Padang, (ANTARA) - Fenomena seorang dosen yang menggendong bayi, anak dari salah satu mahasiswanya telah viral di media sosial. Ketika fenomena itu diberitakan di media massa, dan saya bagikan di WAG Majelis Dosen Merdeka - Universitas Andalas (MDM Unand), maka mengalirlah diskusi seperti yang saya harapkan.
Seorang Kawan (Dosen laki-laki sebut saja J) yang pernah kuliah di Amerika menceritakan bahwa dulu seorang Profesornya yang sedang mengajar, dengan santai mengisi perkuliahan sambil bercanda dengan anak-anak salah seorang mahasiswa di kelasnya.
Seorang Kawan (Dosen perempuan sebut saja L) menyampaikan bahwa dulu ia membawa dua anaknya ke kampus dan ketika mengajar di kelas, kedua anaknya terpaksa "diumpetin" di bawah meja, sambil membentangkan tikar lipat yang dibawa dari rumah, dan anak-anak pun dikasih apapun yang membuat mereka sibuk.
Seorang Kawan (Dosen perempuan sebut saja A) menceritakan pengalamannya waktu lanjut S2 dan membawa anak pertama berumur empat bulan, sampai menamatkan kuliah, dan ketika wisuda membawa anaknya yang kedua berumur empat bulan. Perjuangan yang luar biasa melibatkan anak langsung dalam proses studi. Pada saat kuliah kadang ada kondisi dan situasi yang terpaksa harus membawa anak ke dalam kelas.
Tumbuh kembang anak dihabiskan waktunya di kampus. Pro dan kontra pasti ada, pada saat wisuda S2, Kawan tersebut mau memberikan ASI dengan keluar dari ruangan wisuda. Namun dilarang panitia wisuda keluar ruangan dan sampai bersitegang. Panitia wisuda sampai mengatakan bahwa si ibu tidak akan bisa menerima ijazah. Si ibu pun nekat dan mengatakan masa bodoh, tidak perlu ijazahnya dan lebih mementingkan anaknya.
Ada pandangan bahwa nanti kalau semua orang membawa anak bagaimana? Jadi nggak konsen dong , dan mengganggu Proses Belajar Mengajar bagi mahasiswa lain dan dosen. Ada yang berpendapat bahwa urusan anak adalah tanggung jawab keluarga masing-masing. Pengasuhan dan tata cara pembagian waktu tergantung mereka, yang jelas pekerjaan dan pengasuhan tetap jalan.
Harus diakui bahwa memang kampus kita kurang ramah balita, anak-anak, dan ibu-ibu yang sedang mengasuh anak-anak mereka.
Para ibu yang dosen atau mahasiswa, mungkin juga tenaga kependidikan masih sibuk masing-masing dan memikirkan sendiri solusinya. Kalau ibu-ibu dosen atau tenaga kepedidikan yang rumahnya dekat kampus, biasanya mengakali dengan pulang pas istirahat siang.
Kalau rumah mereka jauh dari kampus, mengakalinya dengan membawa pompa ASI dan tas penampungan. Tapi tidak semua orang juga yang bisa memakai cara seperti ini. Bagi yang tidak bisa keduanya, biasanya anak-anak mereka menjadi tidak lagi mendapat ASI ekslusif, bahkan untuk mendapatkan kehadiran ibunya.
Seorang dosen lainnya menyampaikan bahwa di Universitas Gadjah Mada (UGM) ada ruangan laktasi yang digunakan untuk mahasiswa jika ada yang menyusui anaknya. Bahkan masih dalam lingkungan ruangan belajar. Ketersediaan ruang laktasi adalah sarana prasarana yang harus tersedia dalam memberikan layanan pendidikan, UGM mengikuti aturan dengan benar. Aturan yang dimaksud diantaranya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui Dan/Atau Memerah Air Susu Ibu.
Kita di Universitas Andalas memang belum sampai pada taraf kampus dengan ekosistem yang kolaboratif. Berarti harus ada kebijakan kampus ramah anak yang mewajibkan dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan yang ikut serta berpartisipasi menegakkannya.
Nah, kalau ada kebijakan kampus ramah anak, maka semua pihak akan diwajibkan bahkan dipaksa untuk menegakkannya secara hukum atau aturan. Demikian rekomendasi Majelis Dosen Muda kepada Rektor Unand yang baru, Prof. Yuliandri, Sebab ke depan, MDM berharap bahwa Kampus Unand menjadi inklusif yang ramah kepada siapapun, bahkan dalam hal apapun, karena perbedaan dan situasi kondisi berbeda yang dialami setiap manusia adalah fitrah..
