Padang, (ANTARA) - Kerap ditemukan peninggalan sejarah tempo dulu yang bernilai tinggi banyak terabaikan di sebagian daerah oleh pemangku kepentingan dan elemen masyarakat.
Jika ditilik lebih jauh banyak faktor penyebab mulai dari ketidaktahuan, ketidakpedulian, lupa dan bisa juga dilupa-lupakan. Jika pun tahu, sudah tersandera oleh anggaran yang terbatas.
Sementara peninggalan sejarah baik dalam bentuk benda, naskah maupun budaya dan bentuk lainnya merupakan aset yang perlu dipelihara, dilestarikan dan dikemas agar bisa bernilai guna.
Hal ini tentu tidak lepas pula pada kemauan politik pemegang tampuk kekuasaan di daerah . Komitmen kepala daerah mesti diiringi pula dengan gagasan besar untuk pemanfaatan aset masa lampau itu, agar mampu menjadi daya dorong dalam percepatan pembangunan dan kemajuan saat sekarang.
Kalau tanpa ada gagasan, tentu hanya sekadar memoles dan mengenalkan bagian alur sejarah tempo dulu yang sifatnya sesaat. Tak lama akan kembali hilang begitu saja dibawa derasnya arus perubahan.
Di Dharmasraya ada even Festival Pamalayu yang sudah ditabuh sejak 22 Agustus 2019 di Museum Nasional Jakarta, dilanjutkan gelar karnaval perahu yang barlayar sekitar 25 menit dari jembatan kabel menuju Komplek Candi Pulau Sawah di Jorong Siluluk, Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya.
Banyak rangkaian kegiatan yang digelar dalam bentuk kearifan lokal, kesenian tradisional dan bedah sejarah dengan pakar dan ahli hingga puncaknya pada 7 Januari 2020, bertepatan dengan Hari Jadi kabupaten itu.
Langkah bupati muda Sutan Riska Tuanku Kerajaan merupakan satu gagasan besar dengan lompatan luar biasa. Tidak berlebihan juga kalau gagasan ini dikatakan melampaui batas usia pemimpinnya dan daerah itu sendiri. Betapa tidak, karena melihat Kabupaten Dharmasraya diketahui daerah otonom baru berusia 16 tahun tepat pada 7 Januari 2020, sejak dimekarkan dari Kabupaten Sijunjung.
Pemekaran Kabupaten Dharmasraya berdasar UU No.38 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatera Barat yang diresmikan oleh Gubernur Sumbar atas nama Menteri Dalam Negeri pada tanggal 7 Januari 2004.
Seusia itu, tentu kalau diibaratkan dengan manusia dapat dikatakan "Anak Baru Gede atau ABG". Tapi dengan hadirnya gagasan besar, tentu berpeluang membawa daerah yang dibela jalan lintas Sumatra cepat tumbuh dan berkembang.
Apalagi dengan cara kampanye melalui festival yang menggaung tingkat lokal maupun nasional. Buktinya sehari sebelum peluncuran festival itu, dikumpulkan pimpinan dan awak media di salah satu hotel di Padang. Sorenya pemberitaan media online sudah menyebar. Juga esok harinya di media cetak. Kemudian dengan momentum peluncuran secara serimonial di Museum Nasional, pemberitaan banyak di media nasional baik elektronik maupun cetak.
Pejabat nasional dari kementerian seakan sudah "tergoda" oleh Festival Pamalayu karena turut hadir dan terlibat langsung dalam kegiatan itu. Ibarat hati kalau sudah terpaut dan punya arah yang sama dalam melihat dan pengembangan sejarah, tentulah apa yang diminta nantinya tidak akan sulit.
Bupati Sutan Riska kepada awak media di Padang, menyampaikan bahwa even Festival Pamalayu bukan untuk mengungkai sejarah yang telah ada. Akan tetapi setidaknya bisa meluruskan perjalanan sejarah dan bahkan tak kalah penting adalah mengambil nilai-nilai yang terdapat pada sejarah masa lalu.
