Simpang Empat (ANTARA) -
Kejaksaan Negeri Pasaman Barat, Sumatera Barat mengusulkan penghentian penuntutan atau restorative justice terhadap dua orang tersangka inisial AP dan AG kepada Jaksa Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung karena telah memenuhi kriteria aturan hukum pada kasus tindak pidana pencurian dan penadahan.
"Usulan itu disetujui oleh Jampidum pada Selasa (11/4) kemarin," kata Kepala Kejaksaan Negeri Pasaman Barat Muhammad Yusuf Putra melalui Kepala Seksi Intelijen Hendri Setiawan di Simpang Empat, Rabu
Ia mengatakan perkara itu berawal ketika tersangka AP pada Rabu (1/3) sekitar pukul 11.00 WIB di Jorong Rimbo Janduang Kenagarian Lingkuang Aua Kecamatan Pasaman telah melakukan tindak pidana pencurian terhadap satu unit sepeda motor Honda Revo BA 4762 SP atas nama ESN yang sedang parkir di bawah pohon kelapa sawit di sekitaran kebun milik korban ER.
Saat korban hendak pulang kembali ke rumah setelah bekerja di kebun miliknya mendapati sepeda motor yang diparkirkan sebelumnya sudah tidak berada pada tempatnya. Kemudian korban berusaha mencari tetapi tidak ditemukan.
Atas peristiwa tersebut korban mengalami kerugian sekitar Rp4 juta.
Kemudian tersangka AP menjual sepeda motor tersebut kepada tersangka AG dengan harga miring tanpa surat dan dokumen resmi dengan harga Rp1.100.000.
"Terhadap tersangka AP dijerat dengan Pasal 362 KUHP tentang pencurian dan tersangka AG dijerat dengan pasal 480 ayat (1) KUHP tentang tindak pidana penadahan," katanya.
Tersangka AP sehari-hari bekerja sebagai
pencari brondolan kelapa sawit dengan penghasilan yang tidak menentu dan mempunyai tanggungan satu orang isteri dan tiga orang anak.
Lalu tersangka AG bekerja sebagai montir bengkel harian dan mempunyai tanggungan satu orang isteri dan dua orang anak.
Melihat kondisi itu maka penuntut umum melakukan penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice (RJ) terhadap kedua perkara tersebut atas dasar kesepakatan perdamaian tanpa syarat antara pelaku dan korban.
"Sebelumnya kita telah memediasi mereka dan para pihak setuju berdamai," katanya.
Berdasarkan hal itu, katanya, untuk mencapai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum serta untuk menciptakan keharmonisan di dalam masyarakat maka dianggap perkara dari masing-masing mereka tersebut di atas lebih tepat untuk dilakukan penghentian penuntutan.
"Penghentian penuntutan itu berdasarkan keadilan restorative justice karena sudah memenuhi kriteria untuk dilakukan restorative justice," ujarnya.
Ia mengatakan selama 2022, perkara yang penyelesaiannya melalui restorative justice sebanyak 8 perkara dan satu perkara diversi.*