Padang (ANTARA) - Gubernur Sumatera Barat IrwanPrayitno menilai istilah "pitih sanang" atau uang senang oleh anggota DPRD Riau terkait Pajak Air Permukaan (PAP) Waduk Koto Panjang yang diterima daerah itu selama ini kurang tepat dan kurang bijak karena sangat melukai hati rakyat Sumbar.
"Sumbar banyak berkorban untuk waduk itu. Apalagi setiap tahun kami anggarkan hingga Rp2 miliar untuk menjaga daerah tangkapan air untuk waduk. Jadi 'pitih sanang dari mana'?" katanya di Padang, Jumat.
Ia mendukung pernyataan DPRD Sumbar yang menyayangkan adanya istilah yang tidak pada tempatnya digunakan oleh anggota DPRD Riau.
Irwan mengatakan pihaknya telah merespons dan memproses secara administratif pengalihan semua PAP Waduk Koto Panjang ke Riau. "Kami lakukan secara tertulis maupun upaya lainnya ke Kementerian Dalam Negeri," katanya.
Surat ke Kemendagri, ujar dia, sudah diproses dengan melampirkan semua dokumen pendukung sehingga PAP tidak hanya Riau yang mendapatkannya, tetapi juga Sumbar. Ia meminta masyarakat Sumbar, baik di ranah dan di rantau untuk sementara tenang dan mempercayakan persoalan itu pada Pemprov Sumbar.
"Berikan kesempatan kami bersama DPRD mengurusnya ke pemerintah pusat," katanya.
Sementara itu Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Yozawardi menyatakan di Koto Panjang Limapuluh Kota terdapat daerah tangkapan air (DTA) seluas 150.000 ha yang menampung air hujan, menyimpan serta mengalirkannya ke anak-anak sungai terus ke sungai dan bermuara ke Waduk Koto Panjang. Artinya, sumber air waduk Koto Panjang berasal dari hutan-hutan yang berada di Sumatera Barat.
Untuk memastikan hutan tetap terjaga di DTA, Pemprov Sumbar melakukan kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan pada wilayah tersebut serta melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) lebih kurang Rp2 miliar setiap tahun di APBD Sumbar.
Di lain pihak Kepala Dinas Penamaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Sumbar Maswar Dedi menyatakan selama ini Pemprov Sumbar terus menjaga daerah tangakapan air itu, padahal daerah hutan lindung itu dapat diajukan perubahan fungsi pada RTRW menjadi kawasan budi daya HP (hutan produksi) atau area penggunaan lain (APL) untuk kepentingan daerah.
"Sebenarnya banyak investor bidang perkebunan yang tertarik berinvestasi di daerah tangkapan air Waduk Koto Panjang itu. Hal itu bisa dimungkinkan dengan menjadikan kawasan tersebut menjadi hutan produksi atau area penggunaan lainnya. Namun karena ini menyangkut ketersediaan air untuk waduk Koto Panjang dan mempertimbangkan warga Riau, hal itu tidak dilakukan," katanya.
Sebelumnya Ketua Komisi III DPRD Sumbar Afrizal menyatakan persoalan jatah pembagian hasil Pajak Air Permukaan itu menyangkut harga diri rakyat Sumbar yang dilecehkan.
"Dari pembagian pajak hanya dapat sekitar Rp1,5 miliar, namun Pemprov Sumbar menganggarkan tiap tahun lebih dari Rp2 miliar di APBD. Kalau soal untung rugi, rugi kami. Yang sebenarnya terima yang senang itu siapa? Kalau boleh saya nyatakan Pemprov Riau lah yang banyak dapat untung dari adanya waduk PLTA Koto Panjang ini. Rakyat kami yang selalu tertimpa bencana banjir tiap tahun, namun kami tetap ikhlas menjaga persaudaraan dengan masyarakat Riau. Ke depan kami akan mempertimbangkan opsi pengalihan air sungai ke tempat lain, jika persoalan ini tidak segera diselesaikan oleh Kemendagri dan permintaan maaf oknum anggota DPRD Riau yang bicara seperti itu," ujarnya.
Pemicu kisruh polemik antara DPRD Riau dengan masyarakat Sumbar berawal dari lahirnya surat Dirjen Bina Keuangan Daerah KemendagriNomor 973/2164/KEUDA tanggal 5 Mei 2020 tentang Penyelesaian Pajak Air Permukaan ULPLTA Koto Panjang ke General Manager PT PLN (Persero) UIK Sumatera Bagian Utara pada poin Nomor 3:
a. DAS, Hulu dan HILIR dapat dipandang sebagai satu kesatuan sumber daya air, tetapi dalam konteks perpajakan titik pajaknya adalah dimana air tersebut dimanfaatkan.
b. Pemerintah Daerah yang berwenang memungut pajak air permukaan adalah pemerintah daerah yang memiliki wilayah dimana air permukaan tersebut berada sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
"Sumbar banyak berkorban untuk waduk itu. Apalagi setiap tahun kami anggarkan hingga Rp2 miliar untuk menjaga daerah tangkapan air untuk waduk. Jadi 'pitih sanang dari mana'?" katanya di Padang, Jumat.