Orang nomor satu di daerah yang memakai motto "Tau jo Nan Ampek" itu mengatakan, festival ini ingin mengembangkan nilai-nilai persatuan dan persahabatan. Sebab, ratusan tahun silam nama Dharmasraya sudah ada dalam berbagai catatan sejarah. Memiliki peradaban dan masa kejayaan ketika itu.
Salah satu bukti catatan sejarah perdaban kerajaan Dharmasraya adalah Arca Amogaphasa, yang kini disimpan di Museum Nasional bersama Arca Bhairawa. Arca tersebut ditemukan di Bukit Baralo sekitar 1880. Hal ini menunjukan Dharmasraya sebagai bukti sejarah besar dan berjaya di masa lalu. Arca Amogaphasa yang menjadi titik penting dalam sejarah tersebut merupakan hadiah Raja Singosari Kertanegara kepada Raja dan masyarakat Dharmasraya, dan dibawa dalam "Ekspedisi Pamalayu" pada 22 Agustus 1286.
Sebagian sejarawan berpendapat bahwa ekspedisi Pamalayu merupakan penaklukan Singosari atas Sumatra. Ada pendapat lain bahwa hal tersebut merupakan ekspedisi persahabatan untuk menjalin persatuan.
Dalam wikipedia, Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah diplomasi melalui operasi kewibawaan militer yang dilakukan Kerajaan Singhasari di bawah perintah Raja Kertanagara pada tahun 1275ñ1286 terhadap Kerajaan Melayu di Dharmasraya di Pulau Sumatra. Perbedaan pendapat tersebut, biarkanlah menjadi ranah sejarawan dan serahkan kepada ahlinya untuk membahas dalam tataran forum ilmu pengetahuan.
Hal yang pasti, Dharmasaya punya peradaban masa lalu. Bisa dilihat dari sejumlah peninggalan sejarah dan budaya seperti Candi Pulau Sawah, Candi Padang Roco dan Awang Maombiak. Tak sulit untuk mengaksesnya atau menuju lokasi situs peninggalan sejarah itu. Jalan sudah beraspal sempai ke lokasi, hanya berjarak sekitar 10 kilometer dari jalan lintas Sumatra Bagian Tengah (Sumbagteng).
Lokasi kawasan Candi Padang Roco, di Jorong Sungai Lansat, Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya. Luas komplek Candi Padang Roco yang sudah dipagar mencapai 4.475 meter persegi, terdapat tiga situs. (Antara/Siri Antoni)
Selain itu, bukti lain juga masih terdapat beberapa kerajaan yang masih eksis hingga kini seperti Kerajaan Pulau Punjung, Kerajaan Siguntur, Kerajaan Padang Laweh dan Kerajaan Koto Besar serta Kerajaan Sitiung (tak ada generasi penerus, red). Kerajaan-kerajaan ini masih mempunyai dan menjaga berbagai peninggalan kerajaannya, dan punya pandangan yang sama dalam memajukan daerah otonom tersebut.
Bupati Sutan Riska mengatakan Festival Pamalayu mengusung tema "Merayakan Dharmasraya", punya makna mengajak semua orang, baik pemerhati Dharmasraya hingga khalayak, ikut larut dalam denyut agenda Festival Pamalayu dengan riang gembira.
Ini cara kita mengajak semua merayakan Dharmasraya. Harapan kita investasi semakin mengalir, perekonomian berkembang dan muaranya adalah kesejahteraan masyarakat, ujarnya.
Raja Koto Besar itu pada pembukaan workshop heritage diikuti para jurnalis media cetak, elektronik dan online menyampaikan penggalian sejarah Dharmasraya masa lampau melalui even Festival Pamalayu, guna menjadikan penyemangat mendorong daerah bisa lebih maju di masa mendatang.
