Batusangkar, (ANTARA) - Salah seorang perantau asal Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Rudi Kormas menceritakan kisahnya bisa selamat dari kerusuhan di Wamena, Papua pada Senin (23/9) berkat alat komunikasi Handy Talky (HT) di tangannya.
"Saat kejadian itu listrik tiba-tiba padam, jaringan telekomunikasi seluler juga mati. Untung saya punya Handy Talky sehingga bisa memantau situasi yang terjadi," kata dia di Batusangkar, Jumat.
Pria yang memiliki toko variasi mobil dan sound sistem di Jalan Hom-Hom Wamena ini menceritakan pada Minggu (22/9) atau sehari sebelum kejadian, Rudi sebenarnya baru saja sampai di Wamena Papua, karena pulang kampung selama beberapa bulan ke Tanah Datar. Ia mengontrak toko itu sejak 2015.
Pagi itu Senin (23/9) sekitar pukul 8.00 Wit ia sudah tak sabar membuka tokonya untuk beraktivitas seperti biasa. Namun baru beberapa saat membuka toko setelah sarapan dan beres-beres, ia mendengar suara seperti keributan, sehingga ia kembali menutup tokonya untuk melihat apa yang terjadi.
Tiba-tiba dari belakang toko ia melihat anak-anak sekolah melempari batu ke arah sekelompok orang, dan tak lama berselang aparat kepolisian datang.
Merasa tidak aman, ia kembali masuk ke dalam toko dan naik ke teras atas kios miliknya. Dari atas ia melihat asap hitam sudah mulai mengepul di Wamena, di depan kios orang juga sudah ramai berbondong-bondong pergi entah ke mana.
"Lalu saya menghubungi sanak saudara, ternyata mereka juga menyaksikan hal yang sama. Tidak lama jaringan telepon hilang, dan listrik juga mati sehingga tidak bisa menghubungi siapa-siapa lagi.
Rudi kemudian mengambil Handy Talky miliknya, dan terus memantau situasi untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.
Dari Handy Talky itulah ia mengetahui kalau telah terjadi kerusuhan, di luar kios ia melihat para warga mulai mengungsi ke kantor Polres Wamena Jayawijaya. Sementara ia masih bertahan sambil melihat situasi dari atas atap kios miliknya itu.
Lebih kurang dua jam berada di atas atap, ia melihat asap di udara Wamena sudah menghitam, titik asap makin banyak dan terus mendekat ke arah kiosnya. Suara berondongan senjata juga terdengar di mana-mana, akhirnya ia memutuskan untuk turun dan ikut mengungsi ke posko Brimob.
"Saya panik akhirnya saya turun dan keluar dari kios menuju posko Brimob. Di sana orang-orang sudah bertangisan, ada juga yang berlari entah ke mana, akhirnya saya pergi dengan beberapa teman asal Makassar ke AURI di bandara lama," katanya.
Sampai di markas AURI ia mendapat kabar Kantor Bupati Wamena sudah hangus terbakar, kios di pasar Waoma hangus, kios bengkel minimarket di Jalan Hom-Hom Pikhe juga sudah ludes, bahkan sudah ada warga yang terbunuh dibakar, dipanah, hingga membuat masyarakat gelisah ketakutan.
Warga panik dan tidak tahu mau berbuat apa, bahkan di antara sesama pengungsi sudah ada yang menghunus pedang, pegang kayu untuk menghadang dan menyerang balik warga perusuh. Akan tetapi kondisi itu bisa diredam anggota AURI.
Pada malamnya lampu masih mati, jaringan masih belum ada, ia bertahan di posko-posko yang sudah didirikan. Suasana semakin mencekam, akhirnya para laki-laki sebagian diajak anggota AURI untuk patroli keliling Kota Wamena.
"Kondisi itu berlangsung selama dua hari, malamnya kami ronda dan siangnya mencari sanak saudara, dan teman-teman yang terpisah-pisah posko, karena tidak bisa berkomunikasi disebabkan jaringan mati," ujarnya.
Harapan baru mulai kelihatan pada Rabu (25/9) sekitar pukul 17.00 WIT pesawat Hercules milik TNI membawa tentara dari Biak. Pesawat itu kemudian memberangkatkan orang yang ada di pengungsian AURI ke Sentani.
Mendengar kabar kerusuhan ini di televisi dan media sosial, pihak keluarga di kampung khawatir dan membelikan tiket pesawat untuk berangkat pulang kampung ke Tanah Datar.
"Isteri saya tidak tahan dengan pemberitaan di Papua, akhirnya mereka mengirimkan saya tiket walaupun uangnya berutang. Daripada nyawa hilang biarlah utang dibawa pulang," kata dia.
Ia mengaku untuk saat ini belum terpikirkan untuk kembali ke Wamena, kemungkinan akan mencoba berusaha di kampung halaman terlebih dahulu.
