Padang (ANTARA) - Mengucapkan transparansi atau keterbukaan informasi memang mudah keluar dalam bentuk retorika. Dalam implementasinya dan wujud nyatanya tak semudah yang terucap. Kondisi itu terjadi disebabkan masih banyak problem yang menghambat.

Diantara penghambat itu, terlihat pada cara pemahaman dan penafsiran terhadap tuntutan pasal-pasal dalam Undang-undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sedangkan bagi yang sudah paham terhadap poin-poin penting dalam UU KIP, terkadang mengabaikan produk turunan yang diterbitkan Komisi Informasi Pusat sebagai pedoman teknis seperti PerKI.

Selain itu, masih ada yang menyederhanakan terhadap tujuan dari KIP dan termasuk masih terkungkung dengan warisan tradisi lama terhadap sikap melayani. Parahnya ada penghambat yang dinilai signifikan, yakni pada political will atau kemauan politik pembuat kebijakan kunci yang masih ada sebagian terkesan setengah hati.

Hambatan yang signifikan ini, memang tentu tidak bisa pula digeneralisasi karena ada juga pimpinan tertinggi atau pejabat utama PPID badan publik yang sudah punya komitmen terhadap terlaksananya keterbukaan informasi. Kepala daerah yang secara terang punya komitmen kuat terhadap KIP ada, tidak dinafikan pula. Hanya saja komitmen pimpinan tersebut tidak mengakar sampai pada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) di Badan Publik (BP).

Misalnya kalau di instansi pemerintah atau Organisasi Perangkat Daerah (OPD), atasan PPID masih terkesan belum secara serius menerjemahkan komitmen atau menjabarkan kebijakan kepala daerah dalam mewujudkan keterbukaan informasi publik. Akibatnya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dipercaya/dilibatkan sebagai PPID menyederhanakan pula dalam pengelolaan Daftar Informasi Publik (DIP).

Jadi, pada akhirnya di sebagian badan publik kebijakan KIP hanya dirumuskan dan tercatat secara baik dalam sebuah naskah kebijakan (polecy paper), struktur ada, Surat Keputusan pembentukan diterbitkan serta standar pelayanan sudah lengkap. Namun dalam tataran implementasinya belum sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan masyarakat.

Kesempatan ini penulis menguraikan sekilas studi kasus, dimana pada pertengahan Mei 2022, Lembaga dimana penulis bekerja melayangkan surat resmi untuk permintaan data (nama-nama dan nomor kontak) individu atau kelompok yang inspiratif dalam lima kategori (Pendidikan, Kesehatan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi Tepat Guna) ke sejumlah OPD di tingkat provinsi dan Kota Padang. Surat dengan kop resmi lembaga dan ditandatangani pemimpinan.

Maksud permintaan data pemuda pemudi yang menginspirasi atau inovatif diusia 17-35 tahun tersebut, bertujuan agar bisa menghubungi dan berkomunikasi untuk menyampaikan persyaratan untuk bisa direkomendasikan ikut kompetisi tingkat nasional yang digelar oleh satu perusahaan otomotif terbesar skala internasional, dalam penjaringan bekerja sama dengan beberapa pihak.

Semakin banyak pemuda pemudi yang menginspirasi tersebut asal Sumatera Barat dapat terjaring untuk direkomendasikan ikut kompetisi skala nasional tersebut, dan bila ada diantaranya yang bertengger sebagai terbaik atau juara, tentulah bisa mengharumkan nama daerah.

Namun, sayang ada surat resmi yang dilayangkan secara kelembagaan tersebut tidak dibalas. Ketika dikonfirmasi pun, mendapat jawaban mesti tunggu arahan atasan. Alih-alih tetap tak kunjung diperoleh penjelasan. Jangankan dapat data yang diharapkan, surat pun tak dibalas.

Bukan pula semua yang tidak membalas, dan ada juga yang respon tetapi dihadapkan persoalan ketika waktu minta data begitu rumit mendapatkannya. Pasalnya data tidak terhimpun dan terdokumentasi secara baik. Hal ini mengesankan satu bentuk belum berfungsi maksimal PPID disatu badan publik dalam mengupdate DIP.

Apakah bagi pegawai atau OPD terkait tersebut memahami dan menganggap data yang diminta termasuk pada informasi yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas sebagaimana tertuang dalam PerKI No 1 tahun 2021 pada Pasal 13 ayat 2 butir c. Tidak tahu jugalah bagaimana sebenarnya.

Kenyataan seperti studi kasus di atas menjadi salah satu penghambat dalam mewujudkan kualitas layanan KIP. Hal ini membuktikan dalam tataran implementasi pemenuhan ingin tahu atau hak bagi masyarakat mendapatkan informasi belum menjadi perhatian utama bagi pengelola pelayan publik. Ego sektoral dan warisan kebiasaan-kebiasaan masa lalu masih melekat.