Tentu tergantung sudut pandang. Namun bagi Pemkab Dharmasraya kegiatan Festival Pamalayu bagian upaya pemerintah daerah untuk mencari indentitas daerah. Dari penggalian sejarah ini hendaknya bisa menjadi energi untuk terus lebih maju dan bisa berjaya di masa mendatang.
"Banyak daerah setelah menemukan identitasnya bisa berkembang dengan baik dan maju. Upaya ini kita lakukan untuk menuju ke arah itu," kata Sutan Riska sembari menegaskan, tapi perlu digarisbawahi penggalian tatanan kebudayaan masa lampau itu bukan dalam artian kembali ke masa lalu seperti era kerajaan.
Namun, upaya ini untuk dapat jadi spirit dalam mengembangkan Dharmasraya dengan nilai-nilai yang ada agar dapat diteruskan ke generasi hari ini dan masa mendatang. Sebab, begitu banyak nilai-nila dapat dikembangkan dari perjalanan sejarah masa lalu tersebut.
Justru itu, selama ini Pemkab Dharmasraya terus bersemangat memajukan daerah dibidang infrastruktur, kebudayaan dan bidang lainnya. Ke depan, kata kepala daerah berdarah biru itu, tentu Dharmasraya bisa menjadi daerah yang cepat sejajar dengan daerah lain yang sudah dulu berkembang.
Menjemput Tuah
Festival Pamalayu dapat diibaratkan gerbang untuk masuk menyilau dan menggali kembali sejarah yang sarat dengan peradaban di masa lalu itu. Karena ada hal yang sangat bernilai, sehingga penting untuk dijemput tuah itu. Dengan harapan dapat memberi dampak terhadap berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat dan perkembangan daerah saat ini serta masa datang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keistimewaan; keunggulan (kehormatan, kemasyhuran, dan sebagainya). Dalam konteks menjemput tuah Dharmasraya lebih tepat menyematkan arti poin ketiga di KBBI online.
Sebab, Dharmasraya punya kejayaan masa lalu karena pernah menjadi pusat kerajaan melayu. Saat ini secara administrasi Kabupaten Dharmasraya merupakan salah satu daerah otonom dari 19 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat.
Sejarawan Wenri Wanhar pada satu kesempatan mengatakan Festival Pamalayu pintu masuk untuk menjemput tuah masa lampau yang dimiliki Dharmasraya. Daerah pemekaran dari Kabupaten Sijunjung memiliki aset besar, dimana pada masa lampau sudah menjadi pusat kerajaan melayu dan memiliki bentangan peradaban yang panjang.
Kejayaan masa lalu itu tentu merupakan suatu keberuntungan bagi Dharmasraya sebagai daerah otomon saat ini. Momentum Festival Pamalayu sebagai gerbang masuk untuk menjemput keunggulan yang sudah lama terabaikan itu.
Hal ini dapat menjadi modal yang potensial bagi Dharmasraya untuk dikembangkan menjadi wisata budaya dan sejarah kedepan.
Momentum festival Pamalayu, menyibak perjalanan sejarah dan kejayaan masa lampu yang merupakan tuah Dharmasraya. Tuah itu pun tak berarti apa-apa kalau tak dijemput. Menjemput tuah dalam hal ini bermakna memperjuangkan dengan bersungguh-sungguh agar kekayaan aset peninggalan masa lalu itu dapat memberi nilai untuk masyarakat.
Berhasil atau gagalnya menjemput tuah sangat bergantung kepada kesadaran dan kebersamaan anak negerinya menjunjung maruah. Kesadaran akan nilai-nilai maruah daerah dan penghayatan, maka dapat secara bersama-sama berjuang untuk mengembalikan maruah tersebut.
Seorang juru pelihara dari UPT Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar, Riau dan Kepri Rahmat terlihat sedang bersih bersih candi. Lokasi kawasan Candi Padang Roco, di Jorong Sungai Lansat, Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya. Luas komplek Candi Padang Roco yang sudah dipagar mencapai 4.475 meter persegi, terdapat tiga situs. (Antara/Siri Antoni)
Strategi Jitu
Festival Pamalayu bila dimaknai secara komprehensif tentulah bukan sekadar perhelatan serimoni yang menyilau masa lampau. Begitu juga bukan pula hiruk pikuk sesaat saja dengan kemeriahan di daerah. Namun laksana magnet baru yang dibangkitkan dan menjadi strategi jitu untuk mendorong percepatan pembangunan daerah dengan julukan Cati Nan Tigo tersebut.
