Jakarta (ANTARA) - UU no. 35 tahun 2009 tentang narkotika mengintegrasikan pendekatan hukum kesehatan, hukum pidana, hukum bisnis dan hukum internasional. Itu sebabnya penafsiran UU narkotika, menjadi sangat penting, agar tujuan UU tercapai, dan rasa keadilan terwujud, serta bermanfaat bagi masarakat, bangsa dan negara.
Penafsiran UU narkotika menggunakan hukum pidana, akan menuai salah kaprah yang menyebabkan Indonesia tanpa disadari sejak satu dasawarsa yang lalu memasuki darurat narkotika.
Secara pidana penyalah guna narkotika bagi diri sendiri (pasal 127/1) memang diancam dengan hukuman maksimal sedangkan yang diancam pidana minimum hanya pengedar. Secara hukum internasional proses penegakan hukum terhadap penyalah guna dilaksanakan secara restorative justice (127/2) dengan bentuk hukuman alternatif berupa rehabilitasi, dengan menggunakan pendekatan kesehatan (pasal 103/2).
Penanggulangannya menggunakan balance approach (hukum bisnis), yaitu menanggulangi penyalahgunaan narkotika dengan pendekatan alternatif berupa rehabilitasi sedangkan dalam menanggulangi peredaran gelap narkotika menggunakan pendekatan pemidanaan.
Itu sebabnya tujuan dibuatnya UU no. 35 tahun 2009 tentang narkotika oleh pembuatnya (Pemerintah dan DPR) dinyatakan secara jelas dalam pasal 4 (c dan d) bahwa tujuannya : memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika (hukum pidana) ; dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu (hukum kesehatan).
Oleh karena itu penafsiran dalam praktik penegakan hukum dengan memenjarakan penyalah guna narkotika bagi diri sendiri, harus dievaluasi agar tujuan UU no. 35 tahun 2009 tentang narkotika tersebut di atas dapat terwujud.
Anomali lapas dan terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika yang terjadi selama lebih dari satu dasawarsa, menunjukkan kalau penegak hukum mengambil jalan pintas, dengan menggunakan pendekatan hukum pidana saja, tanpa mempedulikan pendekatan kesehatan, pendekatan bisnis dan pendekatan hukum internasionalnya dalam menanggulangi masalah narkotika sehingga merugikan penyalah guna, masyarakat dan pemerintah.
Penegak hukum tidak boleh malas mikir dan pilih gampangnya, dalam proses penegakan hukum narkotika, dimana penyalah guna adalah penderita sakit adiksi dan gangguan mental, yang dalam proses penegakan hukumnya wajib diperlakukan secara restorative justice, dengan upaya paksa berupa rehabilitasi dan bentuk hukuman berupa rehabilitasi meskipun penyalah guna adalah seorang penjahat yang diancam dengan hukuman penjara.
Bila penyalah guna dengan kepemilikan narkotika jumlahnya terbatas untuk dikonsumsi atau digunakan bagi diri sendiri secara tidak sah dan melanggar hukum, kemudian dalam proses penegakan hukumnya dijatuhi hukuman penjara, dapat dipastikan bahwa penafsiran oleh penegak hukum tersebut salah kaprah dan salah arah karena proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak sesuai dengan tujuan UU narkotika, tidak menggunakan restorative justice dan bentuk hukuman juga tidak menggunakan hukuman rehabilitasi.
Padahal penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim diberikan kewenangan merestoratif dalam proses penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika (pasal 13 PP no. 25 tahun 2011 tentang wajib lapor) dimana penyidik, penuntut umum dan hakim diberi kewenangan "menempatkan penyalah guna ke dalam rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk" selama proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan.
