Selama ada kemauan dan niat untuk mengubah keadaan, pasti ada jalan yang bisa ditempuh, tentunya diiringi dengan kerja sungguh-sungguh dan ikhlas. Prinsip inilah yang ditanamkan oleh Desmi Yumiati (42) asal Desa Kubang Utara Sikabu, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat.
Dulu berkerja sebagai pembantu rumah tangga (mencuci pakaian, mengosok dan menjaga orang sakit) untuk memenuhi pendapatan keluarga tentu tidak seberapa yang diterima, hanya didapat untuk kebutuhan sehari-hari dan jauh pula dari cukup.
Jika itu selamanya dijalankan jangan bermimpi bisa untuk menabung. Suami kerjanya hanya sebagai kuli bangunan di kampung. Namun, selama belum ada pekerjaan lain tentu tetap dijalankan, karena kebutuhan keluarga terus ada.
Perempuan dua anak itu, menuturkan tekat untuk berubah dari pekerjaan awal sebagai pembantu rumah tangga, dan ingin pandai menenun sudah sejak 2012.
Namun, saat itu masih belum ada kelengkapan atau peralatan untuk menenun, apalah daya. Tapi sudah diusulkan bantuan peralatan dengan teman-teman ke instansi terkait di Pemerintah Kota Sawahlunto.
"Suatu hari pada 2014, ada teman yang mengajak untuk beralih profesi dan bersedia pula mengajarkan tenun, kebetulan pada saat itu ada pelatihan tenun yang diselenggarakan Dinas Perindag Kota Sawahlunto," katanya ketika dikonfirmasi, Selasa (30/10).
Peserta pelatihan tahap awal sebanyak 15 orang, semua mendapatkan bantuan perlengkapan untuk menenun. Mulai dari benang, pelantanya, pokoknya masing-masing satu set. Begitu juga, di pelatihan gelombang ke dua ada sekitar delapan orang, maka menjadilah satu kelompok 23 orang.
"Pelatihan diikuti selama 10 hari, yang tenaga pengajarnya didatangkan oleh Disperindag Sawahlunto. Alhamdulillah, selama masa pelatihan saya bisa menyelesaikan satu tenun jenis sarung songket Silungkang," jelasnya.
Sedangkan teman-teman yang lainnya tidak mampu menyelesaikan satu pun produk tenun, bahkan hampir semua tidak ada yang jalan usahanya. Dari 23 orang tersebut, kini tinggal dirinya yang tetap melakoni sebagai penenun. Teman-teman saya yang tidak bergerak itu, akhirnya sebagian besar peralatan dan perlengkapan menenun ditarik dinas terkait karena perjanjian seperti itu, sebutnya.
Jika dulu jari jemari Desmi bersentuhan dengan tumpukan pakai yang sudah jadi, ada yang baru dan ada telah lusuh dipakai manusia. Kini jarinya berurusan dengan untaian benang berwarni warni untuk ditenun menjadi kain songket.
Alhamdulillah, tambah perempuan kelahiran 1976 itu, berkat ketekunannya mempelajari tenun, sehingga kini tidak hanya sebatas untuk kemajuan dan perkembangan usaha sendiri yang dipikirkannya.
Namun, disela-sela kesibukan untuk memenuhi pesanan kosumen, ia juga meluangkan waktu berbagi ilmu dengan mengajarkan kepada teman-teman kaum perempauan muda yang ada dikampungnya. Para perempuan yang diajarkan menenun berada di desa tetangga yakni Desa Kubang Tangah, jumlahnya mencapai 20 orang.
Menurut dia, ketimbang perempuan-perempuan yang masih produktif dan bisa diasah kemampuan hanya ke ladang atau di pasar seharian, maka disemangati mereka untuk mau belajar dan mendalami bertenun.
Penenun asal Kota Sawahlunto Desmi Yumiati (tengah) sedang melayani pengunjung di arena Maybank women eco-weavers exibition, pada pertengahan Oktober 2018 di Malaysia. (Ist) (Ist/)
Kini jumlahnya sudah sekitar 20 orang, mengajar tanpa ada imbalan apa-apa, hanya sukarela dan ikhlas semata. "Apabila kita ikhlas membantu maka hasilnya yang diperoleh juga meningkat. Itulah prinsip hidup saya, dan kenyataan memang demikian," ujarnya.
