Ketika Menteri Dua Negara Berbalas Pantun

id Ketika Menteri Dua Negara Berbalas Pantun

Suasana pertemuan budayawan dan wartawan Indonesia-Malaysia di Istana Bung Hatta Bukittinggi, Sumatera Barat pada 24 September 2011 menjadi meriah ketika Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring memberikan sambutan.

"Urang rami ka majelis taklim, pai mandanga kaji Buya Hamka. Sanang hati basuo jo Dato Rais Yatim, Marapi jo Singgalang pun jadi bahagia," kata Tifatul berpantun dalam bahasa Minang memulai sambutannya.

Pantun tersebut ditujukannya kepada Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Dato Sri Utama Dr Rais Yatim yang datang bersama 15 wartawan dari negeri jiran pada acara yang digagas Ikatan Setia Kawan Wartawan Indonesia-Malaysia (Iswami).

Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera yang ibunya berasal dari Bukittinggi itu sengaja menyampaikan pantun dalam bahasa Minang, mengingat Dato Rais juga merupakan keturunan Minangkabau yang berasal dari Palupuah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Tidak mau kalah, Dato Rais Yatim dalam sambutannya juga berpantun serta mengunakan pepatah petitih dengan bahasa Minang yang sangat fasih.

"Kok tagang bajelo, kalau kandua badantiang-dantiang, walau harimau di dalam paruik, kambing juo nan keluar, (tegang berjela-jela, kendur berdenting-denting, walaupun harimau di dalam perut, kambing juga yang dikeluarkan, red)," kata Dato Rais dalam pantunnya yang merupakan salah satu pepatah petitih cukup dikenal di Ranah Minang.

Melalui pepatah tadi ia memberikan pesan yang sangat kuat terkait hubungan kedua negara yang mengalami pasang surut karena berbagai persoalan yang dihadapi.

Ia menjelaskan, dalam sebuah pemerintahan terutama menyangkut kebijakan hubungan antara dua negara harus ada ruang untuk berkomunikasi dan bernegosiasi.

Karakter garang yang dimiliki seorang manusia bisa diubah agar menjadi lemah lembut, kata dia yang pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Malaysia.

Menurut Dato Rais, melalui pertemuan budayawan dan wartawan Indonesia-Malaysia tersebut ada dua poin penting yang bisa diambil, yaitu mengedepankan diplomasi lembut dalam meyelesaikan persoalan terkait kedua negara serta imbauan untuk tidak berkonflik.

Ia mengatakan, Malaysia dan Indonesia khususnya dengan Sumatera Barat memiliki identitas yang sama sebagai negara serumpun terutama dalam segi seni, budaya dan bahasa.

"Walaupun dari segi geografis dan politik berbeda, namun dari pada aspek seni dan budaya kita dapat bersatu, perkuat persatuan melalui kesamaan yang dimiliki dan mari kita penggirkan perbedaan," lanjut dia.

Bahkan ia mengusulkan Bahasa Indonesia-Melayu dijadikan sebagai bahasa komersial di kawasan Asia Tenggara.

Setidaknya hal itu dapat diterapkan di lima negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darusalam, dan Thailand bagian selatan yang melibatkan sekitar 300 juta jiwa.

Bahasa tersebut juga akan menjembatani upaya saling berbagi ilmu pengetahuan serta kerja sama dalam berbagai bidang, kata dia.

Sejalan dengan itu, Menteri Tifatul Sembiring mengemukakan, hubungan Malaysia dengan Indonesia dapat lebih dipererat melalui pendekatan seni dan budaya.

Jika selama ini hubungan kedua negara cukup baik, kendati mengalami pasang surut karena beberapa persoalan, namun dapat ditingkatkan dengan pendekatan seni dan budaya, kata dia.

Dikatakan Tifatul, hubungan kedua negara ibarat pasangan suami istri yang tentu tidak dapat akur terus, adakalanya terjadi perselisihan.

"Hal itu wajar karena kita bertetangga, namun yang lebih penting adalah mencari titik temu dan persamaan kedua negara melalui seni dan budaya," lanjut dia.

Jika pemerintah kedua negara dalam meningkatkan hubungan melalui jalur politik, maka masyarakat dapat lebih mempereratnya dengan pendekatan seni dan budaya, ujarnya menambahkan.

Sebab, kata dia, jika berkonflik hanya akan menguras energi dan tenaga serta kedua negara sama-sama dirugikan.

Menurut dia, menjalin hubungan baik perlu upaya serius dan optimal dan memelihara hubungan baik tersebut jauh lebih berat lagi.

Lebih lanjut ia menilai, beberapa persoalan yang terjadi selama ini lebih karena terlalu dibesar-besarkan dan setelah dijalin komunikasi dapat dicari akar masalahnya.