Belum menyadari posisi sebagai pelayan masyarakat, artinya melayani belum menjadi budaya yang harus dimaksimalkan. Artinya dalam implementasi KIP masih terdapat ruang atau kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Buktinya kalau dilihat jumlah data permohonan sengketa informasi ke Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat (2015-2022) sebanyak 68 yang diputus melalui ajudikasi dan 51 melalui mediasi, satu penetapan dan satu pencabutan sengketa. Dari jumlah itu permohonan penyelesaian sengketa yang masih dalam proses (tahun 2021 dan 2022) tercatat 13 yang proses pembacaan putusan belum teragendakan jadwal persidangannya.

Mencermati data permohonan dari KI Provinsi Sumbar itu, bisa saja dianggap kecil bila dibandingkan dengan jumlah badan publik yang terdapat di 19 kabupaten/kota, plus provinsi serta instansi vertikal lainnya. Tentunya masih bisa diperdebatkan karena tak tertutup kemungkinan banyak masyarakat faktor tidak mau mengajukan permohonan sengketa informasi. Dan bisa lebih memilih mendiami dan memaklumi saja bila informasi yang diharapkan tidak bisa didapat. Boleh jadi mempertimbangkan waktu dan energi kalau disengketakan.

Namun tentu tidak boleh pula tutup mata dan pesimistis dengan waktu yang terus berjalan dan proses terus berlangsung sejak lahirnya UU No. 14 Tahun 2008, bila melihat data skala nasional dilaman KI Pusat Republik Indonesia, secara garis besar sudah terjadi pergeseran ke arah lebih baik.

Banyak juga BP yang sudah berada di peringkat informatif, menuju informatif, dan cukup informatif. Mengutip data hasil laporan pemeringkatan tahun 2021 di situs resmi KI Pusat Republik Indonesia. Berikut perbandingan antara tahun 2021 dengan 2020; bahwa jumlah BP yang kategori informatif pada 2021 tercatat 83 BP, naik dari tahun 2020 hanya berjumlah 60 BP.

Sedangkan yang untuk kategori menuju informatif sebanyak 64 BP pada 2021, naik dari 34 BP pada 2020. Termasuk salah satunya Provinsi Sumatera Barat berada pada urutan kedua sebagai provinsi menuju informatif. Untuk kategori cukup informatif tercatat 51 BP pada 2021 atau berkurang dari tahun sebelumnya yang berjumlah 61 BP. Kemudian yang kategori kurang informatif terjadi penurunan menjadi 37 BP di 2021 dari 47 BP pada 2020. Begitu juga kategori tidak informatif turun drastis menjadi 100 BP di 2021 dari jumlah 146 BP pada tahun sebelumnya.

Kemudian melihat dari hasil analisis data Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) dalam laporan KI Pusat 2021, bahwa penetapan nilai IKIP secara nasional pada 2021 sebesar 71,37 menunjukkan hasil pelaksanaan keterbukaan Informasi Publik di tanah air berada pada kondisi sedang. Hal itu menunjukkan gambaran pelaksanaan keterbukaan informasi publik selama tahun 2020 sejak Januari hingga Desember.

Selama 10 tahun waktu telah berjalan, sudah cukup atau bahkan menggembirakan dalam implementasi amanat konstitusi UUD 1945 Pasal 28 F hasil amandemen 2002 menjamin hak atas informasi publik (right to information) dan UU No.14 tahun 2008 tentang KIP bagi warga negara?.

Penguatan Regulasi dan Dimensi Pelayanan 

Dalam mewujudkan keterbukaan informasi publik dari aspek penguatan regulasi sudah sangat memadai sebagai dasar dalam pelaksanaan, mulai dari amanat konstitusi dalam Pasal 28 F itu, "setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia".

Jaminan dari konstitusi itu kemudian dikuatkan dengan disahkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan banyak lagi produk hukum sebagai penguatan dalam upaya berlangsungnya KIP. Sejumlah PerKI yang menjadi pedoman dan standar teknis sudah diterbitkan Komisi Informasi Pusat. Bahkan ditingkat pemerintah Provinsi Sumbar, teranyal sudah lahir pula Peraturan Daerah Nomor 17 tahun 2022 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Menjadi harapan besar dan menunjukkan penguatan pada aspek regulasi untuk implementasi KIP semakin terlihat nyata.

Bahkan, kebijakan regulasi yang bersinggungan dengan pelayanan publik pun cukup banyak, mulai dari Undang-undang, peraturan pemerintah, dan khusus di Provinsi Sumatera Barat sudah memiliki Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2015 tentang Penyelenggara Pelayanan Publik, dan setidaknya ada tiga peraturan gubernur seputar penyelenggara, tata cara pengaduan dan pengaduan pelayanan publik. 