Khusus hakim diberi "kewajiban" UU untuk memperhatikan proses pengadilan perkara narkotika yang tujuan kepemilikannya untuk dikonsumsi, dengan indikator jumlah kepemilikannya terbatas, dibawah SEMA no 4 tahun 2010. Apakah terdakwa yang sedang diadili kondisinya dalam keadaan ketergantungan yang disebut pecandu (pasal 54) dan apakah penyalah guna telah melakukan kewajiban hukum berupa wajib lapor pecandu, karena penyalah guna yang telah melakukan wajib lapor pecandu status pidananya menjadi tidak dituntut pidana (pasal 55 yo 128/2) serta penggunaan kewenangan hakim "dapat" memutuskan atau menetapkan terdakwa menjalani rehabilitasi (pasal 103)
Kalau perkaranya terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri dan dalam keadaan ketergantungan berdasarkan hasil assesmen, maka hakim "dapat" memutuskan terdakwa menjalani rehabilitasi sifatnya wajib, hakim tidak punya pilihan, kecuali bila penyalah guna terbukti merangkap sebagai pengedar.
Perkara pecandu = perkara penyalah guna + hasil assesmen
Selama ini saya banyak mendapatkan informasi baik dari masyarakat maupun penegak hukum tentang kerancuan dalam membedakan penyalah guna dan pecandu narkotika
Penyalah guna adalah pelaku tindak pidana kepemilikan narkotika bagi diri sendiri secara tanpa hak dan melanggar hukum dengan indikator jumlah kepemilikan diatur berdasarkan, SEMA no. 4 tahun 2010 tentang penempatan korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna dan pecandu.
Perkara pecandu adalah perkara penyalahgunaan narkotika yang tujuan kepemilikan untuk digunakan bagi diri sendiri dengan jumlah kepemilikan secara terbatas dan kondisi penyalah guna tersebut dalam keadaan ketergantungan narkotika berdasarkan hasil visum atau assesmen terpadu.
Terhadap perkara tersebut, UU narkotika memberi kewenangan kepada penyidik untuk meminta keterangan ahli untuk membedakan penyalah guna dan pecandu, melalui permintaan visum et repertum atau assesmen terpadu agar mengetahui kondisi taraf ketergantungan seorang penyalah guna. Tujuan penyalah guna dimintakan visum et repertum atau assesmen agar peran penyalah guna jelas sebagai korban penyalah guna atau pecandu atau pecandu merangkap pengedar.
Kalau perkara narkotika terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka hakim dapat menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah, biayanya ditanggung oleh kemenkes dalam hal direhabilitasi dirumah sakit dan BNN dalam hal direhabilitasi dilembaga rehabilitasi.
Sedangkan kalau terbukti sebagai pecandu maka hakim dapat memutuskan yang bersangkutan untuk menjalani rehabilitasi di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah dan biayanya ditanggung pemerintah yang dianggarkan melalui kemenkes, kemensos dan BNN.
Dan bila terbukti sebagai pecandu merangkap pengedar, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman penjara dan hukuman menjalani rehabilitasi.
Perkara kepemilikan narkotika untuk diri sendiri adalah perkara kejahatan yang selama ini mendominasi proses peradilan di Indonesia, baik ditingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Perkara ini pula mendominasi penghuni lapas yang menyebabkan terjadinya anomali lapas.
Selama ini perkara kepemilikan narkotika untuk diri sendiri pada tingkat penyidikan dan penuntutan "tidak" dilakukan assesmen untuk mengetahui peran penyalah guna, sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau sebagai pecandu atau pecandu merangkap pengedar. Dalam proses penegakan hukumnya juga tidak dilakukan secara restoratif tetapi dilakukan secara represif seperti pengedar dilakukan penahanan dan dituntut sebagai pengedar dengan ancaman pidana minimum.
Pada tingkat pengadilannya hakim, tidak memperhatikan jumlah barang bukti, tujuan kepemilikannya untuk apa dan hakim juga tidak memperhatikan kewajiban UU untuk memperhatikan kondisi taraf ketergantungan (pasal 54), status hukum penyalah guna (pasal 55 yo pasal 128/2) dan kewenangan hakim dapat memutuskan atau menetapkan terdakwa menjalani rehabilitasi.
