Padang (ANTARA) - Ialah gula merah atau lumrah disebut saka oleh masyarakat Minangkabau yang melekat erat pada kehidupan sebagian besar penduduk yang bermukim di sekitar lereng Gunung Marapi, tepatnya di Nagari (desa) Bukik Batabuah, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Nagari yang didiami oleh sekitar 12 ribu jiwa yang tersebar pada empat jorong (dukuh) itu memang sudah lama terkenal sebagai daerah penghasil tebu, sekaligus gula merah. Pada umumnya, masyarakat di daerah itu menjadikan tanaman tebu sebagai mata pencarian utama. Bahkan, hampir setiap petani tebu juga memiliki usaha pembuatan saka.

Secara pasti, belum diketahui kapan pertama kalinya masyarakat setempat mulai menanam tebu. Begitu pula dengan daerah asal usul didatangkannya bibit tebu tersebut. Petani tebu setempat menyakini tanaman dengan nama latin saccharum tersebut sudah ada sejak lama dan menjadi mata pencarian secara turun temurun.

Selain tebu, warga Nagari Bukik Batabuah juga bekerja sebagai petani padi, petani sayur, dan tanaman hortikultura lainnya. Namun, hampir 90 persen masyarakat, terutama di Jorong Batang Silasiah dan Jorong Gobah bermata pencarian sebagai petani tebu dan pembuat saka.

Asneli (48), salah seorang petani tebu sekaligus pembuat saka di Jorong Batang Silasiah, mengaku sudah menggeluti usaha itu sejak duduk di kelas dua sekolah dasar. Kemudian, ia diajak orang tuanya bekerja di perkebunan tebu sejak usia lima tahun.

Sejak kecil Asneli sudah diajari cara mangilang atau menyuling tebu menggunakan sebuah mesin manual oleh nenek beserta orang tuanya. Mesin pemeras tebu berbentuk roda itu terbuat dari besi berdiameter sekitar 30 sentimeter, dengan mengandalkan tenaga seekor kerbau untuk memutarnya. Asneli seorang petani tebu saat diwawancarai terkait pengolahan tebu menjadi gula merah di Nagari Bukik Batabuah, Kabupatem Agam, Sumatera Barat. (ANTARA/Muhammad Zulfikar).
Setelah orang tua Asneli meninggal, ibu tiga anak itu terus melanjutkan usaha yang diwarisinya. Sambil menggenggam sepah tebu sisa-sisa penyulingan, ia menceritakan awal mula keluarganya menjadi petani tebu.

Awalnya, keluarga Asneli bukanlah petani tebu atau pembuat saka, melainkan warga yang sehari-harinya pergi dan pulang dari sawah sebagai petani. Namun, sejak salah seorang kerabat mereka datang dari perantauan membawa bibit tebu, keluarga perempuan bersuku Jambak itu mulai menanami sebidang tanah mereka dengan tebu.

Hal yang dia ingat, bibit tebu pertama itu dibawa dari daerah Tapuh, meskipun sesungguhnya dia tidak tahu persis bibit itu dari mana.

Dari pengakuan Asneli, buyutnya, Inyiak Datuak Nan Sati, merupakan orang pertama di jorong tersebut yang menanam tebu, yang hingga kini berkembang luas dan menjadi sumber perekonomian warga setempat.

Sejak kecil dia sudah menyaksikan langsung kedua orang tuanya bekerja sebagai petani tebu, sekaligus memproduksi saka dan kini berlanjut ke anak-anaknya.

Untuk mendapatkan gula merah yang berkualitas, petani tebu harus pintar dalam memilih tebu yang sudah matang, hingga mengolahnya menjadi saka. Tahapan itu dimulai dari memilih dan memanen tebu yang sudah berumur satu tahun.

Setelah dipanen, tebu dibawa ke tempat pengolahan atau biasa disebut tempat mangilang tebu. Tebu-tebu tersebut selanjutnya digeprek di atas batu berukuran besar menggunakan palu yang terbuat dari kayu atau besi. Kemudian, tebu diperas menggunakan mesin yang diputar oleh seekor kerbau.