Dimaksudkan dengan strategi jitu adalah melalui Festival Pamalayu menjadi daya tarik yang cukup menggoda pejabat dari kementerian/lembaga untuk menggelontorkan banyak dana pusat ke Dharmasraya.
Buktinya pada acara peluncuran arkilog terlibat langsung dan begitu juga dengan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid sudah mengapresiasi gagasan Dharmasraya lewat Festival Pamalayu.
"Kita perlu melihat kembali peristiwa bersejarah dalam sejarah kita dengan cara pandang yang mungkin berbeda dari apa yang selama ini kita kenal," katan Hilmar Farid seperti yang dirilis bagian Humas Dharmasraya.
Menurut dia ekpedisi dalam historiografi dan penulisan sejarah Indonesia adalah istilah yang dipakai oleh orang Belanda ketika membicarakan ekspansi kekuasaan mereka di seluruh Nusantara. "Bukan serangan atau agresi, tapi ekspedisi militer."
Boleh jadi, katanya, ekspedisi Pamalayu dianggap penaklukan karena bernama ekspedisi. "Biasa dalam histografi, kita akan berhadapan dengan soal-soal semacam ini," ujarnya.
Ditjen Kebudayaan, menurut dia, memikirkan untuk menulis kembali sejarah nasional. Hal tersebut agar tidak dilupakan generasi saat ini.
"Ada kebutuhan yang cukup mendesak untuk memperbarui penulisan sejarah nasional kita. Melihat kembali hal-hal yang terjadi di masa lalu. Melihat istilah-istilah yang digunakan di masa lalu," tuturnya.
Godaan itu terus menebar pesona dan berlanjut, buktinya Kepala Staf Presiden Moelodo sudah menginjakan kaki di negeri para raja itu, bertepatan dengan peringatan hari sumpah pemuda. Cerdas gagasannya. Bisa jadi menggaet dana pusat dalam percepatan kemajuan daerah.
Dana pusat akan mengalir bila melihat program pembangunan yang bisa memberi dampak luas. Pintu masuk memang Festival Pamalayu, potensi yang dimiliki Dharmaraya yang lain tentu tak luput dari lirikan dan jadi perhatian untuk di kembangkan. Hanya menunggu waktu dan semoga saja.
Jika ditilik lebih jauh banyak faktor penyebab mulai dari ketidaktahuan, ketidakpedulian, lupa dan bisa juga dilupa-lupakan. Jika pun tahu, sudah tersandera oleh anggaran yang terbatas.
Sementara peninggalan sejarah baik dalam bentuk benda, naskah maupun budaya dan bentuk lainnya merupakan aset yang perlu dipelihara, dilestarikan dan dikemas agar bisa bernilai guna.
Hal ini tentu tidak lepas pula pada kemauan politik pemegang tampuk kekuasaan di daerah . Komitmen kepala daerah mesti diiringi pula dengan gagasan besar untuk pemanfaatan aset masa lampau itu, agar mampu menjadi daya dorong dalam percepatan pembangunan dan kemajuan saat sekarang.
Kalau tanpa ada gagasan, tentu hanya sekadar memoles dan mengenalkan bagian alur sejarah tempo dulu yang sifatnya sesaat. Tak lama akan kembali hilang begitu saja dibawa derasnya arus perubahan.
Di Dharmasraya ada even Festival Pamalayu yang sudah ditabuh sejak 22 Agustus 2019 di Museum Nasional Jakarta, dilanjutkan gelar karnaval perahu yang barlayar sekitar 25 menit dari jembatan kabel menuju Komplek Candi Pulau Sawah di Jorong Siluluk, Nagari Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya.
