Jakarta, (ANTARA) - Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia dan Departemen Bisnis, Energi dan Strategi Industri Inggris melalui Newton Fund mengalokasikan dana Rp37 miliar untuk enam penelitian terbaik mengenai penyakit menular seperti tuberkulosis, HIV, demam berdarah, dan malaria
Dalam kerja sama berjangka tiga tahun itu, Inggris menyalurkan dana Rp32 miliar, dan Indonesia menyiapkan dana Rp5 miliar.
"Hasil kolaborasi ini akan meningkatkan ketahanan dan kesiapan Indonesia dalam menangani penyakit menular yang mematikan, termasuk melalui intervensi kebijakan maupun pengembangan teknologi farmasi dan inovasi alat medis," kata Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, mengenai peluncuran kerja sama riset tersebut.
Nasir menuturkan enam penelitian terbaik yang mendapat pendanaan riset merupakan hasil proses seleksi terbuka yang dilakukan oleh tim pengkaji dari Indonesia dan Inggris terhadap 22 proposal penelitian yang masuk.
Pendanaan riset dalam program itu antara lain diberikan untuk penelitian Dr Anom Bowolaksono dari Universitas Indonesia dan Dr Peter Barlow dari Edinburgh Napier University (Inggris) untuk menguji apakah molekul cathelicidins yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh manusia dapat dimodifikasi untuk memerangi demam berdarah.
Sementara Dr Isra Wahid dari Universitas Hasanuddin dan Dr Janet Cox-Singh dari University of St Andrews di Inggris mendapatkan pendanaan untuk meneliti peran interaksi binatang dan manusia dalam penyebaran penyakit menular seperti malaria di pedalaman Sulawesi; dan Profesor Irwanto dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan Dr Keerti Gedela dari University of Chelsea & Westminster Hospital NHS Foundation Trust menerima pendanaan untuk meneliti upaya pencegahan HIV yang inovatif.
Selain itu pendanaan diberikan untuk penelitian mengenai diagnosis dini dan pengawasan selama masa pengobatan tuberkulosis di Bandung yang dilakukan oleh Profesor Ida Parwati dari Universitas Padjadjaran Bandung dan Profesor Taane Clark dari the London School of Hygiene & Tropical Medicine.
Profesor Tri Wibawa dari Universitas Gadjah Mada dan Dr Michael Griffiths dari University of Liverpool juga mendapat pendanaan untuk melakukan penelitian mengenai penggunaan peralatan molekuler yang dapat meningkatkan diagnosa penderita infeksi otak di Indonesia; sementara Dr Anna Rozaliyani dari Universitas Indonesia dan Dr Chris Kosmidis dari University of Manchester mendapat dana untuk mengembangkan uji diagnosis yang lebih mudah dan terjangkau untuk penyakit aspergillosis.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN dan Timor Leste Moazzam Malik menuturkan penyakit menular mengancam keberlangsungan hidup masyarakat dan perekonomian nasional. Melalui kerja sama riset tersebut, ilmuwan Indonesia dan Inggris bisa berkontribusi menurunkan kerawanan akibat penyebaran penyakit menular.
"Newton Fund dan Kemristekdikti dalam kemitraannya berkomitmen untuk mendanai riset-riset kolaborasi berskala internasional yang dapat memberikan kontribusi positif baik secara sosial maupun ekonomi," ujarnya.
Bidang sains dan riset Inggris menempati posisi kedua dunia, dan 54 persen hasil penelitian dari negara itu masuk ke dalam kategori terbaik di dunia. Sebesar 38 persen peraih Nobel juga memilih untuk bersekolah di Inggris.
"Saya bangga kami bisa bermitra dengan ilmuwan di Indonesia untuk menghadapi isu penting di bidang kesehatan. Saya harap riset-riset terpilih ini berguna bagi masyarakat Indonesia untuk hidup lebih lama, lebih sehat dan lebih makmur," tutur Moazzam. (*)
Dalam kerja sama berjangka tiga tahun itu, Inggris menyalurkan dana Rp32 miliar, dan Indonesia menyiapkan dana Rp5 miliar.
"Hasil kolaborasi ini akan meningkatkan ketahanan dan kesiapan Indonesia dalam menangani penyakit menular yang mematikan, termasuk melalui intervensi kebijakan maupun pengembangan teknologi farmasi dan inovasi alat medis," kata Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, mengenai peluncuran kerja sama riset tersebut.
Nasir menuturkan enam penelitian terbaik yang mendapat pendanaan riset merupakan hasil proses seleksi terbuka yang dilakukan oleh tim pengkaji dari Indonesia dan Inggris terhadap 22 proposal penelitian yang masuk.
Pendanaan riset dalam program itu antara lain diberikan untuk penelitian Dr Anom Bowolaksono dari Universitas Indonesia dan Dr Peter Barlow dari Edinburgh Napier University (Inggris) untuk menguji apakah molekul cathelicidins yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh manusia dapat dimodifikasi untuk memerangi demam berdarah.
Sementara Dr Isra Wahid dari Universitas Hasanuddin dan Dr Janet Cox-Singh dari University of St Andrews di Inggris mendapatkan pendanaan untuk meneliti peran interaksi binatang dan manusia dalam penyebaran penyakit menular seperti malaria di pedalaman Sulawesi; dan Profesor Irwanto dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan Dr Keerti Gedela dari University of Chelsea & Westminster Hospital NHS Foundation Trust menerima pendanaan untuk meneliti upaya pencegahan HIV yang inovatif.
Selain itu pendanaan diberikan untuk penelitian mengenai diagnosis dini dan pengawasan selama masa pengobatan tuberkulosis di Bandung yang dilakukan oleh Profesor Ida Parwati dari Universitas Padjadjaran Bandung dan Profesor Taane Clark dari the London School of Hygiene & Tropical Medicine.
Profesor Tri Wibawa dari Universitas Gadjah Mada dan Dr Michael Griffiths dari University of Liverpool juga mendapat pendanaan untuk melakukan penelitian mengenai penggunaan peralatan molekuler yang dapat meningkatkan diagnosa penderita infeksi otak di Indonesia; sementara Dr Anna Rozaliyani dari Universitas Indonesia dan Dr Chris Kosmidis dari University of Manchester mendapat dana untuk mengembangkan uji diagnosis yang lebih mudah dan terjangkau untuk penyakit aspergillosis.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN dan Timor Leste Moazzam Malik menuturkan penyakit menular mengancam keberlangsungan hidup masyarakat dan perekonomian nasional. Melalui kerja sama riset tersebut, ilmuwan Indonesia dan Inggris bisa berkontribusi menurunkan kerawanan akibat penyebaran penyakit menular.
"Newton Fund dan Kemristekdikti dalam kemitraannya berkomitmen untuk mendanai riset-riset kolaborasi berskala internasional yang dapat memberikan kontribusi positif baik secara sosial maupun ekonomi," ujarnya.
Bidang sains dan riset Inggris menempati posisi kedua dunia, dan 54 persen hasil penelitian dari negara itu masuk ke dalam kategori terbaik di dunia. Sebesar 38 persen peraih Nobel juga memilih untuk bersekolah di Inggris.
"Saya bangga kami bisa bermitra dengan ilmuwan di Indonesia untuk menghadapi isu penting di bidang kesehatan. Saya harap riset-riset terpilih ini berguna bagi masyarakat Indonesia untuk hidup lebih lama, lebih sehat dan lebih makmur," tutur Moazzam. (*)