Ia mengaku, sudah nyaman dengan pekerjaan sebagai penenun karena bisa menabung, memperbaiki rumah, membeli kendaraan dan menyekolah dua anaknya, satu di SMK Muhammad Iqrar (17) dan yang kecil di SLTA Kurnia Zendegi (14).
Dari apa yang dihasilkan itu, Desmi ingin selalu berbagi ilmu agar kaum hawa yang lain bisa bangkit dan berdaya pula dalam menata ekonomi keluarga mereka. Pihak Maybank saja yang jauh dari negera sahabat, mau memberdayakan perajin tenun, apalagi sesama satu daerah, sehingga mengajarkan perempuan muda dikampungnya tak mengutip biaya.
Maybank menginspirasi
Istri dari Anton Hendeki ini, awalnya tidak membayangkan bisa pergi ke kota-kota di tanah air, apalagi keluar negeri. Hanya fokus menekuni usaha menenun untuk menopang ekonomi keluarga, rasanya sudah cukup.
Namun, pada akhir 2016 ada pembinaan dari Maybank dalam program pemberdayaan ekonomi perempuan berkerja sama dengan Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Padang.
Dengan mendapatkan pembinaan itu, kata dia, dikenalkan pula dengan pewarnaan bersumber warna alam dari bahan tumbuhan indigo vera atau tarum.
Kini di kota arang itu, baru dirinya yang berhasil mengeluarkan warna biru itu, karena waranya agak unik. Sebetulnya prosesnya tidak rumit pula, rendam daun tumbuhan tarum selama sekitar 10 jam atau bisa dua hari kala cuaca sedang dingin.
Jadi, setelah direnda, dipisahkan daun dengan air setelah keluar warna birunya tersebut, baru diberi kapur dan tunjung atau firosulfat, kemudian di timba terus dengan gayung.
Karena bersentuhan degan angin maka kain akan menjadi biru, lalu diamkan. Setelah itu dijadikan pasta, baru bisa diwarnai ke benang.
Pengolahan daun tumbuhan tarum sumber alami untuk pewarnaan tenun oleh perajin Desmi Yumiati. (Ist)
Ia menyebutkan, bahan baku alam seperti tanaman tarum banyak di daerah, termasuk di Kota Sawahlunto, sehingga mudah di dapat.
Sejak jadi binaan Maybank, tak hanya sekadar bantuan modal tetapi juga pelatihan yang didanainya, dan dapat pula uang transportasi, tuturnya.
"Maybank telah membuka mata saya untuk melihat dunia, dan memperbaiki ekonomi keluarga serta menginspirasi untuk bisa berdaya sesama kaum perempuan lainnya," katanya.
Betapa tidak, seiring perjalanan waktu dirinya juga pernah diutus untuk mengikuti pameran di Jakarta dan Bogor.
Bahkan, Maybank membantu dirinya untuk memperluas pasar dengan memperkenalkan produk songket yang dihasilkan ke negara tetangga. Tak cukup sampai disitu saja, tetapi beberapa waktu lalu ada konsumen dari Malaysia bernama Shahrul Jamili melalui pihak Maybank meminta dirinya buat corak dan motif arca.
Perajin tenun asal Kota Sawahlunto Desmi Yumiati diikutkan Maybank pada pameran di Kuala Lumpur, Malaysia pertengahan Oktober 2018. (Ist)
"Saya sanggupi dan alhamdulillah selesai, sehingga dibawa Maybank pameran ke Kuala Lumpur pada 16-20 Oktober 2018, yang bertajuk 'Maybank women eco-weavers exibition'," ungkapnya.
Menyinggung harga jual hasil tenunnya, tergantung jenis songketnya seperti untuk bahan baju ada kisaran Rp300 ribu hingga Rp500 ribu. Kalau untuk bahan sarung pada kisaran Rp500 hingga Rp800-an ribu.
Perempuan berkerudung itu, mengakui hingga kini yang belum terwujud rencananya adalah ingin menambah ilmu di bidang menenun ke para perajin di Lombok.
Semoga nanti ada kesempatan untuk belajar kepada perajin yang sudah dulu berkembang dan maju, karena proses belajar tidak ada batasnya, ujarnya.