Ia mendukung pernyataan DPRD Sumbar yang menyayangkan adanya istilah yang tidak pada tempatnya digunakan oleh anggota DPRD Riau.
Irwan mengatakan pihaknya telah merespons dan memproses secara administratif pengalihan semua PAP Waduk Koto Panjang ke Riau. "Kami lakukan secara tertulis maupun upaya lainnya ke Kementerian Dalam Negeri," katanya.
Surat ke Kemendagri, ujar dia, sudah diproses dengan melampirkan semua dokumen pendukung sehingga PAP tidak hanya Riau yang mendapatkannya, tetapi juga Sumbar. Ia meminta masyarakat Sumbar, baik di ranah dan di rantau untuk sementara tenang dan mempercayakan persoalan itu pada Pemprov Sumbar.
"Berikan kesempatan kami bersama DPRD mengurusnya ke pemerintah pusat," katanya.
Sementara itu Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Yozawardi menyatakan di Koto Panjang Limapuluh Kota terdapat daerah tangkapan air (DTA) seluas 150.000 ha yang menampung air hujan, menyimpan serta mengalirkannya ke anak-anak sungai terus ke sungai dan bermuara ke Waduk Koto Panjang. Artinya, sumber air waduk Koto Panjang berasal dari hutan-hutan yang berada di Sumatera Barat.
Untuk memastikan hutan tetap terjaga di DTA, Pemprov Sumbar melakukan kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan pada wilayah tersebut serta melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) lebih kurang Rp2 miliar setiap tahun di APBD Sumbar.
Di lain pihak Kepala Dinas Penamaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Sumbar Maswar Dedi menyatakan selama ini Pemprov Sumbar terus menjaga daerah tangakapan air itu, padahal daerah hutan lindung itu dapat diajukan perubahan fungsi pada RTRW menjadi kawasan budi daya HP (hutan produksi) atau area penggunaan lain (APL) untuk kepentingan daerah.
"Sebenarnya banyak investor bidang perkebunan yang tertarik berinvestasi di daerah tangkapan air Waduk Koto Panjang itu. Hal itu bisa dimungkinkan dengan menjadikan kawasan tersebut menjadi hutan produksi atau area penggunaan lainnya. Namun karena ini menyangkut ketersediaan air untuk waduk Koto Panjang dan mempertimbangkan warga Riau, hal itu tidak dilakukan," katanya.
Sebelumnya Ketua Komisi III DPRD Sumbar Afrizal menyatakan persoalan jatah pembagian hasil Pajak Air Permukaan itu menyangkut harga diri rakyat Sumbar yang dilecehkan.
"Dari pembagian pajak hanya dapat sekitar Rp1,5 miliar, namun Pemprov Sumbar menganggarkan tiap tahun lebih dari Rp2 miliar di APBD. Kalau soal untung rugi, rugi kami. Yang sebenarnya terima yang senang itu siapa? Kalau boleh saya nyatakan Pemprov Riau lah yang banyak dapat untung dari adanya waduk PLTA Koto Panjang ini. Rakyat kami yang selalu tertimpa bencana banjir tiap tahun, namun kami tetap ikhlas menjaga persaudaraan dengan masyarakat Riau. Ke depan kami akan mempertimbangkan opsi pengalihan air sungai ke tempat lain, jika persoalan ini tidak segera diselesaikan oleh Kemendagri dan permintaan maaf oknum anggota DPRD Riau yang bicara seperti itu," ujarnya.
Pemicu kisruh polemik antara DPRD Riau dengan masyarakat Sumbar berawal dari lahirnya surat Dirjen Bina Keuangan Daerah KemendagriNomor 973/2164/KEUDA tanggal 5 Mei 2020 tentang Penyelesaian Pajak Air Permukaan ULPLTA Koto Panjang ke General Manager PT PLN (Persero) UIK Sumatera Bagian Utara pada poin Nomor 3:
a. DAS, Hulu dan HILIR dapat dipandang sebagai satu kesatuan sumber daya air, tetapi dalam konteks perpajakan titik pajaknya adalah dimana air tersebut dimanfaatkan.
b. Pemerintah Daerah yang berwenang memungut pajak air permukaan adalah pemerintah daerah yang memiliki wilayah dimana air permukaan tersebut berada sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.