Padang (ANTARA) -
Material longsor di tebing bukit kawasan Sitinjau Lauik, Sumatera Barat masih dibiarkan menggantung labil tanpa usaha untuk penanganan yang serius. Tebing itu hanya menunggu waktu untuk runtuh ke jalan nasional Jakarta-Padang yang berada tepat dibawahnya.
Bila bencana itu datang saat kawasan tengah dipadati kendaraan, tidak terbayang akan berapa banyak jiwa yang akan melayang sia-sia. Entah berapa anak yang akan jadi yatim atau piatu, entah berapa banyak orang tua akan kehilangan anak harapan masa depannya?
Jalan nasional yang melewati kawasan Sitinjau Lauik adalah salah satu jalur padat. Maklum arus barang dari Jawa menuju Padang harus melewati jalur itu. Setibanya di Solok, sopir akan belok kiri menuju kawasan Sitinjau Lauik lalu langsung tiba di Padang. Jaraknya hanya sekitar 54 kilometer. Sebenarnya ada alternatif jalan via Padang Panjang, tapi akan menambah panjang rute hingga 132 kilometer.
Tidak banyak orang yang mau mengambil rute panjang itu. Alasannya jelas, efisiensi. Biaya operasional akan membengkak tiga kali lipat. Apalagi setelah harga BBM naik cukup signifikan. Bahkan kendaraan pribadi yang relatif irit BBM-pun akan berfikir dua kali mengambil rute panjang itu. Belum lagi jika memperhitungkan penatnya tubuh karena waktu tempuh bisa tiga jam lebih.
Mempertimbangkan faktor risiko yang berkaitan dengan nyawa masyarakat dan terhambatnya arus barang yang bisa membuat angka inflasi melonjak, sudah sepantasnya Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menjadikan penanganan kawasan Sitinjau Lauik menjadi prioritas utama untuk segera dibenahi.
Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi sudah berulangkali meninjau kondisi kawasan itu. Ia sempat "marabo" (marah besar) karena tidak ada solusi yang didapatkan untuk penanganan tebing yang telah puluhan kali longsor menimbun badan jalan itu. Pejabatnya seolah saling lempar tanggung jawab dengan berbagai alasan. Bola penanganan tebing itu kemudian dilempar ke Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Sumbar.
Alasannya, tebing itu berada tepat di pinggir jalan nasional yang menjadi kewenangan BPJN Sumbar.
Persoalan peliknya adalah status tebing bukit itu yang berada dalam kawasan hutan lindung. Kawasan yang memiliki aturannya sendiri. Aturan yang juga memuat tentang ancaman pidana bagi perorangan atau lembaga yang melakukan pekerjaan di kawasan itu tanpa izin.
Kepala Dinas Kehutanan Sumbar, Yozarwardi menyebut sebenarnya untuk kawasan hutan lindung di bawah 5 hektare, izin pinjam pakainya adalah kewenangan provinsi. Cukup izin dari gubernur. Tetapi dalam salah satu syarat perizinannya, orang atau badan yang akan melakukan pekerjaan di kawasan itu harus menandatangani pakta integritas. Itu aturan.
Dalam pakta integritas itu dibunyikan pula ancaman pidana. Pakta integritas itulah yang tidak mau ditandatangani oleh Kepala BPJN Sumbar, Syahputra A.Gani. Ia punya alasan kuat pula untuk tidak menandatanganinya. Pertama, kewenangan BPJN Sumbar hanya sebatas jalan nasional, tidak termasuk tebing bukit yang akan runtuh itu.
Sesuai kewenangan, pihaknya berkomitmen membersihkan semua material longsor yang menimbun badan jalan nasional. Ia sudah menempatkan tiga alat berat di titik longsor untuk penanganan tersebut. Setiap kali longsor, tiga alat berat itu akan bekerja sehingga masyarakat tidak kehilangan akses jalan untuk dilewati.
Alasan kedua, pihak BPJN sudah punya pengalaman buruk soal pekerjaan di kawasan hutan lindung. Ada yang pernah harus berurusan dengan aparat hukum. Syahputra tidak mau mengambil risiko anak buahnya akan terjerat hukum bila mengerjakan sesuatu yang bukan kewenangan mereka.
Maka, hanya karena selembar surat pakta integritas itu, semua upaya penanganan tebing di kawasan Sitinjau lauik itu terus terkatung-katung. Tidak ada kejelasan. Sementara setiap kali hujan, material tanah dan batuan di tebing terus saja runtuh menimbun badan jalan nasional di bawahnya.
