ZAKAT memang hak pribadi seseorang. Tapi dalam mengelola harta zakat (mengumpul dan mendistribusikan zakat), Allah Swt telah mengisyaratkan aturannya. Zakat mesti dikelola oleh Badan Amil Zakat.
Kita umat Islam, tentu sudah hafal dan paham benar membayar zakat rukun Islam yang ke empat. Rukun Islam pertama, pengakuan kita mengucapkan dua kali masyahadat. Bahwa tidak ada Tuhan Selain Allah Swt dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.
Rukun Islam kedua, perintah mendirikan shalat dan Rukun Islam ketiga kewajiban berpuasa di bulan Ramdhan. Dan rukun Islam kelima menunaikan ibadah haji.
Al Qur’an sebagai hudam (petunjuk) bagi umat Islam, berulang kali menyebutkan tentang perintah mendirikan shalat dan kewajiban membayar zakat.
“Kerjakankan shalat dan tunaikan zakat,” (QS: Al Baqarah : 43).
Artinya perintah shalat dan kewajiban membayar zakat berdiri sejajar. Tidak terpisahkan. Bila kita mampu mendirikan shalat, tapi kita tidak mau membayar zakat (padahal kita sudah mampu membayarnya), berarti ada sesuatu yang belum sempurna.
Bahkan dalam ayat lain, ditegaskan Allah Swt,”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka,” (QS. At Taubah : 103).
Kedua ayat Al Qur’an itu dasar hukumnya bersifat qat’i (pasti dan tidak boleh diabaikan). Kalau diabaikan?
Ya, selain kita hina (berdosa), berarti kita tidak bersyukur dan tidak patuh kepada Allah SWT yang telah menciptakan lagit, bumi beserta isinya. Termasuk kita manusia. Na’uzubillah min zalik (kita berlindung kepada Allah SWT dari hal yang demikian).
Bukankah ketika kita masih dalam kandungan ibu kita masing-masing, Allah Swt bertanya,”Apakah Aku ini Tuhanmu,”? Langsung kita menjawab, “Benar Engkau Ya Allah Tuhan kami,”.
Kalau kita sudah akui Allah Swt Tuhan kita, sedangkan perintah membayar zakat adalah perintah Allah.
Kenapa kita ‘tidak mematuhi perintah-Nya’?
Sesungguhnya tidak ada alasan bagi kita untuk menafsirkan perintah membayar zakat dengan ‘dagelan-dagelan’ atau dalil akal. Konon lagi dikal-akali.
Muncul pertanyaan, di Indonesia siapa lembaga yang berhak mengelola/mengurus harta zakat? Dan siapa pula yang sebenarnya berhak menerima harta zakat itu? Semakin menarik, memang persoalan ini diuraikan.
Sebab pertanyaan sederhana ini sering kita dengar baik di perkantoran, di lapau (warung) bahkan dalam masjid atau mushalla.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita jangan terjebak dalam logika akal atau perasaan. Karena Allah SWT sudah memberikan tuntunan yang jelas dan pasti.
Nah, siapa yang berhak mengelola harta zakat dan siapa-siapa pula mereka yang berhak menerima zakat.
Ini dalilnya.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk (1), orang-orang fakir, (2), orang-orang miskin, (3), pengurus-pengurus zakat (amil zakat), (4) para mu’alaf yang dibujuk hatinya, (5), untuk budak, (6), orang-orang yang berutang (gharimin), (7), untuk jalan Allah dan (8), untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Megetahui lagi Maha Bijaksana,” (QS. At Taubah :60).
Ini firman Allah SWT, sebagai dasar hukum tentang siapa yang berhak mengelola dan menerima harta zakat umat Islam.
Dari firman Allah ini, dapat kita pahami bahwa harta zakat harus dikelola oleh badan amil zakat atau lembaga resmi. Kemudian hanya delapan asnap (kelompok orang) yang berhak menerima harta zakat itu.