Banyak rangkaian kegiatan yang digelar dalam bentuk kearifan lokal, kesenian tradisional dan bedah sejarah dengan pakar dan ahli hingga puncaknya pada 7 Januari 2020, bertepatan dengan Hari Jadi kabupaten itu.
Langkah bupati muda Sutan Riska Tuanku Kerajaan merupakan satu gagasan besar dengan lompatan luar biasa. Tidak berlebihan juga kalau gagasan ini dikatakan melampaui batas usia pemimpinnya dan daerah itu sendiri. Betapa tidak, karena melihat Kabupaten Dharmasraya diketahui daerah otonom baru berusia 16 tahun tepat pada 7 Januari 2020, sejak dimekarkan dari Kabupaten Sijunjung.
Pemekaran Kabupaten Dharmasraya berdasar UU No.38 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi Sumatera Barat yang diresmikan oleh Gubernur Sumbar atas nama Menteri Dalam Negeri pada tanggal 7 Januari 2004.
Seusia itu, tentu kalau diibaratkan dengan manusia dapat dikatakan "Anak Baru Gede atau ABG". Tapi dengan hadirnya gagasan besar, tentu berpeluang membawa daerah yang dibela jalan lintas Sumatra cepat tumbuh dan berkembang.
Apalagi dengan cara kampanye melalui festival yang menggaung tingkat lokal maupun nasional. Buktinya sehari sebelum peluncuran festival itu, dikumpulkan pimpinan dan awak media di salah satu hotel di Padang. Sorenya pemberitaan media online sudah menyebar. Juga esok harinya di media cetak. Kemudian dengan momentum peluncuran secara serimonial di Museum Nasional, pemberitaan banyak di media nasional baik elektronik maupun cetak.
Pejabat nasional dari kementerian seakan sudah "tergoda" oleh Festival Pamalayu karena turut hadir dan terlibat langsung dalam kegiatan itu. Ibarat hati kalau sudah terpaut dan punya arah yang sama dalam melihat dan pengembangan sejarah, tentulah apa yang diminta nantinya tidak akan sulit.
Bupati Sutan Riska kepada awak media di Padang, menyampaikan bahwa even Festival Pamalayu bukan untuk mengungkai sejarah yang telah ada. Akan tetapi setidaknya bisa meluruskan perjalanan sejarah dan bahkan tak kalah penting adalah mengambil nilai-nilai yang terdapat pada sejarah masa lalu.
Orang nomor satu di daerah yang memakai motto "Tau jo Nan Ampek" itu mengatakan, festival ini ingin mengembangkan nilai-nilai persatuan dan persahabatan. Sebab, ratusan tahun silam nama Dharmasraya sudah ada dalam berbagai catatan sejarah. Memiliki peradaban dan masa kejayaan ketika itu.
Salah satu bukti catatan sejarah perdaban kerajaan Dharmasraya adalah Arca Amogaphasa, yang kini disimpan di Museum Nasional bersama Arca Bhairawa. Arca tersebut ditemukan di Bukit Baralo sekitar 1880. Hal ini menunjukan Dharmasraya sebagai bukti sejarah besar dan berjaya di masa lalu. Arca Amogaphasa yang menjadi titik penting dalam sejarah tersebut merupakan hadiah Raja Singosari Kertanegara kepada Raja dan masyarakat Dharmasraya, dan dibawa dalam "Ekspedisi Pamalayu" pada 22 Agustus 1286.
Sebagian sejarawan berpendapat bahwa ekspedisi Pamalayu merupakan penaklukan Singosari atas Sumatra. Ada pendapat lain bahwa hal tersebut merupakan ekspedisi persahabatan untuk menjalin persatuan.
