Padang (ANTARA) - Kepala Dinas Kebudayaan Sumatera Barat, Syaifullah menilai transliterasi atau alih aksara naskah kuno Minangkabau dari Arab Melayu menjadi aksara latin menjadi sebuah upaya untuk lebih mendekatkan sejarah kepada generasi pewarisnya.
"Ini penting agar generasi saat ini juga bisa mengetahui sejarahnya dari langsung dari sumbernya," katanya di Padang, Jumat.
Ia mengatakan sekarang tidak banyak lagi yang menguasai aksara Arab Melayu apalagi dengan Bahasa Minangkabau. Karena itu naskah kuno bagi generasi saat ini hanya dilihat sebatas peninggalan sejarah, tetapi tidak bisa dibaca dan dipelajari.
Akibatnya, generasi muda yang seharusnya menjadi pewaris dari sejarah, menjadi jauh dari "akarnya.
Ia menilai peluncuran buku Alih Aksara Kitap Salisilah Rajo-Rajo di Minangkabau yang dialihbahasakan oleh tujuh orang yang didominasi penulis muda masing-masing alm Emral Jamal, Zera Permana, Ghio Vani D.S, Hendri Aldrat, Sultan Kurnia AB, Khudri I dan Andhiko E Permana, perlu untuk diapresiasi.
Namun ia meminta para penulis untuk tidak antikritik terhadap karyanya, karena sumber dari Salasilah Rajo-Rajo di Minangkabau mungkin saja lebih dari satu dengan isi yang tidak persis sama sehingga bisa saja muncul kritik atau perdebatan-perdebatan.
"Jangan sampai patah arang dan tidak meneruskan karya hanya karena kritik dan perdebatan karena ilmu terkait humaniora memang membuka ruang untuk kritik dan perdebatan. Itu adalah hal biasa," katanya.
Sementara itu salah seorang penulis, Zera Permana mengatakan penulisan buku itu bertujuan untuk mempublikasi sejarah Minangkabau secara akademis sehingga generasi saat ini bisa melacak silsilah hingga ke raja pertama.
Ia mengatakan di dalam sejarah Minangkabau, setelah pemerintahan Raja Adityawarman pada abad 14, ada sekitar 300 tahun sejarah yang hilang, kemudian muncul lagi pada abad 16.
"Buku ini mencoba untuk memaparkan masa 300 tahun yang hilang itu," ujarnya.
Ia mengatakan naskah asli dari buku yang dialih aksarakan itu saat ini masih disimpan oleh Kaum Ampang Limo Sutan. Para penulis yang merupakan ahli waris dari naskah tersebut melakukan transliterasi naskah ke tulisan latin berbahasa Minangkabau yang awalnya telah dimulai oleh alm Emral Jamal.
"Buku ini adalah transliterasi satu dari empat naskah yang saling melengkapi. Ke depan kami berharap bisa mentransliterasi tiga naskah tersisa agar lebih lengkap," ujarnya.
Namun dalam waktu dekat, mereka akan fokus untuk mengalihbahasakan buku Alih Aksara Kitap Salisilah Rajo-Rajo di Minangkabau itu dari aksara latin berbahasa Minangkabau menjadi berbahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami.*
"Ini penting agar generasi saat ini juga bisa mengetahui sejarahnya dari langsung dari sumbernya," katanya di Padang, Jumat.
Ia mengatakan sekarang tidak banyak lagi yang menguasai aksara Arab Melayu apalagi dengan Bahasa Minangkabau. Karena itu naskah kuno bagi generasi saat ini hanya dilihat sebatas peninggalan sejarah, tetapi tidak bisa dibaca dan dipelajari.
Akibatnya, generasi muda yang seharusnya menjadi pewaris dari sejarah, menjadi jauh dari "akarnya.
Ia menilai peluncuran buku Alih Aksara Kitap Salisilah Rajo-Rajo di Minangkabau yang dialihbahasakan oleh tujuh orang yang didominasi penulis muda masing-masing alm Emral Jamal, Zera Permana, Ghio Vani D.S, Hendri Aldrat, Sultan Kurnia AB, Khudri I dan Andhiko E Permana, perlu untuk diapresiasi.
Namun ia meminta para penulis untuk tidak antikritik terhadap karyanya, karena sumber dari Salasilah Rajo-Rajo di Minangkabau mungkin saja lebih dari satu dengan isi yang tidak persis sama sehingga bisa saja muncul kritik atau perdebatan-perdebatan.
"Jangan sampai patah arang dan tidak meneruskan karya hanya karena kritik dan perdebatan karena ilmu terkait humaniora memang membuka ruang untuk kritik dan perdebatan. Itu adalah hal biasa," katanya.
Sementara itu salah seorang penulis, Zera Permana mengatakan penulisan buku itu bertujuan untuk mempublikasi sejarah Minangkabau secara akademis sehingga generasi saat ini bisa melacak silsilah hingga ke raja pertama.
Ia mengatakan di dalam sejarah Minangkabau, setelah pemerintahan Raja Adityawarman pada abad 14, ada sekitar 300 tahun sejarah yang hilang, kemudian muncul lagi pada abad 16.
"Buku ini mencoba untuk memaparkan masa 300 tahun yang hilang itu," ujarnya.
Ia mengatakan naskah asli dari buku yang dialih aksarakan itu saat ini masih disimpan oleh Kaum Ampang Limo Sutan. Para penulis yang merupakan ahli waris dari naskah tersebut melakukan transliterasi naskah ke tulisan latin berbahasa Minangkabau yang awalnya telah dimulai oleh alm Emral Jamal.
"Buku ini adalah transliterasi satu dari empat naskah yang saling melengkapi. Ke depan kami berharap bisa mentransliterasi tiga naskah tersisa agar lebih lengkap," ujarnya.
Namun dalam waktu dekat, mereka akan fokus untuk mengalihbahasakan buku Alih Aksara Kitap Salisilah Rajo-Rajo di Minangkabau itu dari aksara latin berbahasa Minangkabau menjadi berbahasa Indonesia agar lebih mudah dipahami.*