Hoaks itu candu. Meskipun orang tahu  berita palsu atau hoaks itu buruk,  namun  masih banyak  yang terus  memproduksi dan menyebarkannya. 

Bahkan, sebagian terlihat menikmati. Apalagi di tahun politik seperti  ini. Hoaks tumbuh bak cendawan di musim hujan.  Merajalela kemana-mana. Hilang satu tumbuh seribu.

Pelaku penyebar hoaks merata pada hampir semua kalangan. Tidak pandang bulu. Baik  lelaki, maupun perempuan. Mulai dari anak-anak hingga orang tua. Dari rakyat melarat, hingga para pejabat. Juga  dari yang tidak sekolah hingga mereka yang mengenyam bangku kuliah.

Sebuah riset menemukan ternyata orang tua lebih sering menyebar hoaks daripada mereka yang lebih muda. Orang yang berusia di atas 65 tahun lebih besar peluangnya untuk menyebar hoaks tujuh kali lebih banyak dibanding mereka yang masih berusia 18-29 tahun, dan dua kali lebih banyak dibanding mereka yang berusia 30-65 tahun (tirto.id).
 
Riset lainya juga menemukan, perempuan lebih rentan untuk menyebar hoaks. Demikian juga dengan mereka yang bekerja sebagai pegawai. Yang agak memiriskan sekaligus mengkhawatirkan, hasil riset juga menunjukan ternyata penyebar hoaks didominasi oleh para guru.

Dapat dikatakan, hari ini tidak ada orang yang luput dari paparan hoaks. Dan, bila kita melihat daya rusak yang ditimbulkannya, mestinya perlu waspada luar biasa. Karena, tidak saja merusak individu, atau kelompok-kelompok masyarakat. Hoaks juga bisa menghancurkan peradaban yang sudah dibangun bertahun-tahun.

Pada level Individu, hoaks dapat mengganggu sistem dan kerja mental seseorang. Bagaimana tidak? Menurut para pakar teori belajar, bangunan mental seseorang sangat ditentukan aneka  rupa stimulus yang mereka teima dan olah. Sederhananya, sistem mental merefleksikan aneka macam informasi yang diterima dan diproses individu.

Sebagai misal, ketika indivudu hidup di tengah lingkungan yang melimpahi dengan rangsangan-rangsangan positif, mereka juga akan mengembangkan jiwa yang positif. Pun sebaliknya, bila individu mendapatkan paparan informasi negatif. Mereka akan menjadikan input informasi itu sebagai bahan penyusun sistem mentalnya. 

Ketika seorang anak hidup dengan pujian dan penghargaan, mereka juga akan cenderung mengembangkan konsep diri positif dan rasa percaya diri, daripada anak  yang tumbuh dengan caci maki.

Terkait itu, hoaks memapari individu dengan berita-berita atau informasi palsu. Berita-berita itu akan diserap oleh indera, lalu diproses oleh sistem kognitif individu. Lebih jauh, hasil interpretasi individu atas  informasi itu akan menjadi pilar-pilar penyusun keyakinan mereka. 

Keyakinan tentang dunia, kehidupan, diri sendiri, orang lain, etika, moral dan sebagainya. Orang akan menjelaskan siapa diri dan orang-orang sekitarnya berdasarkan pemahaman dan keyakinan tersebut. Dan pemahaman demikian akan menentukan emosi-emosi, pikiran, serta perilaku mereka.

Nah, paparan berita palsu juga akan bekerja dengan cara yang sama. Informasi yang tidak benar akan dicerap oleh individu, lalu diolah dalam ruang kesadaran. Saripati hasil pemrosesan informasi itu akan masuk ke dalam area prasadar, sampai kemudian ia ditimbun oleh oleh informasi-informasi lain dan melekat kuat  di dunia bawah sadar.

Banyak ahli yang menyakini, dibanding kesadaran, kekuatan ketidaksadaran lebih besar pengaruhnya terhadap kerja sistem mental dan perilaku individu. Ketidaksadaran yang isinya berupa keyakinan-keyakinan yang bersifat laten, bekerja secara  halus memengaruhi individu.

Berita palsu atau kabar bohong potensial membentuk keyakinan-keyakinan individu yang keliru tentang diri dan dunia. Baik dunia fisik maupun sosial. Sebagai misal, ketika seseorang dipapari informasi berulangkali bahwa kelompok A itu jahat dan kelompok B itu baik, mereka akan yakin bahwa realitas sesungguhnya seolah juga demikian. Orang akan kehilangan daya kritisnya, dan mensimplifikasi realitas dalam dua  kategori tersebut. Meskipun dalam faktanya, ada sisi baik dari kelompok A dan sisi buruk dari kelompok B.

