Pada 25 Januari 2019 merupakan peringatan Hari Gizi Nasional yang ke-59. Peringatan ini telah dicanangkan oleh Kemenkes sejak 1960 yang bermula dari peringatan arti pentingnya gizi oleh Lembaga Makanan Rakyat (LMR) diprakarsai oleh Profesor Poerwo Soedarmo.
Melalui peringatan Hari Gizi Nasional diharapkan mampu meningkatkan kegiatan edukasi bagi masyarakat. Sehingga semakin mengerti dan memahami bagaimana sebenarnya pola konsumsi gizi yang baik.
Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, peringatan ini menjadi momentum pengingat bagi pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota bahwa semua mempunyai peran dan tanggung jawab terhadap perbaikan gizi masyarakat.
Asupan gizi atau konsumsi makanan, mulai dari gizi ibu hamil, bayi, balita, anak dan remaja hingga dewasa berpengaruh besar terhadap pola penyakit dan beban kesehatan yang terjadi.
Setelah 59 tahun pencanangan dan peringatan hari gizi setiap tahunnya, bagaimanakah kondisi yang terjadi saat ini? Kementerian kesehatan dalam laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 telah merilis hasil utama tentang kondisi kesehatan masyarakat secara nasional, sangat terkait dengan masalah gizi.
Kekurangan Gizi Balita dan Ibu Hamil
Masalah utama yang mesti tetap menjadi perhatian adalah masih tingginya angka gizi kurang dan gizi buruk pada balita.
Secara keseluruhan terjadi penurunan dari laporan Riskesdas sebelumnya pada 2013 dari 19,6 persen menjadi 17,7 persen, namun proporsi gizi kurang tidak banyak mengalami perbaikan yaitu dari 13,9 persen menjadi 13,8 persen.
Sedangkan proporsi gizi buruk mengalami perbaikan yang cukup berarti dari 5,7 persen pada 2013 menjadi 3,9 persen pada 2018.
Angka tersebut secara nasional tetap harus menjadi perhatian karena masih dibawah dari target RPJMN 2019 sebesar 17 persen.
Secara absolut jumlah ini sangat besar. Berdasarkan Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 oleh Bapenas dan BPS, jumlah balita tahun 2018 adalah 23,8 juta jiwa, maka terdapat terdapat 3,2 juta anak dengan gizi kurang dan 928 ribu mengalami gizi buruk.
Secara spesifik, Sumatera Barat sebagai daerah yang subur dan penghasil produk pertanian juga mengalami paradoks. Angka gizi kurang dan gizi buruk justru sedikit lebih tinggi dari rata rata nasional, yaitu sebesar 17,9 persen.
Sesuai proyeksi penduduk pada 2018 , maka terdapat 96 ribu mengalami gizi buruk dan gizi kurang dari 540 ribu jumlah balita.
Masalah gizi ibu hamil juga cukup memprihatinkan karena terdapat 48,9 persen yang mengalami anemia. Artinya hampir separuh ibu yang hamil mengalami kekurangan darah, yang menunjukkan kurangnya asupan gizi yang dibutuhkan selama kehamilan.
Angka ini justru memprihatinkan karena jauh meningkat dari periode sebelumya yang hanya 37,1 persen. Terlebih lagi, 17,3 persen mereka juga mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK).
Hal ini berarti satu dari enam ibu hamil mengalami masalah kekurangan gizi sebelum masa kehamilannnya, yang sebenarnya tidak siap untuk kondisi hamil.Kondisi Sumatera Barat juga tidak lebih baik dari rata-rata nasional.