"Inginnya berusaha di kampuang dulu, usaha di Wamena biarlah Allah yang manjaga. Kalau Wamena kembali aman nanti dijual saja, tapi kalau tidak ya diikhlaskan saja lagi," ujarnya. (*)
"Saat kejadian itu listrik tiba-tiba padam, jaringan telekomunikasi seluler juga mati. Untung saya punya Handy Talky sehingga bisa memantau situasi yang terjadi," kata dia di Batusangkar, Jumat.
Pria yang memiliki toko variasi mobil dan sound sistem di Jalan Hom-Hom Wamena ini menceritakan pada Minggu (22/9) atau sehari sebelum kejadian, Rudi sebenarnya baru saja sampai di Wamena Papua, karena pulang kampung selama beberapa bulan ke Tanah Datar. Ia mengontrak toko itu sejak 2015.
Pagi itu Senin (23/9) sekitar pukul 8.00 Wit ia sudah tak sabar membuka tokonya untuk beraktivitas seperti biasa. Namun baru beberapa saat membuka toko setelah sarapan dan beres-beres, ia mendengar suara seperti keributan, sehingga ia kembali menutup tokonya untuk melihat apa yang terjadi.
Tiba-tiba dari belakang toko ia melihat anak-anak sekolah melempari batu ke arah sekelompok orang, dan tak lama berselang aparat kepolisian datang.
Merasa tidak aman, ia kembali masuk ke dalam toko dan naik ke teras atas kios miliknya. Dari atas ia melihat asap hitam sudah mulai mengepul di Wamena, di depan kios orang juga sudah ramai berbondong-bondong pergi entah ke mana.
"Lalu saya menghubungi sanak saudara, ternyata mereka juga menyaksikan hal yang sama. Tidak lama jaringan telepon hilang, dan listrik juga mati sehingga tidak bisa menghubungi siapa-siapa lagi.
Rudi kemudian mengambil Handy Talky miliknya, dan terus memantau situasi untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.
Dari Handy Talky itulah ia mengetahui kalau telah terjadi kerusuhan, di luar kios ia melihat para warga mulai mengungsi ke kantor Polres Wamena Jayawijaya. Sementara ia masih bertahan sambil melihat situasi dari atas atap kios miliknya itu.
Lebih kurang dua jam berada di atas atap, ia melihat asap di udara Wamena sudah menghitam, titik asap makin banyak dan terus mendekat ke arah kiosnya. Suara berondongan senjata juga terdengar di mana-mana, akhirnya ia memutuskan untuk turun dan ikut mengungsi ke posko Brimob.
"Saya panik akhirnya saya turun dan keluar dari kios menuju posko Brimob. Di sana orang-orang sudah bertangisan, ada juga yang berlari entah ke mana, akhirnya saya pergi dengan beberapa teman asal Makassar ke AURI di bandara lama," katanya.
Sampai di markas AURI ia mendapat kabar Kantor Bupati Wamena sudah hangus terbakar, kios di pasar Waoma hangus, kios bengkel minimarket di Jalan Hom-Hom Pikhe juga sudah ludes, bahkan sudah ada warga yang terbunuh dibakar, dipanah, hingga membuat masyarakat gelisah ketakutan.
Warga panik dan tidak tahu mau berbuat apa, bahkan di antara sesama pengungsi sudah ada yang menghunus pedang, pegang kayu untuk menghadang dan menyerang balik warga perusuh. Akan tetapi kondisi itu bisa diredam anggota AURI.
Pada malamnya lampu masih mati, jaringan masih belum ada, ia bertahan di posko-posko yang sudah didirikan. Suasana semakin mencekam, akhirnya para laki-laki sebagian diajak anggota AURI untuk patroli keliling Kota Wamena.
"Kondisi itu berlangsung selama dua hari, malamnya kami ronda dan siangnya mencari sanak saudara, dan teman-teman yang terpisah-pisah posko, karena tidak bisa berkomunikasi disebabkan jaringan mati," ujarnya.
Harapan baru mulai kelihatan pada Rabu (25/9) sekitar pukul 17.00 WIT pesawat Hercules milik TNI membawa tentara dari Biak. Pesawat itu kemudian memberangkatkan orang yang ada di pengungsian AURI ke Sentani.
Mendengar kabar kerusuhan ini di televisi dan media sosial, pihak keluarga di kampung khawatir dan membelikan tiket pesawat untuk berangkat pulang kampung ke Tanah Datar.
"Isteri saya tidak tahan dengan pemberitaan di Papua, akhirnya mereka mengirimkan saya tiket walaupun uangnya berutang. Daripada nyawa hilang biarlah utang dibawa pulang," kata dia.
Ia mengaku untuk saat ini belum terpikirkan untuk kembali ke Wamena, kemungkinan akan mencoba berusaha di kampung halaman terlebih dahulu.
"Inginnya berusaha di kampuang dulu, usaha di Wamena biarlah Allah yang manjaga. Kalau Wamena kembali aman nanti dijual saja, tapi kalau tidak ya diikhlaskan saja lagi," ujarnya. (*)