Peran Media





Sementara Ketua Ikatan Setia Kawan Wartawan Malaysia-Indonesia (Iswami) Saiful Hadi mengemukakan, media memiliki peran strategis dalam meningkatkan hubungan antara Indonesia dengan Malaysia.

Bila terjadi persoalan dalam hubungan kedua negara, maka peran media strategis dan menentukan dalam upaya turut menyelesaikan persoalan tersebut, kata dia.

Menurut Direktur Pemberitaan LKBN ANTARA itu, wartawan Malaysia dan Indonesia harus memiliki kontak langsung agar dalam setiap pemberitaan menyangkut hubungan kedua negara bisa berimbang.

Apalagi kedua negara merupakan bangsa yang serumpun dan memiliki hubunga emosional yang sangat dekat, lanjut dia.

Kemudian, melalui pertemuan rutin antara wartawan dan budayawan hubungan baik kedua negara juga dapat terus ditingkatkan melalui kerja sama di berbagai bidang yang potensial.

Salah satu kerja sama yang potensial untuk dijajaki, menurut Saiful Hadi, adalah dalam bidang industri kreatif.

Sebelumnya Iswami telah memfasilitasinya dengan mengundang 60 pengusaha kecil dan menengah Malaysia ke Bandung untuk menjajaki pemasaran produk yang dihasilkan.

Pada akhir pertemuan juga dilakukan pencanangan Ikrar Bukittinggi yang berisi lima butir kesepakatan wartawan kedua negara sebagai komitmen meningkatkan hubungan kerja sama dan hubungan kedua belah pihak.

Ikrar dibacakan Saiful Hadi bersama Ketua Iswami Malaysia YB Dato Chamil Wariya disaksikan Ketua Dewan Kehormatan PWI Tarman Azzam, Ketua PWI Sumbar Basril Basyar dan Naib Presiden II Iswami Malaysia En A Jalil Ali.

Dikatakan Saiful Hadi, ikrar tersebut salah satu tujuannya untuk membentuk kode etik wartawan khususnya dalam pemberitaan yang menyangkut kedua negara.

Kesepakatan pertama berisi komitmen membantu secara proaktif mengukuhkan hubungan baik Indonesia dan Malaysia pada berbagai bidang di tingkat masyarakat dan pemerintah dengan mengangkatkan berbagai kegiatan sosial, ekonomi dan budaya.

Kemudian, juga disepakati memperkuat kerja sama media kedua negara dalam menjembatani dan mencarikan solusi persoalan yang dihadapi serta bertindak sebagai lembaga penyelesaian konflik.

Selanjutnya, menjadikan Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu sebagai bahasa ilmu dan bahasa bersama di antara kedua negara.

Berikutnya, meningkatkan kerja sama dan ikatan dalam menghadapi tantangan global yang mengancam kedaulatan kedua negara.

Lalu, menjalankan kode etik jurnalistik yang bertanggung jawab dan adil dalam membuat pemberitaan yang menyangkut kedua negara dan dalam hal ini akan diatur melalui kode etik wartawan Malaysia dan Indonesia.

Kagumi Sumbar





Selain menggelar pertemuan, 15 jurnalis dari negeri jiran itu juga berkesempatan mengunjungi objek wisata yang ada di Sumbar.

Menurut salah seorang wartawan Malaysia Suffian Abu Bakar dari Surat Kabar Utusan Malaysia, keindahan alam Sumbar sangat mempesona dan ia akan merekomendasikan kepada rakyat Malaysia untuk berkunjung ke daerah itu.

Rombongan wartawan Malaysia tersebut berkesempatan mengunjungi Kelok 44 di Kabupaten Agam, Museum Buya Hamka di Maninjau, Makam Syeik Burhanuddin di Kabupaten Padangpariaman, Kawasan Wisata Mande di Kabupaten Pesisir Selatan serta Pantai Air Manis di Kota Padang.

Dikatakan Suffian, selama mengunjungi objek wisata tersebut ia mengaku menyaksikan panorama alam yang sangat indah yang selama ini belum pernah disaksikannya.

"Ini merupakan pengalaman yang sangat berkesan dan tidak akan terlupakan bagi rekan-rekan wartawan dari Malaysia," kata dia.

Selain keelokan alam Sumbar, salah satu hal yang juga sangat berkesan adalah keramahan masyarakat di daerah ini, ujar dia menambahkan.

Suffian mengaku sangat terkesan dengan pemandangan alam di Kelok 44 dengan latar Danau Maninjau yang hijau dan asri.

Ia juga kagum dengan pemandangan di Kawasan Wisata Mande dengan hamparan laut tenang berwarna biru.

Ia mengatakan, keindahan alam serta keelokan budaya tersebut akan dipublikasikan di media masing-masing oleh para wartawan Malaysia. (*)