Kekurangan energi kronis dan anemia pada ibu hamil berakibat langsung pada risiko kehamilan dan persalinan, seperti lemahnya kontraksi rahim saat melahirkan, risiko perdarahan dan proses persalinan yang lama. Selain itu, kekurangan gizi ibu hamil secara langsung berdampak pada pertumbuhan janinnya, yang menjadi faktor risiko utama bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
Tingginya masalah gizi pada ibu hamil dan anak yang tentunya juga terjadi pada usia dua tahun awal menjadi risiko terjadinya stunting atau lebih pendek dari usia seharusnya, pada fase pertumbuhan selanjutnya. Data Kemenkes juga membuktikan, terdapat 30,8 persen balita mengalami stunting, atau 7,3 juta. Kekurangan gizi dan stunting menjadi cikal bakal yang buruk untuk pembentukan generasi yang berkualitas baik secara kognitif ataupun fisik.
Obesitas dan Penyakit Degeneratif
Meskipun kekurangan gizi masih menjadi persoalan, sebaliknya obesitas atau kegemukan dan penyakit pada usia menua (degeneratif) yang terkait dengan kelebihan gizi terjadi peningkatan.
Obesitas pada dewasa melonjak dari 14,8 persen pada laporan Riskesdas 2013 menjadi 21,8 persen, atau hampir seperempat dari penduduk dewasa.
Berdasarkan proyeksi penduduk dewasa tahun 2018 sebesar 171 juta, maka terdapat 37,4 juta orang mengalami obesitas. Bahkan jika ditambahkan dengan proporsi berat badan lebih (overweight), masih terdapat 13,6 persen lagi, yang juga mengalami peningkatan dari periode sebelumnya 11,5 persen.
Dengan demikian, terdapat 35,5 persen atau 60 juta jiwa lebih atau lebih dari sepertiga orang dewasa di Indonesia sudah mengalami berat badan yang tidak sehat, yang faktor utamanya adalah asupan gizi lebih dan tidak seimbang.
Kasus hipertensi, yang faktor gizi salah satu faktor risikonya juga mengalami peningkatan dari 25 persen menjadi 34,5 persen. Angka ini juga menunjukkan lebih dari 60 juta orang dewasa mengalami hipertensi. Kasus stroke dalam lima tahun terakhir, sebagai salah satu penyakit ikutann juga mengalami peningkatan dari 0,7 persen menjadi 1,09% persenpada usia diatas 15 tahun, yang berarti dalam lima tahun terahir terdapat 2,1 juta kasus.
Tanggung Jawab Bersama
Masalah-masalah gizi tersebut merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah secara langsung serta para akademisi dan praktisi.
Tugas dan tanggung jawab pemerintah telah dituangkan dalam Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 141-142, dan Permenkes nomor 23 tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.
Pada regulasi tersebut disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab menetapkan standar dalam pelayanan gizi dan kecukupan gizi, serta melakukan upaya pencapaian. Dalam hal ini disebutkan bahwa ada kelompok-kelompok yang mesti menjadi sasaran utama yaitu ibu hamil, menyusui dan balita.
Upaya yang mesti dilakukan adaah perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang, perbaikan perilaku sadar gizi, peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan kewaspadaan pangan.
Upaya yang dilakukan belum terlaksana dan mencapai sasaran dengan baik. Sebagai upaya perbaikan gizi anak dilakukan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada balita, yang hanya 41 persen balita.
Dari yang mendapatkan PMT tersebut hanya 58 persen yang memperoleh PMT melalui program yang dilaksanakan, artinya secara total hanya 23,8 persen balita yang memeproleh PMT program. Begitu juga halnya dengan PMT pada ibu hamil, hanya mendapatkan PMT sebanyak 25,2 persen . Rendahnya cakupan ini mesti mendapat perhatian semua pemangku kepentingan.
Kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap masalah gizi juga rendah. Hal ini terlihat dari pola konsumsi makanan yang tidak sehat, diantaranya tingginya proporsi masyarakat mencapai 95,5 persen tidak mengonsumsi sayur dan buah memenuhi standar kesehatan.
Rendahnya konsumsi sayuran berarti rendahnya asupan serat makanan yang juga menjadi risiko penyakit saluran cerna, obesitas, hipertensi, dan penyakit degenartif lainnya.