Dalam regulasi yang ada sudah terang benderang sebenarnya, ada ketentuan prosedur tetap dalam bentuk Standar Operasional Prosedur (SOP), alur mendapatkan informasi, tingkat keterbukaan informasi, tata cara pengaduan dan penanganan, maklumat/janji layanan, motto layanan, kelengkapan sarana prasarana penunjang yang harus dimiliki, dan kompetensi yang harus dimiliki bagi aparatur pelayanan publik, serta lainnya.

Ketentuan yang diamanatkan regulasi berkaitan dengan pelayanan publik dan keterbukaan informasi sudah banyak juga dipajang di kantor-kantor badan publik, meski pun sudah ada yang warnanya sudah kusam. Kenyataan belum pula menjadi jaminan stiker-stiker dipampang menjadikan pelayanan publik dan keterbukaan informasi sesuai dengan yang diharapkan.

Kendati demikian, political will dari sisi regulasi bisa dikatakan sudah lebih dari cukup kalau dalam tataran implementasinya benar-benar pemahaman dan penerapan secara utuh dan punya keseriusan sesuai amanat regulasi yang ada. Sesungguhnya dalam kenyataannya tentu semakin banyak badan publik yang sudah berada pada posisi kategori informatif, setidaknya ke depan dan masa mendatang.

Kendati demikian hal yang tak bisa diabaikan juga dalam mencapai keterbukaan informasi, dan menuju badan publik yang informatif sebagaimana menjadi ekspektasi atau melampaui harapan masyarakat sangat penting penguatan dimensi pelayanan publik yang prima sebagai titik tolak atau pintu masuk. Diketahui terdapat enam dimensi pelayanan publik itu, meliputi sikap, perhatian, tindakan, kemampuan, penampilan dan tanggung jawab.

Dalam tataran implementasi pelayanan bagaimana sikap yang baik harus ditunjukkan dan ditonjolkan di saat melayani masyarakat, bukan sikap cuek dan acuh atau membeda-bedakan. Dan pada bagian dimensi kepedulian, mesti menunjukkan perhatian yang penuh terhadap kebutuhan dan keinginan masyarakat soal layanan diinginkan, termasuk ettention terhadap saran dan kritikan yang disampaikan.

Sedangkan dalam dimensi tindakan harus diperlihat dengan perbuatan yang nyata. Jadi maklumat layanan, motto dan standar pelayanan yang dibuat dan dipajang harus sesuai dengan tindakan dalam pelaksanaan. Pada dimensi kemampuan/pengetahuan tidak kalah pentingnya dalam pelayanan yang menuntut aparatur yang berada di PPID mampu memahami menghadirkan komunikasi yang efektif dengan menguasai/memahami terhadap bidang kerja yang ditekuni.

Dimensi penampilan turut mempengaruhi kualitas layanan, karena tergantung bagaimana dalam merefleksikan kepercayaan diri dan kredibilitas terhadap pihak lain yang dilayani. Terakhir dimensi tanggung jawab sangat penting karena berkaitan dengan sikap keberpihakan dan kepedulian untuk menghindari kerugian dan ketidakpuasan "pelanggan".

Jadi dimensi pelayanan ini dinilai sangat penting mendapat perhatian serius untuk dilakukan penguatan melalui political will pimpinan dan atasan dari PPID serta pengawasan semaksimalnya oleh PPID Utama agar dalam penerapan tiga prinsip terlaksana sesuai harapan; yakni pengaturan informasi publik yang pada dasarnya bersifat terbuka dan dapat diakses. Informasi yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas. Setiap informasi harus dapat diperoleh secara cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan dengan cara yang mudah.

Sebab, faktor-faktor penghambat berada pada pusaran dimensi layanan yang sebelum berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya keterbukaan informasi pada badan publik masih dihadapkan kendala dalam tataran pelaksanaan dan penerapannya.

Justru itu, melalui penguatan dimensi layanan ini sehingga dapat menjadi bagian dari solusi untuk mempercepat badan-badan publik khususnya di Sumatera Barat berada pada kategori informatif yang sesungguhnya sehingga muaranya pada terwujudnya good governance dan clean governance. Bila tak ada perubahan, maka dibutuhkan kemauan politik kepala daerah menggeser kepala OPD yang tidak serius dalam mewujudkan pelayanan prima dan keterbukaan informasi. Supaya jangan sampai keterbukaan informasi hanya sebagai live service saja.*** (Opini ini ditulis oleh wartawan/redaktur www.sumbar.antaranews.com/Siri Antoni/22).

 


 

Pewarta : Opini-Siri Antoni
Editor : Joko Nugroho
Copyright © ANTARA 2024