Perajin tenun asal Kota Sawahlunto Desmi Yumiati diikutkan Maybank pada pameran di Kuala Lumpur, Malaysia pertengahan Oktober 2018. Corak tenunnya dengan motif arca. (Ist)
Pendampingan LP2M
Kepedulian dan perhatian dari lembaga donor atau Maybank Foundation Malaysia memang telah mengubah semangat penenun di Kota Sawahlunto, karena banyak inovasi baru yang muncul seperti pewarnaan dari sumber bahan warna alami itu.
Direktur Eksekutif LP2M Padang, Ramadhaniati menyebutkan program dengan Maybank Foundation terhadap perajin tenun di Sawahlunto semakin membuat hasil tenun bervariasi dari segi motif maupun pewarnaan.
Sebelumnya perajin masih terkonsentrasi pada warna sintetik, tapi sejak adanya program Maybank sama LP2M mulai November 2016 sudah muncul produk kerajinan tenun warna alam.
"Untuk menghasilkan songket warna alam, penenun memang agak makan waktu lebih lama dibandingkan dengan sintetik. Tapi permintaan pasar juga cukup baik," ujarnya.
Muncul inovasi perajin itu, terkait selama berjalannya program Maybank dilakukan penguatan kelompok penenun, pelatihan menenun untuk menghasilkan songket berkualitas, serta diajarkan juga bagaimana pemasaran.
Dalam program Maybank Women Eco Weaver tersebut, kata dia, juga ada pelatihan tentang manajemen usaha dan pengelolaan simpan pinjam kelompok sebagai modal jangka panjang bagi perajin tenun, serta peralatan.
"Alhamdulillah, perajin tenun sebagian sudah ada yang mengara ke mandiri. Dan pasaran produk sudah banyak tembus pasar intenasional. Ikut-ikut pameran juga sudah sering dalam dan luar negeri,"ujarnya.
Bahkan, seperti Desmi termasuk perempuan inspirasi tingkat Provinsi Sumbar 2018, dan pertengahan Oktober 2018 ikut pameran di Malaysia.
Ia menceritakan, tertariknya pihak Maybank Foundation awalnya dilakukannya identifikasi dan melihat langsung para penenun ke Sawahlunto.
Kendati menarik dan apalagi peralatan tenun yang ada di Sumbar hampir sama dengan Malaysia, sehingga adanya program selama dua tahun.
Jadi, kelompok perempuan dampingan binaan LP2M yang sejak pertengahan 2013, karena prihatin dengan kian berkurangnya perajin tenun di kota itu.
Selajutnya, pada 2015 ada panding atau donor dari Uni Eropa yang berkerjasama dengan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (Asppuk) sehingga LP2M untuk pendampingan, maka hingga kini sudah ada 11 kelompok dengan jumlah anggota sekitar 200 orang perempuan.
Produk songket dari penenun kelompok perempuan binaan Maybank dan dampingan LP2M. (Ist)
Ke depan, kata dia, para perajin tenun makin mandiri, dan semoga ada program pembinaan/pendamping lanjutan karena para perajin masih perlu disemangati.***
Dulu berkerja sebagai pembantu rumah tangga (mencuci pakaian, mengosok dan menjaga orang sakit) untuk memenuhi pendapatan keluarga tentu tidak seberapa yang diterima, hanya didapat untuk kebutuhan sehari-hari dan jauh pula dari cukup.
Jika itu selamanya dijalankan jangan bermimpi bisa untuk menabung. Suami kerjanya hanya sebagai kuli bangunan di kampung. Namun, selama belum ada pekerjaan lain tentu tetap dijalankan, karena kebutuhan keluarga terus ada.
Perempuan dua anak itu, menuturkan tekat untuk berubah dari pekerjaan awal sebagai pembantu rumah tangga, dan ingin pandai menenun sudah sejak 2012.
Namun, saat itu masih belum ada kelengkapan atau peralatan untuk menenun, apalah daya. Tapi sudah diusulkan bantuan peralatan dengan teman-teman ke instansi terkait di Pemerintah Kota Sawahlunto.
"Suatu hari pada 2014, ada teman yang mengajak untuk beralih profesi dan bersedia pula mengajarkan tenun, kebetulan pada saat itu ada pelatihan tenun yang diselenggarakan Dinas Perindag Kota Sawahlunto," katanya ketika dikonfirmasi, Selasa (30/10).