Oleh karena itu, adalah tanggungjawab Bersama untuk bisa melakukan edukasi kepada masyarakat untuk melakukan pola hidup sehat termasuk konsusmsi gizi yang berimbang.
Penulis adalah Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Melalui peringatan Hari Gizi Nasional diharapkan mampu meningkatkan kegiatan edukasi bagi masyarakat. Sehingga semakin mengerti dan memahami bagaimana sebenarnya pola konsumsi gizi yang baik.
Selain itu, yang tidak kalah pentingnya, peringatan ini menjadi momentum pengingat bagi pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota bahwa semua mempunyai peran dan tanggung jawab terhadap perbaikan gizi masyarakat.
Asupan gizi atau konsumsi makanan, mulai dari gizi ibu hamil, bayi, balita, anak dan remaja hingga dewasa berpengaruh besar terhadap pola penyakit dan beban kesehatan yang terjadi.
Setelah 59 tahun pencanangan dan peringatan hari gizi setiap tahunnya, bagaimanakah kondisi yang terjadi saat ini? Kementerian kesehatan dalam laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 telah merilis hasil utama tentang kondisi kesehatan masyarakat secara nasional, sangat terkait dengan masalah gizi.
Kekurangan Gizi Balita dan Ibu Hamil
Masalah utama yang mesti tetap menjadi perhatian adalah masih tingginya angka gizi kurang dan gizi buruk pada balita.
Secara keseluruhan terjadi penurunan dari laporan Riskesdas sebelumnya pada 2013 dari 19,6 persen menjadi 17,7 persen, namun proporsi gizi kurang tidak banyak mengalami perbaikan yaitu dari 13,9 persen menjadi 13,8 persen.
Sedangkan proporsi gizi buruk mengalami perbaikan yang cukup berarti dari 5,7 persen pada 2013 menjadi 3,9 persen pada 2018.
Angka tersebut secara nasional tetap harus menjadi perhatian karena masih dibawah dari target RPJMN 2019 sebesar 17 persen.
Secara absolut jumlah ini sangat besar. Berdasarkan Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 oleh Bapenas dan BPS, jumlah balita tahun 2018 adalah 23,8 juta jiwa, maka terdapat terdapat 3,2 juta anak dengan gizi kurang dan 928 ribu mengalami gizi buruk.
Secara spesifik, Sumatera Barat sebagai daerah yang subur dan penghasil produk pertanian juga mengalami paradoks. Angka gizi kurang dan gizi buruk justru sedikit lebih tinggi dari rata rata nasional, yaitu sebesar 17,9 persen.
Sesuai proyeksi penduduk pada 2018 , maka terdapat 96 ribu mengalami gizi buruk dan gizi kurang dari 540 ribu jumlah balita.
Masalah gizi ibu hamil juga cukup memprihatinkan karena terdapat 48,9 persen yang mengalami anemia. Artinya hampir separuh ibu yang hamil mengalami kekurangan darah, yang menunjukkan kurangnya asupan gizi yang dibutuhkan selama kehamilan.
Angka ini justru memprihatinkan karena jauh meningkat dari periode sebelumya yang hanya 37,1 persen. Terlebih lagi, 17,3 persen mereka juga mengalami Kekurangan Energi Kronis (KEK).
Hal ini berarti satu dari enam ibu hamil mengalami masalah kekurangan gizi sebelum masa kehamilannnya, yang sebenarnya tidak siap untuk kondisi hamil.Kondisi Sumatera Barat juga tidak lebih baik dari rata-rata nasional.
Kekurangan energi kronis dan anemia pada ibu hamil berakibat langsung pada risiko kehamilan dan persalinan, seperti lemahnya kontraksi rahim saat melahirkan, risiko perdarahan dan proses persalinan yang lama. Selain itu, kekurangan gizi ibu hamil secara langsung berdampak pada pertumbuhan janinnya, yang menjadi faktor risiko utama bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
Tingginya masalah gizi pada ibu hamil dan anak yang tentunya juga terjadi pada usia dua tahun awal menjadi risiko terjadinya stunting atau lebih pendek dari usia seharusnya, pada fase pertumbuhan selanjutnya. Data Kemenkes juga membuktikan, terdapat 30,8 persen balita mengalami stunting, atau 7,3 juta. Kekurangan gizi dan stunting menjadi cikal bakal yang buruk untuk pembentukan generasi yang berkualitas baik secara kognitif ataupun fisik.
