Padang, (ANTARA) - Siang itu di Bulan Juli 2019 di Pasa Gadang, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang terasa amat panas oleh terik matahari dan aura pesisir yang kental.

Tempat itu memang terletak tidak terlalu jauh, hanya sekitar satu kilometer dari Pantai Muaro, salah satu destinasi kebanggaan Kota Padang.   

Dari belakang pasar, di pinggiran Batang Arau, sungai yang menjadi denyut utama Kota Padang pada abad 18 hingga pertengahan abad 20, terdengar suara eskavator menderu-deru.

Jika diperhatikan benar suara itu datang dari kawasan bangunan tua bekas peninggalan Belanda yang seakan terhimpit oleh bangunan-bangunan lama dan baru milik masyarakat.

Bangunan itu adalah bekas Stasiun Poeloe Ajer. Stasiun pertama yang dibangun kolonial Belanda di Sumbar pada abad 19. Stasiun dengan nama ejaan Van Ophuysen itu kemudian diubah namanya dengan ejaan setelahnya menjadi Pulau Air.

Kondisi bangunan itu sudah sangat memprihatinkan. Kusam. Cat putihnya sudah kabur dan mengelupas di banyak tempat. Jendelanya yang dibuat tinggi hampir menyundul langit-langit, khas bangunan peninggalan kolonial tidak lagi terawat.

Pada satu sudut di atap bangunan itu bahkan telah ditumbuhi tanaman rambat. Peron di bagian depan malah lebih parah. Papan penutup atapnya sudah jebol semua. Atapnya sudah bolong-bolong.

Namun layaknya bangunan peninggalan Belanda, meski bentuknya sudah "amburadul" tetapi masih tetap berdiri dengan kokoh.

Sehari-hari sebelum Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Wilayah Sumatera Bagian Barat memulai rencana reaktivasi jalur kereta api, bangunan itu dimanfaatkan sebagai gudang dan kandang mobil bagi masyarakat setempat.

Suara eskavator masih terus mengaung di tengah terik. "Cakar raksasanya" mengeruk gundukan tanah timbunan dan bebatuan bekas reruntuhan bangunan di pinggir stasiun tua lalu didatarkan.  Balok beton bantalan rel menumpuk di area stasiun Pulau Air. (ANTARA SUMBAR/ Miko Elfisha) Sebentar saja, halaman gedung itu terlihat lebih bersih dan lapang. Samar-samar dari gundukan tanah itu terlihat menyembul batangan-batangan besi panjang bekas rel kereta api. Namun karena lama terbenam di tanah sudah banyak bagiannya yang berkarat.

Pada bagian lain, besi rel itu telah terbongkar dan dibiarkan tergeletak di atas tanah membentuk sebuah jalur. Jika diperhatikan benar-benar, setidaknya ada empat jalur rel di lokasi itu, membentang jauh lalu menghilang di sudut bangunan masyarakat.

Di bagian belakang bangunan terlihat kesibukan buruh kasar membawa material bangunan. Di lokasi itu telah bertumpuk ratusan batang besi batangan yang terlihat masih baru. Di sebelahnya tersusun batangan balok beton. 

Batangan besi itu adalah rel kereta api yang rencananya akan digunakan mengganti batangan yang telah berkarat di depan bangunan tua.

Sejak pertengahan Juni 2019, Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II telah memulai upaya reaktivasi jalur kereta api tertua di Sumbar itu. Anggaran yang digelontorkan mencapai Rp40 miliar untuk mengaktifkan jalur Stasiun Pulau Air menuju Stasiun Simpang Haru Padang sepanjang 2,5 kilometer dan beberapa jembatan.

Upaya itu merupakan lanjutan dari rencana pada 2008 yang harus terhenti karena Sumbar diguncang gempa hebat pada 2009 yang mengakibatkan ribuan rumah dan bangunan hancur.

Upaya itu bukan perkara mudah karena sejak stasiun itu berhenti beroperasi pada 1983, jalur kereta apinya dipandang masyarakat sebagai "tanah tak bertuan". Sebagian mendirikan bangunan tanpa izin dari PT KAI sebagai pemilik lahan.