Usai diperas, air tebu dimasukkan ke dalam wajan berukuran besar dan dimasak menggunakan kayu bakar. Pada proses ini, keahlian seorang pembuat gula merah diuji untuk mendapatkan saka yang manis dan berkualitas.

Air tebu yang dimasak dalam kurun waktu tertentu itu nantinya akan mengental dan masyarakat lokal menyebutnya sebagai tangguli. Selanjutnya, tangguli dipindahkan ke wajan lain untuk proses pendinginan. Kemudian, tangguli kembali dimasak menggunakan kayu bakar dengan suhu api yang tidak terlalu panas.

Selepas itu, tangguli tadi dicetak menggunakan batok kelapa sebelum dijual ke tauke. Pada umumnya saka-saka dari lereng Gunung Marapi dijual ke daerah Koto Baru, Kabupaten Tanah Datar, dan Kota Bukittinggi.

Proses pembuatan dari air tebu hingga menjadi saka atau gula merah, rata-rata menghabiskan waktu hingga tujuh jam, bahkan lebih atau tergantung dari alat yang digunakan. Jika menggunakan mesin berbahan bakar minyak (BBM), maka pembuatan gula merah akan lebih cepat dan produksinya juga jauh lebih banyak dibandingkan menggunakan alat tradisional.


Bertahan 

Di tengah kemajuan zaman, saat ini, hampir semua pekerjaan manusia dimudahkan dengan keberadaan teknologi dan mesin-mesin, namun hal itu tidak berlaku bagi Asneli dan suaminya, Jasman (51), si pembuat gula merah di Nagari Bukik Batabuah.

Bisa dikatakan hanya mereka dan segelintir orang saja yang masih bertahan menggunakan kerbau untuk menggerakkan mesin manual guna mendapatkan sari tebu.

Bertahan dengan cara-cara tradisional di tengah gempuran kemajuan zaman bukan tanpa alasan. Hal itu dipilih Asneli dan Jasman agar tetap bisa mengilang tebu dan bertahan hidup, dengan biaya produksi yang lebih murah dibandingkan dengan menggunakan mesin.
Asneli bersama suami sempat berpikir untuk membeli mesin seharga Rp32 juta itu dengan cara meminjam uang ke bank, namun niat tersebut dibatalkan karena khawatir tidak sanggup membayar cicilan setiap bulannya.

Perempuan paruh baya itu memutuskan tetap menggunakan cara-cara tradisional yang sudah diwariskan keluarganya secara turun temurun untuk memeras air tebu. Dengan mengandalkan tenaga kerbau sebagai penarik mesin, ia mampu menghasilkan maksimal 30 hingga 35 kilogram tangguli dalam sekali produksi, dengan durasi pengerjaan tujuh hingga delapan jam, sedangkan jika menggunakan mesin, dalam sehari bisa memproduksi minimal 50 kilogram.

Meski harus bersaing dengan pembuat tebu lain yang sudah menggunakan alat-alat modern, Asneli dan suaminya tidak pernah surut. Justru, asanya semakin tinggi karena menyadari anak perempuan mereka harus menjadi seorang sarjana muda.


Sarjana air tebu

Sebagai mata pencarian utama dan satu-satunya, Asneli dan Jasman paham betul kebutuhan keluarga, termasuk pendidikan anak-anak mereka yang sangat bergantung dari usaha mangilang tebu dan mengolahnya menjadi gula merah.

Sebagai petani tebu dan pembuat saka, pasangan ini menyadari jika hanya mengandalkan hasil perkebunan sendiri, maka tidak akan cukup untuk menyekolahkan dan membiayai anak-anaknya.

Untuk menambah penghasilan, pasangan itu juga menerima jasa mangilang tebu dari petani lain, karena tidak semua petani tebu di Nagari Bukik Batabuah mempunyai mesin atau pondok tempat pemerasan air tebu. Sebagian masyarakat hanya memiliki kebun tebu, kemudian jika ingin mengolahnya menjadi gula merah, mereka mengupahkannya ke pemilik pemerasan tebu.