Yang terjadi hingga saat ini baru longsoran dalam skala kecil. Tiga alat berat yang disiagakan oleh Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Sumbar di lokasi itu masih bisa mengatasi, mengeruk material longsor kemudian membuangnya ke jurang di sisi jalan. Tapi masih ada berton-ton material longsor yang masih tergantung di sisi tebing. Bila runtuh sekaligus, entah apa yang akan terjadi.
Apalagi pada titik berbahaya itu, ribuan pengendara seringkali terjebak macet berjam-jam, menunggu alat berat membersihkan material longsor, terutama saat hujan lebat. Kemacetan dari dua arah, dari Padang menuju Solok dan sebaliknya akan mengular panjang. Pernah pula kejadian sebuah truk yang tengah terjebak macet, tertimpa pohon yang roboh bersama dengan material longsor. Truk ringsek. Beruntung tidak ada korban jiwa karena sopir bisa menyelamatkan diri.
Tidak terbayangkan bila bencana longsor besar terjadi saat ribuan pengendara terjebak macet di titik itu... .
Persoalan melibatkan hutan lindung memang pelik, namun bukan tidak ada solusi. Jika Pemprov Sumbar mau melihat persoalan dengan jernih dan tidak sekadar saling lembar tanggung jawab, penanganan tebing Sitinjau Lauik itu bisa segera dilakukan.
Objek yang harus ditangani itu adalah tebing bukit kawasan Sitinjau Lauik, bukan jalan nasional. Karena itu, beban tidak seharusnya ditimpakan ke pundak BPJN Sumbar yang hanya punya kewenangan sebatas kondisi jalan nasional saja.
Kewenangannya jelas. Kawasan hutan lindung di bawah 5 hektare adalah kewenangan Pemprov Sumbar. Bila dalam kondisi normal, penanganan tebing itu harusnya menjadi tanggung jawab Dinas PU yang saat ini bernama Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman Dan Pertanahan (Perkimtan) Sumbar. Maka pakta integitas bisa ditandatangani oleh Kepala Perkimtan Sumbar.
Dengan tujuan yang jelas untuk menyelamatkan nyawa masyarakat yang melintas di kawasan Sitinjau Lauik, harusnya tidak perlu ada kecemasan untuk menandatangani pakta integritas itu. Apalagi dengan memastikan semua administrasi berjalan sesuai koridor hukum.
Asisten II Setdaprov Sumbar, Wardarusmen menyebut dalam rapat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) yang salah satunya membahas kondisi Sitinjau lauik beberapa waktu lalu, semua pimpinan Forkopimda mulai dari Gubernur, Kapolda, Danrem 032 WB, Kajati Sumbar hingga BIN sepakat Sitinjau Lauik harus dibenahi segera. Apa yang terjadi di Sitinjau Lauik dipandang sebagai sebuah bencana.
Jika memang dipandang sebagai kondisi bencana maka akan lebih mudah ditangani karena akan ada diskresi sehingga tidak ada alasan bagi Pemprov Sumbar untuk menunda penanganan kawasan itu.
Bila longsoran yang terjadi di kawasan Sitinjau Lauik ditetapkan sebagai sebuah bencana dan berton-ton material yang masih menggantung di bibir tebing harus segera ditangani untuk menghindari bencana yang lebih besar, maka beban tanggung jawab untuk penanganan menjadi tanggung jawab Badan Penanggulanan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar. Kalaksa BPBD Sumbar lah yang kemudian harusnya menandatangani pakta integritas yang dibutuhkan untuk persyaratan pinjam pakai kawasan hutan lindung itu.
Semua yang harusnya bertanggung jawab untuk penanganan Sitinjau Lauik adalah "anak buah" Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi. Maka komitmen yang telah ditunjukkan oleh orang nomor satu di Sumbar itu musti segera direalisasikan. "Anak buahnya" harus bisa bergerak cepat menterjemahkan keinginan pimpinannya yang tidak ingin ada nyawa masyarakatnya melayang karena longsor di Sitinjau Lauik.
Dengan administrasi yang lengkap dan izin yang jelas hitam di atas putih, Pemprov Sumbar mungkin masih bisa meminta dukungan dari Kementerian PU melalui BPJN Sumbar untuk membantu menyelesaikan persoalan tersebut. Dengan demikian tidak ada lagi masyarakat Sumbar yang takut dan cemas melewati jalur maut Sitinjau Lauik.
Namun bila terus ditunda-tunda, saling lempar tanggung jawab hingga akhirnya ada yang tewas karena longsor di Sitinjau Lauik, bukankah itu bisa dipandang karena adanya kelalaian yang menyebabkan nyawa melayang?***2***