Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sugiyono Saputra mengatakan, hipotesa yang menyatakan penyebaran virus SARS-CoV-2 melambat di musim panas, masih berupa prediksi.

"Karena ini hanya prediksi ya, artinya bisa benar dan bisa pula salah. Suhu dan kelembaban tinggi memang berpengaruh pada ketahanan virus itu sendiri namun mungkin banyak faktor berpengaruh lainnya yang belum diketahui," kata Sugiyono kepada ANTARA, Jakarta, Rabu

Sugiyono menuturkan yang terpenting dilakukan adalah tetap mengupayakan pencegahan semaksimal mungkin hingga proses transmisi virus penyebab COVID-19 dapat dihentikan, dan upaya itu harus menjadi prioritas utama.
Baca juga: Pasien sembuh dari COVID-19 terus bertambah, kini jadi 1.391 orang dari 9.771 kasus positif
Menurut Sugiyono, suhu dan kelembaban berpengaruh tapi terjadinya perlambatan penyebaran virus mungkin juga hasil dari upaya penanggulangan wabah yang telah dilakukan.

Sugiyono mengatakan mutasi pada virus merupakan bagian dari siklus hidup virus itu sendiri yang bisa saja mereka pada akhirnya bisa beradaptasi pada temperatur yang lebih hangat.

Hal itu harus tetap diwaspadai karena bukan hal yang mudah untuk memprediksi bagaimana pandemi COVID-19 akan berakhir atau bagaimana efek setelah virus bermutasi.

Oleh karena itu, upaya penanggulangan pandemi COVID-19 harus tetap dilakukan dengan baik hingga penyebarannya berhenti.

Sugiyono mengatakan sebuah studi terbaru di alamat https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3556998 yang menganalisis jumlah penderita COVID-19 dari berbagai belahan dunia menyatakan bahwa penyebaran SARS-CoV-2 di negara dengan temperatur dan kelembaban absolut yang tinggi tidak secepat pada negara dengan temperatur dan kelembaban absolut yang rendah.
Baca juga: 56 persen sekolah swasta di Indonesia ngos-ngosan akibat pandemi
Baca juga: Dokter paru: Reinfeksi COVID-19 dapat terjadi pada pasien yang telah sembuh jika kembali terkena paparan
Hal itu berdasarkan fakta bahwa per 22 Maret 2020, ternyata penderita COVID-19 di negara dengan temperatur di atas 18 derajat Celcius dan kelembaban absolut lebih dari 9 g/m3 hanya sekitar enam persen dari jumlah total penderita di dunia.

Dengan studi tersebut, beberapa pakar memprediksi bahwa penyebaran SARS-CoV-2 juga akan melambat pada musim panas, sama halnya dengan penyakit saluran pernapasan lain yang disebabkan oleh virus influenza.

Namun, Sugiyono mengatakan bukan berarti ketika musim panas tiba dan penyebaran virus mulai melambat, maka upaya penanggulangan pandemi seperti jaga jarak sosial atau physical distancing  tidak lagi dipraktikkan dengan baik.

"Bukan berarti pula kita akhirnya beranggapan bahwa di daerah tropis di mana suhu dan kelembapannya tinggi, SARS-CoV-2 tidak akan menyebar separah di China dan beberapa negara Eropa," ujar Sugiyono.

Justru, kata Sugiyono, setelah ditetapkan pandemi oleh Badan Kesehatan Dunia, COVID-19 bisa menyerang siapapun dan di manapun, tidak memandang ras maupun letak geografisnya.
Baca juga: Warga Thailand bunuh diri minum racun tikus karena putus asa menunggu bantuan saat karantina wilayah
Menurut dia, jumlah penderita dan angka kematian atau case fatality rate yang disebabkan COVID-19 di tiap negara bisa jadi akan bervariasi, dan itu sangat bergantung pula pada upaya penanggulangan wabah yang dilakukan.

Sugiyono menuturkan beberapa penyakit memang timbul dan memuncak ketika musim dingin, seperti influenza dan pneumonia dan kejadiannya akan menurun ketika memasuki musim panas.

Ada pula penyakit yang kasusnya memuncak pada musim panas atau dry season seperti cacar, lassa fever dan hepatitis A.

Untuk daerah tropis seperti Indonesia, influenza bisa terjadi sepanjang tahun namun biasanya memuncak ketika musim hujan, sama dengan dengue virus dan leptospirosis, yang juga bergantung pada keberadaan hewan vektornya.
Baca juga: Seorang ibu di Padang Pariaman positif COVID-19, diduga terpapar dari anaknya yang duluan positif Corona

Pewarta : Martha Herlinawati S
Editor : Joko Nugroho
Copyright © ANTARA 2024