Peserta pelatihan tahap awal sebanyak 15 orang, semua mendapatkan bantuan perlengkapan untuk menenun. Mulai dari benang, pelantanya, pokoknya masing-masing satu set. Begitu juga, di pelatihan gelombang ke dua ada sekitar delapan orang, maka menjadilah satu kelompok 23 orang.
"Pelatihan diikuti selama 10 hari, yang tenaga pengajarnya didatangkan oleh Disperindag Sawahlunto. Alhamdulillah, selama masa pelatihan saya bisa menyelesaikan satu tenun jenis sarung songket Silungkang," jelasnya.
Sedangkan teman-teman yang lainnya tidak mampu menyelesaikan satu pun produk tenun, bahkan hampir semua tidak ada yang jalan usahanya. Dari 23 orang tersebut, kini tinggal dirinya yang tetap melakoni sebagai penenun. Teman-teman saya yang tidak bergerak itu, akhirnya sebagian besar peralatan dan perlengkapan menenun ditarik dinas terkait karena perjanjian seperti itu, sebutnya.
Jika dulu jari jemari Desmi bersentuhan dengan tumpukan pakai yang sudah jadi, ada yang baru dan ada telah lusuh dipakai manusia. Kini jarinya berurusan dengan untaian benang berwarni warni untuk ditenun menjadi kain songket.
Alhamdulillah, tambah perempuan kelahiran 1976 itu, berkat ketekunannya mempelajari tenun, sehingga kini tidak hanya sebatas untuk kemajuan dan perkembangan usaha sendiri yang dipikirkannya.
Namun, disela-sela kesibukan untuk memenuhi pesanan kosumen, ia juga meluangkan waktu berbagi ilmu dengan mengajarkan kepada teman-teman kaum perempauan muda yang ada dikampungnya. Para perempuan yang diajarkan menenun berada di desa tetangga yakni Desa Kubang Tangah, jumlahnya mencapai 20 orang.
Menurut dia, ketimbang perempuan-perempuan yang masih produktif dan bisa diasah kemampuan hanya ke ladang atau di pasar seharian, maka disemangati mereka untuk mau belajar dan mendalami bertenun.
Ia mengaku, sudah nyaman dengan pekerjaan sebagai penenun karena bisa menabung, memperbaiki rumah, membeli kendaraan dan menyekolah dua anaknya, satu di SMK Muhammad Iqrar (17) dan yang kecil di SLTA Kurnia Zendegi (14).
Dari apa yang dihasilkan itu, Desmi ingin selalu berbagi ilmu agar kaum hawa yang lain bisa bangkit dan berdaya pula dalam menata ekonomi keluarga mereka. Pihak Maybank saja yang jauh dari negera sahabat, mau memberdayakan perajin tenun, apalagi sesama satu daerah, sehingga mengajarkan perempuan muda dikampungnya tak mengutip biaya.
Maybank menginspirasi
Istri dari Anton Hendeki ini, awalnya tidak membayangkan bisa pergi ke kota-kota di tanah air, apalagi keluar negeri. Hanya fokus menekuni usaha menenun untuk menopang ekonomi keluarga, rasanya sudah cukup.
Namun, pada akhir 2016 ada pembinaan dari Maybank dalam program pemberdayaan ekonomi perempuan berkerja sama dengan Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Padang.
Dengan mendapatkan pembinaan itu, kata dia, dikenalkan pula dengan pewarnaan bersumber warna alam dari bahan tumbuhan indigo vera atau tarum.
Kini di kota arang itu, baru dirinya yang berhasil mengeluarkan warna biru itu, karena waranya agak unik. Sebetulnya prosesnya tidak rumit pula, rendam daun tumbuhan tarum selama sekitar 10 jam atau bisa dua hari kala cuaca sedang dingin.
Jadi, setelah direnda, dipisahkan daun dengan air setelah keluar warna birunya tersebut, baru diberi kapur dan tunjung atau firosulfat, kemudian di timba terus dengan gayung.
Karena bersentuhan degan angin maka kain akan menjadi biru, lalu diamkan. Setelah itu dijadikan pasta, baru bisa diwarnai ke benang.
Ia menyebutkan, bahan baku alam seperti tanaman tarum banyak di daerah, termasuk di Kota Sawahlunto, sehingga mudah di dapat.
