Bukittinggi (ANTARA) - Sebagai wujud dari pengabdian kepada masyarakat (PKM), Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang melakukan Sosialisasi Hukum Kesehatan dalam rangka wujud Tri Darma Perguruan Tinggi yang diikuti ratusan peserta di RSAM Bukittinggi, Sumbar, Selasa.
Peserta Sosialisasi Hukum Kesehatan ini berasal dari perwakilan Rumah Sakit Achmad Mochtar (RSAM) Bukittinggi, RS Otak Dr Drs Muhammad Hatta, RS Yarsi, RSUD Bukittinggi, RS TNI AD, Stikes Yarsi, Stikes Fort De Kock, Stikes Prima Nusantara, Universitas Perintis, Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi serta perwakilan seluruh Puskesmas yang ada.
Dalam Sosialisasi yang menampilkan pembicara pakar hukum kesehatan Gustafianof dari RS Muhammad Djamil dan Yussy A Mannas dari Universitas Andalas itu memberikan informasi dan langkah serta permasalahan hukum yang terjadi dalam dunia kesehatan.
"Pada dasarnya, saya lebih setuju dengan penyampaian Prof Dr. Bambang Purnomo bahwa hukum kesehatan adalah peraturan perundang-undangan yang mencakup pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan selaku health provider kepada masyarakat yang membutuhkannya selaku health receiver tanpa pelanggaran HAM yang bersifat lex specialis sesuai arahan," kata Gustafianof dalam penyampaian materinya.
Menurutnya, kewajiban hukum terhadap tenaga kesehatan harus dicermati dan disadari sendiri oleh petugas kesehatan.
"Rumah sakit merupakan suatu lembaga atau panti yang semata-mata penyelenggaraan pertolongan (sosial), untuk misi kemanusiaan sehingga tidak dapat digugat dan rumah sakit bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh petugas profesi bawahannya baik sebagai status tetap maupun tidak tetap," jelasnya.
Dalam makna perlindungan hukumnya, Gustafianof mengatakan pelaku kesehatan tidak bisa langsung disalahkan ketika tindakan sudah sesuai dengan prosedur.
"Dokter dan tenaga kesehatan dapat bekerja secara profesional dan kebebasan profesi sesuai peraturan perundang-undangan dan tidak bisa langsung dipersalahkan sepanjang memenuhi standar profesi dan SOP berlaku," kata Gustafianof.
Menjawab pertanyaan peserta sosialisasi tentang perlunya struktur organisasi dalam unit pelayanan kesehatan, Yussy A Mannas mengatakan dukungannya untuk disiapkan biro hukum dalam rumah sakit dan sejenisnya.
"Sangat perlu untuk berbagai sengketa medis, kita juga berharap para penegak hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan lainnya dapat mendalami kembali hukum kesehatan, karena hubungan dokter dengan pasien tidak bisa disamakan dengan hubungan penjual dengan konsumen yang serta merta bisa dilaporkan ke layanan konsumen saat terjadi permasalahan," kata Yussy.
Sementara Plt Kadinkes Bukittinggi, Erwin Umar menyebut program ini bisa menambah wawasan tentang regulasi kesehatan.
“Kami sebenarnya di jajaran Dinkes saat awal pandemi itu butuh pendampingan soal hukum, kami tidak mampu mengambil kebijakan secara tepat dan cepat,” katanya.
Darurat kesehatan, menurutnya bisa mengimplikasikan masalah hukum karena itu diperlukan bimbingan teknis hukum kesehatan.
Erwin mencontohkan sejumlah daerah belum berani mencairkan insentif tenaga kesehatan, padahal nakes menjadi ujung tombak penanganan COVID-19.
“Mungkin karena takut terbentur regulasi dan kebijakan, karena itu perlu bimbingan seputar hukum kesehatan ini,” tutupnya.
Peserta Sosialisasi Hukum Kesehatan ini berasal dari perwakilan Rumah Sakit Achmad Mochtar (RSAM) Bukittinggi, RS Otak Dr Drs Muhammad Hatta, RS Yarsi, RSUD Bukittinggi, RS TNI AD, Stikes Yarsi, Stikes Fort De Kock, Stikes Prima Nusantara, Universitas Perintis, Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi serta perwakilan seluruh Puskesmas yang ada.
Dalam Sosialisasi yang menampilkan pembicara pakar hukum kesehatan Gustafianof dari RS Muhammad Djamil dan Yussy A Mannas dari Universitas Andalas itu memberikan informasi dan langkah serta permasalahan hukum yang terjadi dalam dunia kesehatan.
"Pada dasarnya, saya lebih setuju dengan penyampaian Prof Dr. Bambang Purnomo bahwa hukum kesehatan adalah peraturan perundang-undangan yang mencakup pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan selaku health provider kepada masyarakat yang membutuhkannya selaku health receiver tanpa pelanggaran HAM yang bersifat lex specialis sesuai arahan," kata Gustafianof dalam penyampaian materinya.
Menurutnya, kewajiban hukum terhadap tenaga kesehatan harus dicermati dan disadari sendiri oleh petugas kesehatan.
"Rumah sakit merupakan suatu lembaga atau panti yang semata-mata penyelenggaraan pertolongan (sosial), untuk misi kemanusiaan sehingga tidak dapat digugat dan rumah sakit bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh petugas profesi bawahannya baik sebagai status tetap maupun tidak tetap," jelasnya.
Dalam makna perlindungan hukumnya, Gustafianof mengatakan pelaku kesehatan tidak bisa langsung disalahkan ketika tindakan sudah sesuai dengan prosedur.
"Dokter dan tenaga kesehatan dapat bekerja secara profesional dan kebebasan profesi sesuai peraturan perundang-undangan dan tidak bisa langsung dipersalahkan sepanjang memenuhi standar profesi dan SOP berlaku," kata Gustafianof.
Menjawab pertanyaan peserta sosialisasi tentang perlunya struktur organisasi dalam unit pelayanan kesehatan, Yussy A Mannas mengatakan dukungannya untuk disiapkan biro hukum dalam rumah sakit dan sejenisnya.
"Sangat perlu untuk berbagai sengketa medis, kita juga berharap para penegak hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan lainnya dapat mendalami kembali hukum kesehatan, karena hubungan dokter dengan pasien tidak bisa disamakan dengan hubungan penjual dengan konsumen yang serta merta bisa dilaporkan ke layanan konsumen saat terjadi permasalahan," kata Yussy.
Sementara Plt Kadinkes Bukittinggi, Erwin Umar menyebut program ini bisa menambah wawasan tentang regulasi kesehatan.
“Kami sebenarnya di jajaran Dinkes saat awal pandemi itu butuh pendampingan soal hukum, kami tidak mampu mengambil kebijakan secara tepat dan cepat,” katanya.
Darurat kesehatan, menurutnya bisa mengimplikasikan masalah hukum karena itu diperlukan bimbingan teknis hukum kesehatan.
Erwin mencontohkan sejumlah daerah belum berani mencairkan insentif tenaga kesehatan, padahal nakes menjadi ujung tombak penanganan COVID-19.
“Mungkin karena takut terbentur regulasi dan kebijakan, karena itu perlu bimbingan seputar hukum kesehatan ini,” tutupnya.