Dalam wikipedia, Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah diplomasi melalui operasi kewibawaan militer yang dilakukan Kerajaan Singhasari di bawah perintah Raja Kertanagara pada tahun 1275ñ1286 terhadap Kerajaan Melayu di Dharmasraya di Pulau Sumatra. Perbedaan pendapat tersebut, biarkanlah menjadi ranah sejarawan dan serahkan kepada ahlinya untuk membahas dalam tataran forum ilmu pengetahuan.
Hal yang pasti, Dharmasaya punya peradaban masa lalu. Bisa dilihat dari sejumlah peninggalan sejarah dan budaya seperti Candi Pulau Sawah, Candi Padang Roco dan Awang Maombiak. Tak sulit untuk mengaksesnya atau menuju lokasi situs peninggalan sejarah itu. Jalan sudah beraspal sempai ke lokasi, hanya berjarak sekitar 10 kilometer dari jalan lintas Sumatra Bagian Tengah (Sumbagteng).
Bupati Sutan Riska mengatakan Festival Pamalayu mengusung tema "Merayakan Dharmasraya", punya makna mengajak semua orang, baik pemerhati Dharmasraya hingga khalayak, ikut larut dalam denyut agenda Festival Pamalayu dengan riang gembira.
Ini cara kita mengajak semua merayakan Dharmasraya. Harapan kita investasi semakin mengalir, perekonomian berkembang dan muaranya adalah kesejahteraan masyarakat, ujarnya.
Raja Koto Besar itu pada pembukaan workshop heritage diikuti para jurnalis media cetak, elektronik dan online menyampaikan penggalian sejarah Dharmasraya masa lampau melalui even Festival Pamalayu, guna menjadikan penyemangat mendorong daerah bisa lebih maju di masa mendatang.
Tentu tergantung sudut pandang. Namun bagi Pemkab Dharmasraya kegiatan Festival Pamalayu bagian upaya pemerintah daerah untuk mencari indentitas daerah. Dari penggalian sejarah ini hendaknya bisa menjadi energi untuk terus lebih maju dan bisa berjaya di masa mendatang.
"Banyak daerah setelah menemukan identitasnya bisa berkembang dengan baik dan maju. Upaya ini kita lakukan untuk menuju ke arah itu," kata Sutan Riska sembari menegaskan, tapi perlu digarisbawahi penggalian tatanan kebudayaan masa lampau itu bukan dalam artian kembali ke masa lalu seperti era kerajaan.
Namun, upaya ini untuk dapat jadi spirit dalam mengembangkan Dharmasraya dengan nilai-nilai yang ada agar dapat diteruskan ke generasi hari ini dan masa mendatang. Sebab, begitu banyak nilai-nila dapat dikembangkan dari perjalanan sejarah masa lalu tersebut.
Justru itu, selama ini Pemkab Dharmasraya terus bersemangat memajukan daerah dibidang infrastruktur, kebudayaan dan bidang lainnya. Ke depan, kata kepala daerah berdarah biru itu, tentu Dharmasraya bisa menjadi daerah yang cepat sejajar dengan daerah lain yang sudah dulu berkembang.
Menjemput Tuah
Festival Pamalayu dapat diibaratkan gerbang untuk masuk menyilau dan menggali kembali sejarah yang sarat dengan peradaban di masa lalu itu. Karena ada hal yang sangat bernilai, sehingga penting untuk dijemput tuah itu. Dengan harapan dapat memberi dampak terhadap berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat dan perkembangan daerah saat ini serta masa datang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keistimewaan; keunggulan (kehormatan, kemasyhuran, dan sebagainya). Dalam konteks menjemput tuah Dharmasraya lebih tepat menyematkan arti poin ketiga di KBBI online.
Sebab, Dharmasraya punya kejayaan masa lalu karena pernah menjadi pusat kerajaan melayu. Saat ini secara administrasi Kabupaten Dharmasraya merupakan salah satu daerah otonom dari 19 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat.
Sejarawan Wenri Wanhar pada satu kesempatan mengatakan Festival Pamalayu pintu masuk untuk menjemput tuah masa lampau yang dimiliki Dharmasraya. Daerah pemekaran dari Kabupaten Sijunjung memiliki aset besar, dimana pada masa lampau sudah menjadi pusat kerajaan melayu dan memiliki bentangan peradaban yang panjang.