Sejak jadi binaan Maybank, tak hanya sekadar bantuan modal tetapi juga pelatihan yang didanainya, dan dapat pula uang transportasi, tuturnya.
"Maybank telah membuka mata saya untuk melihat dunia, dan memperbaiki ekonomi keluarga serta menginspirasi untuk bisa berdaya sesama kaum perempuan lainnya," katanya.
Betapa tidak, seiring perjalanan waktu dirinya juga pernah diutus untuk mengikuti pameran di Jakarta dan Bogor.
Bahkan, Maybank membantu dirinya untuk memperluas pasar dengan memperkenalkan produk songket yang dihasilkan ke negara tetangga. Tak cukup sampai disitu saja, tetapi beberapa waktu lalu ada konsumen dari Malaysia bernama Shahrul Jamili melalui pihak Maybank meminta dirinya buat corak dan motif arca.
Menyinggung harga jual hasil tenunnya, tergantung jenis songketnya seperti untuk bahan baju ada kisaran Rp300 ribu hingga Rp500 ribu. Kalau untuk bahan sarung pada kisaran Rp500 hingga Rp800-an ribu.
Perempuan berkerudung itu, mengakui hingga kini yang belum terwujud rencananya adalah ingin menambah ilmu di bidang menenun ke para perajin di Lombok.
Semoga nanti ada kesempatan untuk belajar kepada perajin yang sudah dulu berkembang dan maju, karena proses belajar tidak ada batasnya, ujarnya.
Pendampingan LP2M
Kepedulian dan perhatian dari lembaga donor atau Maybank Foundation Malaysia memang telah mengubah semangat penenun di Kota Sawahlunto, karena banyak inovasi baru yang muncul seperti pewarnaan dari sumber bahan warna alami itu.
Direktur Eksekutif LP2M Padang, Ramadhaniati menyebutkan program dengan Maybank Foundation terhadap perajin tenun di Sawahlunto semakin membuat hasil tenun bervariasi dari segi motif maupun pewarnaan.
Sebelumnya perajin masih terkonsentrasi pada warna sintetik, tapi sejak adanya program Maybank sama LP2M mulai November 2016 sudah muncul produk kerajinan tenun warna alam.
"Untuk menghasilkan songket warna alam, penenun memang agak makan waktu lebih lama dibandingkan dengan sintetik. Tapi permintaan pasar juga cukup baik," ujarnya.
Muncul inovasi perajin itu, terkait selama berjalannya program Maybank dilakukan penguatan kelompok penenun, pelatihan menenun untuk menghasilkan songket berkualitas, serta diajarkan juga bagaimana pemasaran.
Dalam program Maybank Women Eco Weaver tersebut, kata dia, juga ada pelatihan tentang manajemen usaha dan pengelolaan simpan pinjam kelompok sebagai modal jangka panjang bagi perajin tenun, serta peralatan.
"Alhamdulillah, perajin tenun sebagian sudah ada yang mengara ke mandiri. Dan pasaran produk sudah banyak tembus pasar intenasional. Ikut-ikut pameran juga sudah sering dalam dan luar negeri,"ujarnya.
Bahkan, seperti Desmi termasuk perempuan inspirasi tingkat Provinsi Sumbar 2018, dan pertengahan Oktober 2018 ikut pameran di Malaysia.
Ia menceritakan, tertariknya pihak Maybank Foundation awalnya dilakukannya identifikasi dan melihat langsung para penenun ke Sawahlunto.
Kendati menarik dan apalagi peralatan tenun yang ada di Sumbar hampir sama dengan Malaysia, sehingga adanya program selama dua tahun.
Jadi, kelompok perempuan dampingan binaan LP2M yang sejak pertengahan 2013, karena prihatin dengan kian berkurangnya perajin tenun di kota itu.
Selajutnya, pada 2015 ada panding atau donor dari Uni Eropa yang berkerjasama dengan Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (Asppuk) sehingga LP2M untuk pendampingan, maka hingga kini sudah ada 11 kelompok dengan jumlah anggota sekitar 200 orang perempuan.
Ke depan, kata dia, para perajin tenun makin mandiri, dan semoga ada program pembinaan/pendamping lanjutan karena para perajin masih perlu disemangati.***