Obesitas dan Penyakit Degeneratif
Meskipun kekurangan gizi masih menjadi persoalan, sebaliknya obesitas atau kegemukan dan penyakit pada usia menua (degeneratif) yang terkait dengan kelebihan gizi terjadi peningkatan.
Obesitas pada dewasa melonjak dari 14,8 persen pada laporan Riskesdas 2013 menjadi 21,8 persen, atau hampir seperempat dari penduduk dewasa.
Berdasarkan proyeksi penduduk dewasa tahun 2018 sebesar 171 juta, maka terdapat 37,4 juta orang mengalami obesitas. Bahkan jika ditambahkan dengan proporsi berat badan lebih (overweight), masih terdapat 13,6 persen lagi, yang juga mengalami peningkatan dari periode sebelumnya 11,5 persen.
Dengan demikian, terdapat 35,5 persen atau 60 juta jiwa lebih atau lebih dari sepertiga orang dewasa di Indonesia sudah mengalami berat badan yang tidak sehat, yang faktor utamanya adalah asupan gizi lebih dan tidak seimbang.
Kasus hipertensi, yang faktor gizi salah satu faktor risikonya juga mengalami peningkatan dari 25 persen menjadi 34,5 persen. Angka ini juga menunjukkan lebih dari 60 juta orang dewasa mengalami hipertensi. Kasus stroke dalam lima tahun terakhir, sebagai salah satu penyakit ikutann juga mengalami peningkatan dari 0,7 persen menjadi 1,09% persenpada usia diatas 15 tahun, yang berarti dalam lima tahun terahir terdapat 2,1 juta kasus.
Tanggung Jawab Bersama
Masalah-masalah gizi tersebut merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah secara langsung serta para akademisi dan praktisi.
Tugas dan tanggung jawab pemerintah telah dituangkan dalam Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 141-142, dan Permenkes nomor 23 tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.
Pada regulasi tersebut disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab menetapkan standar dalam pelayanan gizi dan kecukupan gizi, serta melakukan upaya pencapaian. Dalam hal ini disebutkan bahwa ada kelompok-kelompok yang mesti menjadi sasaran utama yaitu ibu hamil, menyusui dan balita.
Upaya yang mesti dilakukan adaah perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang, perbaikan perilaku sadar gizi, peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan kewaspadaan pangan.
Upaya yang dilakukan belum terlaksana dan mencapai sasaran dengan baik. Sebagai upaya perbaikan gizi anak dilakukan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada balita, yang hanya 41 persen balita.
Dari yang mendapatkan PMT tersebut hanya 58 persen yang memperoleh PMT melalui program yang dilaksanakan, artinya secara total hanya 23,8 persen balita yang memeproleh PMT program. Begitu juga halnya dengan PMT pada ibu hamil, hanya mendapatkan PMT sebanyak 25,2 persen . Rendahnya cakupan ini mesti mendapat perhatian semua pemangku kepentingan.
Kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap masalah gizi juga rendah. Hal ini terlihat dari pola konsumsi makanan yang tidak sehat, diantaranya tingginya proporsi masyarakat mencapai 95,5 persen tidak mengonsumsi sayur dan buah memenuhi standar kesehatan.
Rendahnya konsumsi sayuran berarti rendahnya asupan serat makanan yang juga menjadi risiko penyakit saluran cerna, obesitas, hipertensi, dan penyakit degenartif lainnya.
Oleh karena itu, adalah tanggungjawab Bersama untuk bisa melakukan edukasi kepada masyarakat untuk melakukan pola hidup sehat termasuk konsusmsi gizi yang berimbang.
Penulis adalah Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Andalas