Terkait pengerjaan, umumnya para petani tebu dan pemilik mesin bersepakat hasil tebu maupun gula merah dibagi dua, setelah seluruh biaya produksi dikeluarkan. Biaya produksi yang dimaksud ialah upah pengangkut tebu dari perkebunan ke tempat pengolahan serta biaya pembelian kayu bakar.
 
Bagi mereka, tidak ada kata letih untuk menyekolahkan ketiga anaknya hingga berhasil menjadi sarjana. Anak pertama pasangan tersebut kini telah menyandang status sarjana. Sekitar lima bulan lalu, anak sulung mereka itu baru saja menamatkan studi di salah satu perguruan tinggi Islam di Kota Bukittinggi.

Sembari menunggu mendapatkan pekerjaan yang dicita-citakan, sang anak kini mengabdikan diri di kampung halamannya sebagai guru mengaji di salah satu taman pendidikan Al Quran.

Tak berbeda jauh dari kakaknya, anak kedua Asneli bernama Elvi juga melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Negeri Imam Bondjol Kota Padang. 

Bagi Asneli dan Jasman, dapat menyekolahkan anak-anaknya dan berhasil menjadi sarjana merupakan kebahagiaan yang tak dapat diukur dengan mata uang manapun. Semua berujung pada kepuasan batin.

Sambil bersantai, Jasman berharap dan berdoa anak-anaknya kelak menjadi orang yang sukses dan berguna bagi lingkungannya.

Lelaki yang sudah berusia setengah abad itu tak pernah berharap lebih, apalagi mengharuskan dua anak perempuannya untuk ikut ke kebun tebu dan membuat gula merah, namun anak-anaknya sadar diri bahwa membantu orang tua merupakan suatu keharusan serta wajib ditunaikan selagi bisa.

Bahkan, jika putri keduanya yang saat ini berkuliah di UIN Imam Bonjol itu libur, ia selalu ikut membantu Asneli dan Jasman untuk mangilang tebu dan membuat saka di sebuah gubuk tua yang tepat berada di belakang rumah mereka.


Hilirisasi produk

Data di Pemerintah Nagari (Desa) Bukik Batabuah menunjukkan dari 12.000 lebih penduduk, sekitar 2.500 kepala keluarga di antaranya merupakan petani tebu. Setiap pekan, daerah itu bisa memproduksi 18 hingga 22 ton saka.

Gula merah yang dikumpulkan para pengepul tersebut dijual kembali ke sejumlah daerah, di antaranya Pasar Koto Baru, Kabupaten Tanah Datar, Kota Bukittinggi, Kabupaten Solok, Kota Padang, hingga Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang merupakan salah satu daerah terluar Indonesia di Pulau Sumatera.

Perkebunan tebu sangat berdampak positif terhadap perekonomian desa. Bahkan, sektor itu termasuk yang terus tumbuh di saat bidang lainnya mengalami penurunan, ketika pandemi COVID-19.

Pemerintah nagari terus mendorong masyarakat setempat berani berinovasi dan membuat produk turunan lainnya selain gula merah. Pelaku usaha gula merah juga disarankan segera mengurus izin pangan industri rumah tangga (PIRT).

Tidak hanya itu, Pemerintah Nagari Bukik Batabuah juga menjajaki kerja sama dengan sebuah universitas untuk membantu masyarakat setempat membuat produk turunan lainnya, salah satu yang ditargetkan ialah hilirisasi sari tebu menjadi minuman kemasan.

Targetnya tiga tahun ke depan hilirisasi produk tersebut sudah dapat diimplementasikan. Selain membutuhkan biaya yang tergolong besar, hilirisasi produk juga harus dibarengi dengan pembekalan pengetahuan dan sosialisasi yang masif kepada masyarakat.

 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Asa petani tebu di lereng Gunung Marapi menghadapi kemajuan teknologi

Pewarta : Muhammad Zulfikar
Editor : Siri Antoni
Copyright © ANTARA 2024