Sebagian yang lebih paham aturan, mengajukan permohonan kontrak sewa lahan pada PT KAI, tetapi dengan catatan, jika sawaktu-waktu lahan itu dibutuhkan, akan diserahkan kembali pada PT KAI.

Melihat perkembangan transportasi di Sumbar pada 1980-an hingga saat ini, memang hampir semua masyarakat Sumbar berpendapat kereta api tidak mungkin dihidupkan lagi di Ranah Minang.

Kereta api yang saat itu hanya bisa berlari maksimal 60 kilometer per jam, ketinggalan oleh bus yang bisa melaju kencang bak angin taufan 180 kilometer perjam. Apalagi sudah banyak gerbong yang kondisinya tidak maksimal lagi waktu itu, keropos hingga ada yang bolong.

Kereta api yang merupakan lambang kejayaan transportasi di Ranah Minang sejak abad 19 hingga 1980-an, tiba-tiba menjadi ketinggalan zaman, lebih layak jadi barang pajangan museum.

Tidak hanya masyarakat, bahkan pemerintah daerah di kabupaten dan kota pun sepertinya ikut mengamini pendapat itu. Banyak lahan milik kereta api kemudian disulap menjadi perkantoran atau sarana umum seperti jalan protokol yang notabene dibangun pemerintah sendiri.

Pendapat itu mungkin tidak sepenuhnya salah. Sejak operasional kereta api berhenti pada tahun 1980-an tidak nampak ada usaha untuk menghidupkannya kembali. Jalur-jalur kereta terbengkalai. Banyak yang hilang dalam semak-semak tinggi.

Sebagian rel dicuri orang tidak bertanggung jawab. Sebagian lagi ditimbun dan dijadikan rumah-rumah dan gedung. Ada ribuan rumah dan gedung yang saat ini telah dibangun masyarakat dan pemerintah di atas rel kereta api di Sumbar. 

Namun roda ternyata memang berputar. Putaran itu bahkan kadang terasa sangat kencang. Kereta api yang pada 1980-an itu dinilai sudah jadi barang usang di Sumbar, tiba-tiba dipandang sebagai solusi, alternatif moda transportasi bebas macet.

Begitulah, sejak awal tahun 2000-an, jumlah kendaraan bermotor di Sumbar meningkat signifikan sehingga tidak tertampung lagi oleh kapasitas jalan. Macet terjadi dimana-mana. Apalagi saat musim liburan dan lebaran.

Bukittinggi-Padang yang pada tahun 1990-an bisa ditempuh dalam 1,5 jam sekarang harus ditempuh 4 jam. Kalau libur lebaran lebih horor lagi, ada yang sampai 12 jam!

Kereta api tiba-tiba terlihat sebagai salah satu solusi yang paling memungkinkan untuk mengatasi hal itu. Apalagi, sekarang teknologi kereta api sudah sangat canggih.

Tidak perlu ambil contoh jauh-jauh. Kereta api wisata Padang-Pariaman-Naras yang telah berhasil dihidupkan kembali adalah contoh nyata.

Dahulu rel kereta api yang digunakan adalah rel 33 sehingga kecepatannya terbatas. Tetapi setelah dilakukan peningkatan infrastruktur menggunakan rel 54 kecepatan kereta juga meningkat.

Sekarang untuk jarak 70 kilometer dari Padang-Pariaman-Naras bisa ditempuh dalam 45 menit, jauh lebih cepat dari bus misalnya yang harus menempuh dengan waktu 1,5 sampai 2 jam bahkan bisa dua kali lipat jika terjadi kemacetan. Jalur kereta di stasiun Pulau Air "menghilang" di pemukiman warga. (ANTARA SUMBAR/ Miko Elfisha) Gubernur Sumbar Irwan Prayitno yang telah belasan kali melawat ke luar negeri sejak menjabat pada periode pertama tahun 2010, mendukung penuh upaya reaktivasi itu.

Ia menyebut kereta api adalah sarana transportasi utama untuk negara-negara maju. Kenyamanan dan kecepatannya berbanding bagai bumi dan langit dengan kereta zaman kolonial. Bahkan, kereta shinkansen di Jepang bisa melesat hingga 300 kilometer per jam.

