selama ini hanya bisa menangani perkara di Indonesia, tapi tidak bisa menangani antipersaingan yang dilakukan pelaku usaha di luar negeri meskipun tindakan itu berdampak di Indonesia.
Menurut dia, persaingan bisnis antarnegara menjadi perhatian KPPU, apalagi Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara tengah memasuki masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) sehingga tindakan persaingan usahanya pun tidak lagi dibatasi oleh teritori suatu negara.
Oleh karena itu, KPPU menilai perlu ada kewenangan untuk mengungkap potensi kejahatan lintas negara dan mencegah kartel internasional yang berdampak pada perekonomian Indonesia, salah satunya dengan mengubah definisi pelaku usaha dalam UU Nomor 5 Tahun 1999.
"Misalnya pelaku usaha di Singapura bersekongkol untuk menetapkan tarif pengangkutan kontainer ke Indonesia. Semua pelaku usaha di Singapura, badan hukumnya di Singapura, tapi berkartelnya di Indonesia. Dalam UU yang sekarang kami tidak bisa menyelidiki. Oleh sebab itu, KPPU haru diberikan kewenangan dalam mengungkap kejahatan di luar teritori Indonesia," kata dia.
Ia menambahkan saat ini revisi UU 5/1999 dalam tahap pembahasan sebelum disetujui pada Rapat Paripurna DPR.
Ada pun Kementerian Perdagangan ditunjuk menjadi lembaga pimpinan dalam pembahasan revisi UU 5/1999 yang didukung dengan kementerian lainnya, seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian dan Kepala Staf Kepresidenan. (*)