Jakarta (ANTARA) - Beberapa nama animator Indonesia telah menghiasi sejumlah film animasi dunia, mulai dari Griselda Sastrawinata yang ikut memproduksi "Moana dan "Frozen 2", Ronny Gani pada "The Avengers" dan "Avengers: Infinity War", hingga Rini Sugianto yang ikut dalam proyek film "The Adventures of Tintin: The Secret of Unicorn" dan "Missing Link".
Menurut animator Rini Sugianto, saat ini sudah mulai banyak animator muda Indonesia yang ikut terlibat dalam proyek film sci-fi maupun film animasi internasional.
"Animator Indonesia sudah lumayan banyak jika dibandingkan zaman saya dulu ketika baru memulai," kata Rini melalui webinar Komunitas Tintin Indonesia, Sabtu.
Meskipun secara kuantitas telah bertambah, animator yang kini tinggal di California, AS itu mengatakan, animator Indonesia masih belum sebanyak animator negara Asia lainnya yang berkarir profesional di dunia animasi.
"Hanya saja, kalau dibandingkan negara lain, (Indonesia) masih sedikit. Animator dari Korea, India, China, dan Jepang juga sangat banyak," ujar Rini.
Ketika disinggung mengenai daya saing, Rini tak menyangkal bahwa kompetisi di dunia animasi, bisa dibilang cukup berat. Terlebih, setiap negara atau negara bagian memiliki standar dan jenjang karir yang berbeda-beda untuk bidang animasi ini.
"Sangat kompetitif. Kompetisinya tinggi sekali, terutama untuk masuk studio besar, itu susah sekali. Banyak yang bagus, junior animator yang bagus pun banyak," kata dia.
Meski demikian, Rini mengatakan peluang untuk meniti karir sebagai animator profesional di kancah internasional bukanlah hal yang mustahil.
Berdasarkan pengalamannya di Amerika Serikat, ia menilai bahwa studio maupun pencari animator di negara tersebut tak mempermasalahkan dari mana animator tersebut menempuh pendidikan, asalkan memiliki portofolio yang baik.
"Di US, kita tidak lihat animator itu lulusan mana, yang dilihat semua hasil kerjaan atau portofolio. Mau lulusan SMA, kalau portofolionya bagus, ya dia yang di-hire," kata Rini.
"Tips yang paling utama, taruh kerjaan yang paling bagus di portofolio kita. Misalnya selama belajar animasi bikin 10 klip, dan yang menurut kita paling bagus hanya dua klip saja, ya itu yang dimasukkan," ujarnya melanjutkan.
Rini menambahkan, "Kita di-judge berdasarkan karya yang paling jelek. Jadi kasih dua karya terbaik. Biarpun (berdurasi) pendek tidak apa-apa, daripada (berdurasi) panjang namun tidak bagus."
Menurut animator Rini Sugianto, saat ini sudah mulai banyak animator muda Indonesia yang ikut terlibat dalam proyek film sci-fi maupun film animasi internasional.
"Animator Indonesia sudah lumayan banyak jika dibandingkan zaman saya dulu ketika baru memulai," kata Rini melalui webinar Komunitas Tintin Indonesia, Sabtu.
Meskipun secara kuantitas telah bertambah, animator yang kini tinggal di California, AS itu mengatakan, animator Indonesia masih belum sebanyak animator negara Asia lainnya yang berkarir profesional di dunia animasi.
"Hanya saja, kalau dibandingkan negara lain, (Indonesia) masih sedikit. Animator dari Korea, India, China, dan Jepang juga sangat banyak," ujar Rini.
Ketika disinggung mengenai daya saing, Rini tak menyangkal bahwa kompetisi di dunia animasi, bisa dibilang cukup berat. Terlebih, setiap negara atau negara bagian memiliki standar dan jenjang karir yang berbeda-beda untuk bidang animasi ini.
"Sangat kompetitif. Kompetisinya tinggi sekali, terutama untuk masuk studio besar, itu susah sekali. Banyak yang bagus, junior animator yang bagus pun banyak," kata dia.
Meski demikian, Rini mengatakan peluang untuk meniti karir sebagai animator profesional di kancah internasional bukanlah hal yang mustahil.
Berdasarkan pengalamannya di Amerika Serikat, ia menilai bahwa studio maupun pencari animator di negara tersebut tak mempermasalahkan dari mana animator tersebut menempuh pendidikan, asalkan memiliki portofolio yang baik.
"Di US, kita tidak lihat animator itu lulusan mana, yang dilihat semua hasil kerjaan atau portofolio. Mau lulusan SMA, kalau portofolionya bagus, ya dia yang di-hire," kata Rini.
"Tips yang paling utama, taruh kerjaan yang paling bagus di portofolio kita. Misalnya selama belajar animasi bikin 10 klip, dan yang menurut kita paling bagus hanya dua klip saja, ya itu yang dimasukkan," ujarnya melanjutkan.
Rini menambahkan, "Kita di-judge berdasarkan karya yang paling jelek. Jadi kasih dua karya terbaik. Biarpun (berdurasi) pendek tidak apa-apa, daripada (berdurasi) panjang namun tidak bagus."