Kendala terbesar mengaktifkan kembali jalur kereta api di Sumbar itu adalah "pengusaan" lahan oleh masyarakat. Akan ada ribuan masyarakat yang "menduduki" lahan PT KAI baik dengan kontrak sewa maupun ilegal yang akan terdampak.

Kendala yang sama juga terjadi untuk upaya mengaktifkan kembali jalur Stasiun Simpang Haru-Pulau Air. Di sepanjang jalur itu memang tidak ada bangunan milik pemerintah. Tetapi bangunan milik masyarakat tercatat sebanyak 238 unit. Sebanyak 151 bangunan berkontrak dengan PT KAI dan 87 bangunan tanpa kontrak.

Seluruh bangunan itu, mau tidak mau, harus dibongkar agar rencana reaktivasi jalur tersebut bisa terealisasi.

Sebagian masyarakat yang memiliki bangunan di atas jalur itu sudah membongkar sendiri dengan "uang tali asih" Rp150 ribu per meter persegi. Namun sebagian besar, belum melakukannya.

Jika tetap berkeras tidak membongkar sendiri, kemungkinan besar akan ada upaya bongkar paksa oleh Balai Teknik Perkeretaapian Kelas II Wilayah Sumbar.  

Jalur kereta api dari Stasiun Pulau Air menuju Stasiun Simpang Haru, Padang adalah bagian dari yang tertua di Sumbar. Dibangun pada zaman penjajahan Belanda dan diresmikan pada 6 Juli 1887 sebagai akses pada pergudangan di kawasan itu. 

Jalur kereta api itu diteruskan ke Bukittinggi sepanjang 90 kilometer dan dioperasikan mulai November 1891 untuk mengangkut rempah dan biji kopi hasil tanam paksa dari pedalaman Sumbar seperti Bukittinggi, Payakumbuh dan Pasaman ke Padang untuk kemudian diekspor ke Eropa.

Jalur itu juga menjadi jalur distribusi batu bara dari Ombilin Sawahlunto sebelum Pelabuhan Emmahaven yang kini bernama Teluk Bayur beroperasi secara normal. Bangunan tua di kawasan pondok sekitar stasiun Pulau Air. (ANTARA SUMBAR/ Miko Elfisha) Efek Ganda untuk Pariwisata
Pengaktifan kembali jalur itu tidak hanya sebagai alternatif transportasi bagi warga, tetapi juga untuk kepentingan pariwisata.

Stasiun Pulau Air terletak di tengah-tengah kawasan pondok, sebutan populer untuk Kampung Cina di Padang. Lokasi itu merupakan pusat perekonomian Sumbar pada abad 18 hingga Abad 20.

Catatan Belanda, pada tahun 1770-an daerah itu telah menjadi kawasan pelabuhan tersibuk di Sumbar. Banyak gudang berdiri sepanjang Batang Arau untuk menampung rempah dan biji kopi dari pedalaman Sumbar.

Bangunan dengan campuran arsitektur Belanda dan Cina berdiri kokoh di situ. Bangunan itu masih banyak yang berdiri dan dikenal sebagai Kota Lama, saat ini.

Kawasan Batang Arau juga sudah mulai dikembangkan sebagai sebuah destinasi wisata yang akan menjadi salah satu primadona di Sumbar. Kapal pesiar akan sandar di pelabuhan itu sehingga Batang Arau akan jadi pelabuhan pariwisata yang sibuk.

Jalur kereta itu juga akan bersambung menyusuri Batang Arau terus hingga ke salah satu destinasi pariwisata unggulan Kota Padang, Pantai Muaro.

Itu bukan rel baru, tetapi memang rel peninggalan Belanda yang tidak beroperasi bersamaan dengan "matinya" stasiun Pulau Air.

Program pengaktifan kembali jalur kereta api itu masuk dalam rencana strategis Kementrian Perhubungan 2020-2024.

Sudah saatnya rel yang lama mati di Sumbar, dibangkitkan kembali dari kuburnya.(*) 
  

Pewarta : Miko Elfisha
Editor : Mukhlisun
Copyright © ANTARA 2024