Penulis adalah Dosen HI FISIP Unand & Aktivis MDM
Seorang Kawan (Dosen laki-laki sebut saja J) yang pernah kuliah di Amerika menceritakan bahwa dulu seorang Profesornya yang sedang mengajar, dengan santai mengisi perkuliahan sambil bercanda dengan anak-anak salah seorang mahasiswa di kelasnya.
Seorang Kawan (Dosen perempuan sebut saja L) menyampaikan bahwa dulu ia membawa dua anaknya ke kampus dan ketika mengajar di kelas, kedua anaknya terpaksa "diumpetin" di bawah meja, sambil membentangkan tikar lipat yang dibawa dari rumah, dan anak-anak pun dikasih apapun yang membuat mereka sibuk.
Seorang Kawan (Dosen perempuan sebut saja A) menceritakan pengalamannya waktu lanjut S2 dan membawa anak pertama berumur empat bulan, sampai menamatkan kuliah, dan ketika wisuda membawa anaknya yang kedua berumur empat bulan. Perjuangan yang luar biasa melibatkan anak langsung dalam proses studi. Pada saat kuliah kadang ada kondisi dan situasi yang terpaksa harus membawa anak ke dalam kelas.
Tumbuh kembang anak dihabiskan waktunya di kampus. Pro dan kontra pasti ada, pada saat wisuda S2, Kawan tersebut mau memberikan ASI dengan keluar dari ruangan wisuda. Namun dilarang panitia wisuda keluar ruangan dan sampai bersitegang. Panitia wisuda sampai mengatakan bahwa si ibu tidak akan bisa menerima ijazah. Si ibu pun nekat dan mengatakan masa bodoh, tidak perlu ijazahnya dan lebih mementingkan anaknya.
Ada pandangan bahwa nanti kalau semua orang membawa anak bagaimana? Jadi nggak konsen dong , dan mengganggu Proses Belajar Mengajar bagi mahasiswa lain dan dosen. Ada yang berpendapat bahwa urusan anak adalah tanggung jawab keluarga masing-masing. Pengasuhan dan tata cara pembagian waktu tergantung mereka, yang jelas pekerjaan dan pengasuhan tetap jalan.
Harus diakui bahwa memang kampus kita kurang ramah balita, anak-anak, dan ibu-ibu yang sedang mengasuh anak-anak mereka.
Para ibu yang dosen atau mahasiswa, mungkin juga tenaga kependidikan masih sibuk masing-masing dan memikirkan sendiri solusinya. Kalau ibu-ibu dosen atau tenaga kepedidikan yang rumahnya dekat kampus, biasanya mengakali dengan pulang pas istirahat siang.
Kalau rumah mereka jauh dari kampus, mengakalinya dengan membawa pompa ASI dan tas penampungan. Tapi tidak semua orang juga yang bisa memakai cara seperti ini. Bagi yang tidak bisa keduanya, biasanya anak-anak mereka menjadi tidak lagi mendapat ASI ekslusif, bahkan untuk mendapatkan kehadiran ibunya.
Seorang dosen lainnya menyampaikan bahwa di Universitas Gadjah Mada (UGM) ada ruangan laktasi yang digunakan untuk mahasiswa jika ada yang menyusui anaknya. Bahkan masih dalam lingkungan ruangan belajar. Ketersediaan ruang laktasi adalah sarana prasarana yang harus tersedia dalam memberikan layanan pendidikan, UGM mengikuti aturan dengan benar. Aturan yang dimaksud diantaranya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui Dan/Atau Memerah Air Susu Ibu.
Kita di Universitas Andalas memang belum sampai pada taraf kampus dengan ekosistem yang kolaboratif. Berarti harus ada kebijakan kampus ramah anak yang mewajibkan dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan yang ikut serta berpartisipasi menegakkannya.
Nah, kalau ada kebijakan kampus ramah anak, maka semua pihak akan diwajibkan bahkan dipaksa untuk menegakkannya secara hukum atau aturan. Demikian rekomendasi Majelis Dosen Muda kepada Rektor Unand yang baru, Prof. Yuliandri, Sebab ke depan, MDM berharap bahwa Kampus Unand menjadi inklusif yang ramah kepada siapapun, bahkan dalam hal apapun, karena perbedaan dan situasi kondisi berbeda yang dialami setiap manusia adalah fitrah..
Penulis adalah Dosen HI FISIP Unand & Aktivis MDM