Sijunjung (ANTARA) - Tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Universitas Negeri Padang yang diketuai oleh Qoori Nadhilah, bersama anggota Ilham Habib, Ulva Rahmi, Fhazle Maulla Haqani, dan Rahmi Atika Azwir, serta dibimbing oleh Ibu Lailaturrahmi, S.Pd., M.Pd., melakukan riset pengelolaan hutan berbasis masyarakat di Kabupaten Sijunjung.
Ketua tim, Qoori Nadhilah, Kamis (4/9) di Padang menyebut fokus utama riset adalah peran kearifan lokal dalam menjaga kelestarian Rimbo Larangan di Nagari Paru.
Kearifan lokal tersebut tidak bisa dilepaskan dari sosok Tuo Rimbo atau juru kunci hutan, yakni Sahirman Lelo, yang kini berusia lebih dari 80 tahun.
Sejak awal 1980-an, ia telah mengabdikan hidupnya menjaga rimbo larangan, yang kini menjadi benteng penting pelestarian hutan di nagari tersebut.
Dalam wawancara di kediamannya, Sahirman menuturkan bahwa kawasan rimbo larangan awalnya merupakan tanah pusaka keluarga sekaligus hulu air sawah. “Ini tanah pusaka dari ibu saya. Karena hulu air sawah keluarga ada di sini, saya bertekad menjaganya. Kalau hutan ini rusak, sawah kami tidak akan hidup” ujarnya.
Pada tahun 1982, saat ada perusahaan yang mencoba merambah kawasan hulu air, ia dengan berani menghadang mereka hanya berbekal sebilah ladiang (parang panjang).
“Saya berdiri menghadang mereka, minta tidak merusak wilayah iitu karena di sinilah hulu air sawah. Kalau hutan ini hilang, habis pula penghidupan masyarakat sekitar,” kenangnya.
Sikap tegas inilah yang membuat masyarakat Nagari Paru sepakat menunjuknya sebagai Tuo Rimbo Rimbo Larangan.
Kini, Rimbo Larangan di Nagari Paru membentang di dua lokasi utama, Bukik Mandiangin dan Sungai Sirah, dengan luas sekitar 4.500 hektare.
Aturan adat melarang keras penebangan pohon, pembakaran lahan, dan perburuan liar. Masyarakat hanya diperbolehkan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti rotan, madu, dan damar.
“Sanksi bagi yang melanggar jelas. Harus membayar seekor sapi dan denda. Kalau tidak dapat ditangani, kasusnya dibawa ke penegak hukum,” tegasnya.
Meski usianya kian senja, Sahirman tetap memikirkan regenerasi. Ia mulai menanamkan nilai-nilai menjaga hutan kepada cucu serta kemenakannya (keponakan), sebagai salah satu bentuk tanggung jawab adat dan keluarga.
“Saya berharap generasi muda sadar, karena hutan ini sumber air, sumber hidup, dan warisan untuk anak cucu kita,” ujarnya.
Kini, Rimbo Larangan di Nagari Paru tidak hanya menjadi simbol adat, tetapi juga contoh nyata bagaimana masyarakat mampu melestarikan hutan melalui kearifan lokal.
Sosok Tuo Rimbo menjadi bukti bahwa keberanian, pengabdian, dan cinta lingkungan dapat menjaga hutan tetap lestari dari ancaman kerusakan.*