Jakarta, (ANTARA) - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menjelaskan soal pandangan PDI Perjuangan terkait pro-kontra pimpinan KPK dan revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Hasto Kristiyanto mengatakan hal itu melalui pernyataan tertulisnya yang diterima, Senin.
Ada beberapa poin yang disampaikan Hasto terkait pro-kontra KPK, setelah Presiden Joko Widodo memberikan persetujuan terhadap revisi UU KPK.
Pertama, pemberantasan dan pencegahan korupsi adalah pekerjaan yang tidak akan pernah berhenti, sebab korupsi adalah kejahatan luar biasa.
"Sebaiknya semua pihak melihat persoalan ini secara jernih. Sebaiknya kita melihat secara jernih terhadap pro dan kontra," kata Hasto.
Hasto menjelaskan, para pihak yang setuju revisi UU KPK memiliki landasan argumentasi yang kuat. Selama ini kekuasaan KPK tidak terbatas.
"Kekuasaan yang tidak terbatas itu bisa disalahgunakan oleh oknum yang di dalamnya," katanya.
Dia mencontohkan beberapa penyalahgunaan kekuasaan itu antara lain, adalah kasus bocornya surat perintah penyidikan (sprindik) terhadap Anas Urbaningrum dan pelanggaran kode etik yang dilakukan mantan Ketua KPK Abraham Samad pada saat penyusunan calon menteri kabinet tahun 2014.
"Abraham Samad mencoret nama-nama calon menteri secara sembarangan, tidak proper dengan adanya kepentingan tertentu. Juga tidak ada kritik perbaikan ke dalam KPK apa yang dilakukan Samad itu," katanya.
PDI Perjuangan melihat, antara pimpinan KPK dan wadah pegawai KPK seperti dua entitas berbeda dengan kepentingannya masing-masing. Padahal dalam sebuah organisasi dan manajemen yang sehat, kata dia, tidak boleh ada yang namanya organisasi kepegawaian dengan kewenangannya melampaui kewenangan pimpinan KPK itu sendiri.
"Mereka yang tidak setuju revisi UU KPK, dari dalam internal KPK, seharusnya juga mampu memberikan penjelasan tehadap berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu, menjawab berbagai pertanyaan yang secara kritis disampaikan oleh masyarakat," ujar Hasto.
Hasto menegaskan, bisa dikatakan, persetujuan untuk revisi UU KPK itu sebenarnya akibat tindakan orang di KPK sendiri, karena ketertutupan dan tidak ada penjelasan terhadap berbagai pertanyaan publik. (*)
Hasto Kristiyanto mengatakan hal itu melalui pernyataan tertulisnya yang diterima, Senin.
Ada beberapa poin yang disampaikan Hasto terkait pro-kontra KPK, setelah Presiden Joko Widodo memberikan persetujuan terhadap revisi UU KPK.
Pertama, pemberantasan dan pencegahan korupsi adalah pekerjaan yang tidak akan pernah berhenti, sebab korupsi adalah kejahatan luar biasa.
"Sebaiknya semua pihak melihat persoalan ini secara jernih. Sebaiknya kita melihat secara jernih terhadap pro dan kontra," kata Hasto.
Hasto menjelaskan, para pihak yang setuju revisi UU KPK memiliki landasan argumentasi yang kuat. Selama ini kekuasaan KPK tidak terbatas.
"Kekuasaan yang tidak terbatas itu bisa disalahgunakan oleh oknum yang di dalamnya," katanya.
Dia mencontohkan beberapa penyalahgunaan kekuasaan itu antara lain, adalah kasus bocornya surat perintah penyidikan (sprindik) terhadap Anas Urbaningrum dan pelanggaran kode etik yang dilakukan mantan Ketua KPK Abraham Samad pada saat penyusunan calon menteri kabinet tahun 2014.
"Abraham Samad mencoret nama-nama calon menteri secara sembarangan, tidak proper dengan adanya kepentingan tertentu. Juga tidak ada kritik perbaikan ke dalam KPK apa yang dilakukan Samad itu," katanya.
PDI Perjuangan melihat, antara pimpinan KPK dan wadah pegawai KPK seperti dua entitas berbeda dengan kepentingannya masing-masing. Padahal dalam sebuah organisasi dan manajemen yang sehat, kata dia, tidak boleh ada yang namanya organisasi kepegawaian dengan kewenangannya melampaui kewenangan pimpinan KPK itu sendiri.
"Mereka yang tidak setuju revisi UU KPK, dari dalam internal KPK, seharusnya juga mampu memberikan penjelasan tehadap berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu, menjawab berbagai pertanyaan yang secara kritis disampaikan oleh masyarakat," ujar Hasto.
Hasto menegaskan, bisa dikatakan, persetujuan untuk revisi UU KPK itu sebenarnya akibat tindakan orang di KPK sendiri, karena ketertutupan dan tidak ada penjelasan terhadap berbagai pertanyaan publik. (*)