Kejayaan masa lalu itu tentu merupakan suatu keberuntungan bagi Dharmasraya sebagai daerah otomon saat ini. Momentum Festival Pamalayu sebagai gerbang masuk untuk menjemput keunggulan yang sudah lama terabaikan itu.
Hal ini dapat menjadi modal yang potensial bagi Dharmasraya untuk dikembangkan menjadi wisata budaya dan sejarah kedepan.
Momentum festival Pamalayu, menyibak perjalanan sejarah dan kejayaan masa lampu yang merupakan tuah Dharmasraya. Tuah itu pun tak berarti apa-apa kalau tak dijemput. Menjemput tuah dalam hal ini bermakna memperjuangkan dengan bersungguh-sungguh agar kekayaan aset peninggalan masa lalu itu dapat memberi nilai untuk masyarakat.
Berhasil atau gagalnya menjemput tuah sangat bergantung kepada kesadaran dan kebersamaan anak negerinya menjunjung maruah. Kesadaran akan nilai-nilai maruah daerah dan penghayatan, maka dapat secara bersama-sama berjuang untuk mengembalikan maruah tersebut.
Strategi Jitu
Festival Pamalayu bila dimaknai secara komprehensif tentulah bukan sekadar perhelatan serimoni yang menyilau masa lampau. Begitu juga bukan pula hiruk pikuk sesaat saja dengan kemeriahan di daerah. Namun laksana magnet baru yang dibangkitkan dan menjadi strategi jitu untuk mendorong percepatan pembangunan daerah dengan julukan Cati Nan Tigo tersebut.
Dimaksudkan dengan strategi jitu adalah melalui Festival Pamalayu menjadi daya tarik yang cukup menggoda pejabat dari kementerian/lembaga untuk menggelontorkan banyak dana pusat ke Dharmasraya.
Buktinya pada acara peluncuran arkilog terlibat langsung dan begitu juga dengan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid sudah mengapresiasi gagasan Dharmasraya lewat Festival Pamalayu.
"Kita perlu melihat kembali peristiwa bersejarah dalam sejarah kita dengan cara pandang yang mungkin berbeda dari apa yang selama ini kita kenal," katan Hilmar Farid seperti yang dirilis bagian Humas Dharmasraya.
Menurut dia ekpedisi dalam historiografi dan penulisan sejarah Indonesia adalah istilah yang dipakai oleh orang Belanda ketika membicarakan ekspansi kekuasaan mereka di seluruh Nusantara. "Bukan serangan atau agresi, tapi ekspedisi militer."
Boleh jadi, katanya, ekspedisi Pamalayu dianggap penaklukan karena bernama ekspedisi. "Biasa dalam histografi, kita akan berhadapan dengan soal-soal semacam ini," ujarnya.
Ditjen Kebudayaan, menurut dia, memikirkan untuk menulis kembali sejarah nasional. Hal tersebut agar tidak dilupakan generasi saat ini.
"Ada kebutuhan yang cukup mendesak untuk memperbarui penulisan sejarah nasional kita. Melihat kembali hal-hal yang terjadi di masa lalu. Melihat istilah-istilah yang digunakan di masa lalu," tuturnya.
Godaan itu terus menebar pesona dan berlanjut, buktinya Kepala Staf Presiden Moelodo sudah menginjakan kaki di negeri para raja itu, bertepatan dengan peringatan hari sumpah pemuda. Cerdas gagasannya. Bisa jadi menggaet dana pusat dalam percepatan kemajuan daerah.
Dana pusat akan mengalir bila melihat program pembangunan yang bisa memberi dampak luas. Pintu masuk memang Festival Pamalayu, potensi yang dimiliki Dharmaraya yang lain tentu tak luput dari lirikan dan jadi perhatian untuk di kembangkan. Hanya menunggu waktu dan semoga saja.