Tuapeijat (Antaranews Sumbar) - Merusak hutan berarti merusak budaya, kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sermon Sakerebau pada sesi diskusi penyusunan bahan ajar muatan lokal budaya Mentawai dengan guru-guru tingkat SMP di hari ke empat Kamis (27/9) workshop bahan ajar mulok Bumen di Hotel Jelita, Tuapijat.
Munculnya kalimat Sermon tersebut ketika ada salah satu topik materi tentang arsitektur Uma (rumah tradisional Mentawai) yang didiskusikan dalam satu kelompok yang menjabarkan terkait dengan mulainya pembangunan Uma, fungsi bagian-bagian Uma.
Ketika peserta bertanya kepada sesama kelompok, dan kepada narasumber penyusunan bahan ajar mulok budaya Mentawai ini kemudian Sermon memberikan penjelasan lebih mendetail lagi tentang arsitektur Uma, mulai perencaam pembangunan sebuah Uma, pantangan dan siapa saja yang berada dalam Uma.
Pembangunan Uma kata Sermon haruslah dilakukan upacara meminta izin (panaki) misalnya saat akan mengambil bahannya seperti kayu.
“Karena dalam keyakinan orang Mentawai sesuatu yang ada di sekitar kita ada rohnya, termasuk kita mengambil bahan-bahan untuk membangun Uma,” kata Sermon.
Mengambil bahan untuk pembangunan Uma seperti menebang kayu kata Sermon harus melalui ritual meminta izin.
“Kayu itu ibarat manusia memiliki nafas, mengambilnya juga harus minta izin diperlakukan seperti manusia, ada nilai budaya, tidak sembarangan juga menebang kayu, bahkan ketika mengangkat kayunya juga harus hati-hati jangan sampai jatuh,” jelas Sermon.
Leluhur orang Mentawai kata Sermon sangat menghargai alam, tidak sembarangan melakukan penebangan kayu di hutan, jika mengambilnya harus meminta izin dengan ritual, begitu juga saat membuat sampan.
“Jangan mau ada perusahaan besar datang merusak hutan di Mentawai, karena hutan sangat penting keberadaannya dengan orang Mentawai, sebagai sumber kehidupan, budaya, kemudian obat-obatan bersumber dari hutan,” kata Sermon.
Pada kesempatan workshop ini menurut Semon, diskusi yang dilakukan dengan guru-guru yang hadir cukup menarik, selain pesertanya aktif juga banyak pengetahuan baru tentang budaya Mentawai.
Munculnya kalimat Sermon tersebut ketika ada salah satu topik materi tentang arsitektur Uma (rumah tradisional Mentawai) yang didiskusikan dalam satu kelompok yang menjabarkan terkait dengan mulainya pembangunan Uma, fungsi bagian-bagian Uma.
Ketika peserta bertanya kepada sesama kelompok, dan kepada narasumber penyusunan bahan ajar mulok budaya Mentawai ini kemudian Sermon memberikan penjelasan lebih mendetail lagi tentang arsitektur Uma, mulai perencaam pembangunan sebuah Uma, pantangan dan siapa saja yang berada dalam Uma.
Pembangunan Uma kata Sermon haruslah dilakukan upacara meminta izin (panaki) misalnya saat akan mengambil bahannya seperti kayu.
“Karena dalam keyakinan orang Mentawai sesuatu yang ada di sekitar kita ada rohnya, termasuk kita mengambil bahan-bahan untuk membangun Uma,” kata Sermon.
Mengambil bahan untuk pembangunan Uma seperti menebang kayu kata Sermon harus melalui ritual meminta izin.
“Kayu itu ibarat manusia memiliki nafas, mengambilnya juga harus minta izin diperlakukan seperti manusia, ada nilai budaya, tidak sembarangan juga menebang kayu, bahkan ketika mengangkat kayunya juga harus hati-hati jangan sampai jatuh,” jelas Sermon.
Leluhur orang Mentawai kata Sermon sangat menghargai alam, tidak sembarangan melakukan penebangan kayu di hutan, jika mengambilnya harus meminta izin dengan ritual, begitu juga saat membuat sampan.
“Jangan mau ada perusahaan besar datang merusak hutan di Mentawai, karena hutan sangat penting keberadaannya dengan orang Mentawai, sebagai sumber kehidupan, budaya, kemudian obat-obatan bersumber dari hutan,” kata Sermon.
Pada kesempatan workshop ini menurut Semon, diskusi yang dilakukan dengan guru-guru yang hadir cukup menarik, selain pesertanya aktif juga banyak pengetahuan baru tentang budaya Mentawai.