Keyakinan-keyakinan yang sudah melekat kuat itu akan sangat sulit untuk dihapus. Apalagi, ketika dalam proses pembentukannya ada unsur-unsur emosi yang terlibat. Misalnya, bahwa kelompok A yang jahat itu akan memberi ancaman hidup individu, sehingga ia merasa takut. Semakin kuat intensitas emosinya, semakin kuat juga informasi itu melekat dalam memori orang bersangkutan.

Lebih jauh, orang yang terpapar hoaks berulangkali akan sulit menyadari, dan sulit untuk diajak menyadari, bahwa hal salah yang mereka pahami tentang dunia itu adalah keliru. Dalam hal ini, mereka akan membangun standar-standar berbeda tentang benar dan salah. Hal demikian akan berpengaruh pada cara mereka memproses informasi selanjutnya. Artinya, informasi-informasi yang mereka akan terima akan mereka bingkai dalam sistem keyakinan yang keliru tersebut. 

Bila ditelusur lebih mendalam, aneka perilaku menyimpang di masyarakat, juga berakar dari pikiran-pikiran atau keyakinan yang demikian. Orang yang melakukan tindakan menyimpang, yang oleh orang lain dianggap salah, mereka seringkali tidak menganggap hal yang dilakukannya salah. Karena mereka sebelumnya terpapar oleh informasi yang keliru menurut masyarakat, dan membangun dunia beserta standar-standarnya menurut informasi tersebut.

Misalnya, pelaku terorisme.  Apakah mereka menilai tindakannya yang merugikan publik itu salah? Tidak. Mereka menganggap tindakan yang  mereka pilih benar. Dan mereka memiliki sejumlah argumen yang mendasari penilaian tersebut. Bagaimana bisa mereka memiliki kebenaran yang demikian? Karena, paparan informasi yang diterpakan kepada mereka sebelumnya. Mereka disajikan secara berulang-ulang pandangan bahwa aksi teror itu bertujuan baik dengan sejumlah keuntungan lainnya.

Hoaks yang bertebaran di media sosial memiliki daya rusak luar biasa, karena proses pembentukan keyakinan-keyakian keliru demikian berlangsung secara massif. Akan ada banyak orang yang memiliki keyakinan keliru tentang sesuatu. 

Ia tidak saja mengubah sekelompok individu, namun ia dapat menyesatkan masyarakat yang begitu banyak, bahkan bisa menyesatkan mayoritas masyarakat. Bisa dibayangkan, para pelaku teror atau penyimpangan sosial yang jumlahnya minim saja, mereka sanggup merusak tatanan sosial dan pilar-pilar kehidupan masyarakat. Bagaimana kalau aktivitas serupa dilakukan secara massif. Bahkan oleh kelompok masyarakat mayoritas.

Kita dapat berkaca pada sejarah bangsa , maupun sejarah bangsa lain, bahwa kehancuran sebuah negara  seringkali terjadi disebabkan oleh kerja dari desas desus alias hoaks tersebut. 

Banyak perang dalam sejarah Indonesia di zaman penjajahan berlangsung bukan antara pribumi melawan penjajah, namun justru perang berlangsung antar sesama anak bangsa. Mengapa mereka mau melakukan itu? Karena mereka disuapi informasi yang salah oleh penjajah, sehingga juga salah dalam melihat kedudukan dan relasi anak bangsa yang lain, kemudian mereka saling bertikai.

Kondisi yang sama juga terjadi pada beberapa bangsa yang akhir-akhir ini dilanda konflik,  Irak dan Suriah. Konflik-konflik tersebut juga ditengarai dipicu oleh hoaks yang menyebar secara massif di masyarakat. Atau, paling tidak hoaks tersebut menjadi oli pelumas sehingga benturan-benturan di masyarakat berlangsung secara lebih massif.

Bila kita melihat Indonesia di masa datang, tentu, hampir semua kita ingin Indonesia tetap menjadi negeri yang damai. Tidak ada warga bangsa ini yang saling tikam atau saling bunuh. Semua  berharap anak cucu kita hidup dalam harmoni dan dilimpahi kemakmuran.

Sementara  di sisi lain, hari ini, hoaks membanjir di ruang-ruang publik kita. Seperti pasukan raksasa yang siap menyerang dan memangsa apa saja yang sudah kita bangun selama ini. Tentu, kita tidak rela menyerahkan leher nasib bangsa ini pada para penyebar berita palsu itu. Kita tidak rela masyarakat bangsa ini hidup dalam cengkeraman keyakinan-keyakinan yang keliru. Oleh karenanya, kita perlu bersama-sama saling membahu melawan hoaks dalam aneka rupa bentuknya. 

Penulis adalah Dosen Psikologi Sosial Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (Unand) Padang



 

Pewarta : Sartana MA
Editor : Ikhwan Wahyudi
Copyright © ANTARA 2024