Produk Palsu Tinta Printer Paling Banyak Beredar

id Produk Palsu Tinta Printer Paling Banyak Beredar

Jakarta, (Antara) - Produk palsu tinta alat pencetak atau printer merupakan produk palsu yang paling banyak beredar, berdasarkan hasil survei Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP). Dalam pemaparan hasil survei di Jakarta, Rabu Ketua MIAP Widyaretna Buenastuti menyebutkan prosentasi produk tinta palsu mencapai 49,4 persen. "Hasil survei 2014 mencatat bahwa komoditas pakaian, tinta printer, barang dari kulit dan software merupakan produk-produk palsu yang paling banyak beredar," katanya. Dia merinci produk palsu tinta printer diikuti dengan produk-produk lainnya, yakni pakaian palsu 38,90 persen, barang dari kulit 37,20 persen dan perangkat lunak (software) 33,50 persen. Sisanya, lanjut dia, kosmetika palsu 12,60 persen, makanan dan minuman palsu 8,50 persen dan produk farmasi palsu 3,80 persen. Widyaretna menyebutkan jika dibandingkan dengan produk palsu pada 2010, tinta printer merupakan yang paling banyak karena belum ditemukan produk palsu saat itu. Dia menyayangkan produk palsu lainnya juga meningkat, seperti pakaian dari 30,2 persen pada 2010 menjadi 38,9 persen 2014, barang dari kulit dari 35,7 persen menjadi 37,2 persen, kosmetika dari 6,4 persen menjadi 12,6 persen, farmasi dari 3,5 persen menjadi 3,8 persen. Sementara itu, produk-produk palsu yang mengalami penurunan yakni perangkat lunak dari 34,1 persen menjadi 33,5 persen dan makanan-minuman dari 8,9 persen menjadi 8,5 persen. Dia juga memperkirakan potensi kerugian akibat pemalsuan barang di Indonesia bertambah menjadi sekitar Rp65,1 triliun hingga akhir 2014 dari sebelumnya sebesar Rp43,2 triliun. Lebih lanjut, Widyaretna menyebutkan dalam satu tahun Produk Domestik Bruto (PDB) berkurang sekitar Rp65 triliun. Akibatnya, lanjut dia, pekerja kehilangan upah dan gaji sekitar Rp3 triliun dan pemerintah kehilangan pendapatan dari pajak tidak langsung sekitar Rp424 miliar. Penelitian yang bekerja sama dengan tim survei Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu melibatkan 591 responden di Jabodetabek dan Surabaya yang meliputi konsumen akhir dan konsumen antara. Peneliti FEUI Euginia Mardanugraha mengatakan survei tersebut didasarkan kepada persepsi masyarakat tentang barang palsu. "Sampel survei ini merujuk pada kegiatan pemalsuan yang mengalami kecenderungan untuk meningkat, baik pemalsuan di Indonesia maupun internasional," kata Euginia. Dia mengatakan dasar penelitian tersebut, yakni penelitian Shelley (2012) yang mencatat bahwa nilai perdagangan barang-barang palsu di seluruh dunia pada 2003 sebesar 450 miliar dolar AS, sedangkan pemalsuan obat-obatan mencapai 14 miliar dolar AS. (*/jno)