Perkara penyalah guna wajib ditafsirkan ulang
Mahkamah secara kelembagaan memiliki otoritas untuk mengawasi hakim, mestinya melakukan pengawasan terhadap hakim dalam proses pengadilan perkara kepemilikan untuk diri sendiri, dengan jumlah kepemilikan terbatas dibawah SE MA no. 4 tahun 2010 dan terhadap bentuk hukuman bagi penyalah guna narkotika.
Dengan hakim menghukum penjara terhadap perkara narkotika yang terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai penyalah guna untuk diri sendiri, tanpa mengetahui taraf ketergantungan terdakwanya maka proses pengadilannya menjadi "tidak" berdasarkan tujuan UU yaitu mencegah, melindungi dan menyelamatkan dan menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi
Dampak dari keputusan hakim menjatuhkan hukuman penjara bagi penyalah guna untuk diri sendiri, menyebabkan penyidik dan penuntut umum mendapat "bolo" dan "bersemangat" menangkapi dan menuntut penyalah guna ke pengadilan karena dianggap sebagai prestasi
Padahal UU narkotika mewajibkan penyalah guna narkotika, yang berpotensi sebagai sakit adiksi dan gangguan mental untuk melakukan "wajib lapor pecandu" agar sembuh dan tidak mengulangi perbuatannya sebagai solusi utama tanpa penegakan hukum (prevention without punishment), meskipun penyalah guna adalah kriminal
Hukum narkotika tidak menggunakan instrumen penahanan terhadap penyalah guna narkotika meskipun diancam dengan pidana penjara, tetapi menggunakan instrumen penempatan kedalam lembaga rehabilitasi, bentuk hukuman yang dijatuhkan hakim juga tidak menggunakan hukuman pidana tetapi menggunakan hukuman rehabilitasi, eksekusi putusan atau penetapan hakim dilaksanakan di Rumah Sakit atau Lembaga Rehabilitasi yang ditugasi pemerintah, bukan di Lapas
Membawa penyalah guna ke pengadilan dan dihukum menjalani rehabilitasi sesungguhnya adalah langkah "jalan logis", tetapi merugikan keuangan negara, berupa biaya penegakan hukum.
Langkah utamanya adalah mewajibkan penyalah guna melakukan "wajib lapor pecandu" sebagai prevention without punishment, tanpa melakukan penegakan hukum kecuali penyalah guna menjadi anggota sindikat narkotika dalam rangka mengungkap pelaku peredaran gelap narkotika
Penyalah guna dijatuhi hukuman penjara, tidak ada manfaatnya dan membahayakan banyak pihak. Kerugian tidak hanya berupa keuangan negara tetapi juga terjadi anomali lapas yang ditandai dengan over kapasitas secara berkelanjutan, dan terjadi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dalam lapas, terjadi residivisme penyalahgunaan narkotika dimana penyalah guna masuk masuk penjara hingga 3 atau 4 kali, serta terkendalanya pembangunan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Bila terjadi keberingasan perilaku penyalah guna akibat putus obat selama dipenjara seperti terjadinya huru hara, kekerasan antar penghuni lapas, kebakaran atau pembakaran akan sangat membahakan jiwa penghuni lapas.
Padahal tahun 2010 Mahkamah Agung telah mengeluarkan SEMA no. 4 tahun 2010 tentang penempatan korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna dan pecandu dan disusul dengan Surat Keputusam Dirjend Badilum Mahkamah Agung no. 1691/DJU/ SK/PS.00/12/2020 tentang pemberlakuan pedoman penerapan keadilan restoratif (restorative justice) bahwa proses pengadilan perkara penyalahgunaan narkotika dilakukan secara restorative justice sehingga hakim dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi baik terbukti maupun tidak terbukti melakukan tindak pidana narkotika (pasal 103).
UU narkotika beserta peraturan pelaksanaan dan kedua produk hukum Mahkamah Agung tersebut di atas yang harus digunakan, Ketua Mahkamah Agung dan para Hakim Agung Kamar PIdana untuk mengoreksi penegakan hukum terhadap perkara yang terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri yang selama ini dijatuhi hukuman penjara.
Salam anti-penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.
*) Anang Iskandar, mantan Kepala BNN, dosen di Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Penafsiran UU narkotika menggunakan hukum pidana, akan menuai salah kaprah yang menyebabkan Indonesia tanpa disadari sejak satu dasawarsa yang lalu memasuki darurat narkotika.
Secara pidana penyalah guna narkotika bagi diri sendiri (pasal 127/1) memang diancam dengan hukuman maksimal sedangkan yang diancam pidana minimum hanya pengedar. Secara hukum internasional proses penegakan hukum terhadap penyalah guna dilaksanakan secara restorative justice (127/2) dengan bentuk hukuman alternatif berupa rehabilitasi, dengan menggunakan pendekatan kesehatan (pasal 103/2).
Penanggulangannya menggunakan balance approach (hukum bisnis), yaitu menanggulangi penyalahgunaan narkotika dengan pendekatan alternatif berupa rehabilitasi sedangkan dalam menanggulangi peredaran gelap narkotika menggunakan pendekatan pemidanaan.
Itu sebabnya tujuan dibuatnya UU no. 35 tahun 2009 tentang narkotika oleh pembuatnya (Pemerintah dan DPR) dinyatakan secara jelas dalam pasal 4 (c dan d) bahwa tujuannya : memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika (hukum pidana) ; dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu (hukum kesehatan).
Oleh karena itu penafsiran dalam praktik penegakan hukum dengan memenjarakan penyalah guna narkotika bagi diri sendiri, harus dievaluasi agar tujuan UU no. 35 tahun 2009 tentang narkotika tersebut di atas dapat terwujud.
Anomali lapas dan terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika yang terjadi selama lebih dari satu dasawarsa, menunjukkan kalau penegak hukum mengambil jalan pintas, dengan menggunakan pendekatan hukum pidana saja, tanpa mempedulikan pendekatan kesehatan, pendekatan bisnis dan pendekatan hukum internasionalnya dalam menanggulangi masalah narkotika sehingga merugikan penyalah guna, masyarakat dan pemerintah.
Penegak hukum tidak boleh malas mikir dan pilih gampangnya, dalam proses penegakan hukum narkotika, dimana penyalah guna adalah penderita sakit adiksi dan gangguan mental, yang dalam proses penegakan hukumnya wajib diperlakukan secara restorative justice, dengan upaya paksa berupa rehabilitasi dan bentuk hukuman berupa rehabilitasi meskipun penyalah guna adalah seorang penjahat yang diancam dengan hukuman penjara.
Bila penyalah guna dengan kepemilikan narkotika jumlahnya terbatas untuk dikonsumsi atau digunakan bagi diri sendiri secara tidak sah dan melanggar hukum, kemudian dalam proses penegakan hukumnya dijatuhi hukuman penjara, dapat dipastikan bahwa penafsiran oleh penegak hukum tersebut salah kaprah dan salah arah karena proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak sesuai dengan tujuan UU narkotika, tidak menggunakan restorative justice dan bentuk hukuman juga tidak menggunakan hukuman rehabilitasi.
Padahal penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim diberikan kewenangan merestoratif dalam proses penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika (pasal 13 PP no. 25 tahun 2011 tentang wajib lapor) dimana penyidik, penuntut umum dan hakim diberi kewenangan "menempatkan penyalah guna ke dalam rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk" selama proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan.
Khusus hakim diberi "kewajiban" UU untuk memperhatikan proses pengadilan perkara narkotika yang tujuan kepemilikannya untuk dikonsumsi, dengan indikator jumlah kepemilikannya terbatas, dibawah SEMA no 4 tahun 2010. Apakah terdakwa yang sedang diadili kondisinya dalam keadaan ketergantungan yang disebut pecandu (pasal 54) dan apakah penyalah guna telah melakukan kewajiban hukum berupa wajib lapor pecandu, karena penyalah guna yang telah melakukan wajib lapor pecandu status pidananya menjadi tidak dituntut pidana (pasal 55 yo 128/2) serta penggunaan kewenangan hakim "dapat" memutuskan atau menetapkan terdakwa menjalani rehabilitasi (pasal 103)
Kalau perkaranya terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri dan dalam keadaan ketergantungan berdasarkan hasil assesmen, maka hakim "dapat" memutuskan terdakwa menjalani rehabilitasi sifatnya wajib, hakim tidak punya pilihan, kecuali bila penyalah guna terbukti merangkap sebagai pengedar.
Perkara pecandu = perkara penyalah guna + hasil assesmen
Selama ini saya banyak mendapatkan informasi baik dari masyarakat maupun penegak hukum tentang kerancuan dalam membedakan penyalah guna dan pecandu narkotika
Penyalah guna adalah pelaku tindak pidana kepemilikan narkotika bagi diri sendiri secara tanpa hak dan melanggar hukum dengan indikator jumlah kepemilikan diatur berdasarkan, SEMA no. 4 tahun 2010 tentang penempatan korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna dan pecandu.
Perkara pecandu adalah perkara penyalahgunaan narkotika yang tujuan kepemilikan untuk digunakan bagi diri sendiri dengan jumlah kepemilikan secara terbatas dan kondisi penyalah guna tersebut dalam keadaan ketergantungan narkotika berdasarkan hasil visum atau assesmen terpadu.
Terhadap perkara tersebut, UU narkotika memberi kewenangan kepada penyidik untuk meminta keterangan ahli untuk membedakan penyalah guna dan pecandu, melalui permintaan visum et repertum atau assesmen terpadu agar mengetahui kondisi taraf ketergantungan seorang penyalah guna. Tujuan penyalah guna dimintakan visum et repertum atau assesmen agar peran penyalah guna jelas sebagai korban penyalah guna atau pecandu atau pecandu merangkap pengedar.
Kalau perkara narkotika terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka hakim dapat menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah, biayanya ditanggung oleh kemenkes dalam hal direhabilitasi dirumah sakit dan BNN dalam hal direhabilitasi dilembaga rehabilitasi.
Sedangkan kalau terbukti sebagai pecandu maka hakim dapat memutuskan yang bersangkutan untuk menjalani rehabilitasi di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah dan biayanya ditanggung pemerintah yang dianggarkan melalui kemenkes, kemensos dan BNN.
Dan bila terbukti sebagai pecandu merangkap pengedar, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman penjara dan hukuman menjalani rehabilitasi.
Perkara kepemilikan narkotika untuk diri sendiri adalah perkara kejahatan yang selama ini mendominasi proses peradilan di Indonesia, baik ditingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Perkara ini pula mendominasi penghuni lapas yang menyebabkan terjadinya anomali lapas.
Selama ini perkara kepemilikan narkotika untuk diri sendiri pada tingkat penyidikan dan penuntutan "tidak" dilakukan assesmen untuk mengetahui peran penyalah guna, sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau sebagai pecandu atau pecandu merangkap pengedar. Dalam proses penegakan hukumnya juga tidak dilakukan secara restoratif tetapi dilakukan secara represif seperti pengedar dilakukan penahanan dan dituntut sebagai pengedar dengan ancaman pidana minimum.
Pada tingkat pengadilannya hakim, tidak memperhatikan jumlah barang bukti, tujuan kepemilikannya untuk apa dan hakim juga tidak memperhatikan kewajiban UU untuk memperhatikan kondisi taraf ketergantungan (pasal 54), status hukum penyalah guna (pasal 55 yo pasal 128/2) dan kewenangan hakim dapat memutuskan atau menetapkan terdakwa menjalani rehabilitasi.
Perkara penyalah guna wajib ditafsirkan ulang
Mahkamah secara kelembagaan memiliki otoritas untuk mengawasi hakim, mestinya melakukan pengawasan terhadap hakim dalam proses pengadilan perkara kepemilikan untuk diri sendiri, dengan jumlah kepemilikan terbatas dibawah SE MA no. 4 tahun 2010 dan terhadap bentuk hukuman bagi penyalah guna narkotika.
Dengan hakim menghukum penjara terhadap perkara narkotika yang terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai penyalah guna untuk diri sendiri, tanpa mengetahui taraf ketergantungan terdakwanya maka proses pengadilannya menjadi "tidak" berdasarkan tujuan UU yaitu mencegah, melindungi dan menyelamatkan dan menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi
Dampak dari keputusan hakim menjatuhkan hukuman penjara bagi penyalah guna untuk diri sendiri, menyebabkan penyidik dan penuntut umum mendapat "bolo" dan "bersemangat" menangkapi dan menuntut penyalah guna ke pengadilan karena dianggap sebagai prestasi
Padahal UU narkotika mewajibkan penyalah guna narkotika, yang berpotensi sebagai sakit adiksi dan gangguan mental untuk melakukan "wajib lapor pecandu" agar sembuh dan tidak mengulangi perbuatannya sebagai solusi utama tanpa penegakan hukum (prevention without punishment), meskipun penyalah guna adalah kriminal
Hukum narkotika tidak menggunakan instrumen penahanan terhadap penyalah guna narkotika meskipun diancam dengan pidana penjara, tetapi menggunakan instrumen penempatan kedalam lembaga rehabilitasi, bentuk hukuman yang dijatuhkan hakim juga tidak menggunakan hukuman pidana tetapi menggunakan hukuman rehabilitasi, eksekusi putusan atau penetapan hakim dilaksanakan di Rumah Sakit atau Lembaga Rehabilitasi yang ditugasi pemerintah, bukan di Lapas
Membawa penyalah guna ke pengadilan dan dihukum menjalani rehabilitasi sesungguhnya adalah langkah "jalan logis", tetapi merugikan keuangan negara, berupa biaya penegakan hukum.
Langkah utamanya adalah mewajibkan penyalah guna melakukan "wajib lapor pecandu" sebagai prevention without punishment, tanpa melakukan penegakan hukum kecuali penyalah guna menjadi anggota sindikat narkotika dalam rangka mengungkap pelaku peredaran gelap narkotika
Penyalah guna dijatuhi hukuman penjara, tidak ada manfaatnya dan membahayakan banyak pihak. Kerugian tidak hanya berupa keuangan negara tetapi juga terjadi anomali lapas yang ditandai dengan over kapasitas secara berkelanjutan, dan terjadi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dalam lapas, terjadi residivisme penyalahgunaan narkotika dimana penyalah guna masuk masuk penjara hingga 3 atau 4 kali, serta terkendalanya pembangunan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
Bila terjadi keberingasan perilaku penyalah guna akibat putus obat selama dipenjara seperti terjadinya huru hara, kekerasan antar penghuni lapas, kebakaran atau pembakaran akan sangat membahakan jiwa penghuni lapas.
Padahal tahun 2010 Mahkamah Agung telah mengeluarkan SEMA no. 4 tahun 2010 tentang penempatan korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna dan pecandu dan disusul dengan Surat Keputusam Dirjend Badilum Mahkamah Agung no. 1691/DJU/ SK/PS.00/12/2020 tentang pemberlakuan pedoman penerapan keadilan restoratif (restorative justice) bahwa proses pengadilan perkara penyalahgunaan narkotika dilakukan secara restorative justice sehingga hakim dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi baik terbukti maupun tidak terbukti melakukan tindak pidana narkotika (pasal 103).
UU narkotika beserta peraturan pelaksanaan dan kedua produk hukum Mahkamah Agung tersebut di atas yang harus digunakan, Ketua Mahkamah Agung dan para Hakim Agung Kamar PIdana untuk mengoreksi penegakan hukum terhadap perkara yang terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri yang selama ini dijatuhi hukuman penjara.
Salam anti-penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.
*) Anang Iskandar, mantan Kepala BNN, dosen di Fakultas Hukum Universitas Trisakti