Kenapa harta zakat mesti diserahkan dulu kepada amil zakat? Mengapa tidak langsung saja diberikan pemilik harta zakat kepada mereka yang memang berhak menerima zakat?
Setidaknya ada empat alasan kenapa harta zakat mesti dikelola amil zakat.
Pertama, mesti kita pahami dengan benar, Allah Swt yang memerintahkan zakat harus dikelola melalui amil zakat. Kalau Allah Swt yang memerintahkan, pasti Allah Swt lebih tahu manfaat dan mudharatnya bagi manusia.
Maka sebaiknya, kita patuh sajalah pada perintah Allah. Mari kita serahkan zakat harta kita kepada amil zakat.
Kedua, tujuan zakat untuk membersihkan harta pemiliknya. Untuk apa? Agar hartanya bersih, subur/tumbuh dan berkembang.
Yakinlah tidak ada orang yang membayar zakat atau bersedekah menjadi miskin.
Malah sebaliknya, membayar zakat dan bersedekah membuat harta kita bertambah dan berkembang.
Ketiga, untuk menjauhkan terjadinya sifat ria dan sombong. Dan untuk menghindari agar penerima zakat tidak merasa dibebani, sebab dia tahu orang yang memberi dia harta zakat.
Keempat, agar pencatatan harta zakat dan pendistribusian harta zakat tepat sasaran. Jangan sampai salah sasaran. Orang yang tidak berhak menerima zakat (karena tidak masuk dalam delapan asnap), justru menerimannya.
Contoh, seseorang yang sudah wajib bayar zakat, zakat hartanya dia berikan pada ayah dan ibunya yang tinggal di kampung. Padahal ayah dan ibu kandunya itu tidak berhak menerima zakat.
Sekali lagi, tidak ada satu alasan pun bagi kita melogika-logikan-kan untuk tidak membayar zakat melalui amil zakat. Tidak membayar zakat, sekali lagi membantah perintah Allah SWT.
Yakinlah, setiap perintah Allah pasti membawa kemaslahatan kepada manusia itu sendiri. Sebaliknya, melanggar larangan Allah SWT membuat manusia sengsara.
Melihat besarnya jumlah umat Islam dan besarnya potensi harta zakat di Indonesia, maka pemerintah membuat aturan (regulasi).
Siapa yang diberi wewenang mengurusi harta zakat.
Walaupun masih ada orang yang berpendapat membayar zakat ituk hak yang melekat pada pribadi (privasi) seseorang. “Mau kemana dia berikan zakat hartanya, silahkan. Ngapain pula harus diatur-atur,” kata segelintir orang yang belum paham.
Memang, membayar zakat adalah kewajiban per-individu orang yang memiliki harta. Namun, jangan lupa bahwa hak pribadi itu ada aturannya. Baik aturan secara agama maupun aturan kenegaraan.
Kalau kita perhatikan pemerintah sangat serius mengurus harta zakat. Sejak enam tahun lalu, pemerintah bersama anggota dewan (DPR RI) telah membuat sebuah regulasi (aturan) tentang harta zakat di negeri mayoritas penduduknya muslijm ini.
Lahirnya UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah bukti konkrit harta zakat hak pribadi seseorang tapi ditur oleh negara. Sebagai turunan dari UU 23 Tahun 2011 itu, diterbitkan peraturan pemerintah (PP) No 14 tahun 2014 tentang aturan pelaksanaan pengelolaan zakat.
Seterusnya lebih rinci lagi, dikeluarkan Intruksi Presiden (Inpres) No 3 Tahun 2014 tentang optimalisasi pengumpulan zakat di
Kementerian dan Lembaga Negara, Sekretariat jenderal, BUMN dan BUMD melalui BAZNAS.
Kemudian, lebih teknis lagi, Keputusan Menteri Agama (Kepmen) RI No.118 Tahun 2014 tentang pembentukan BAZNAS Provinsi.
Dilanjutkan dengan Keputusan Dirjen Bimas Islam No. DJ.II.568 Tahun 2014 tentang pembentukan BAZNAS Kabupaten dan BAZNAS Kota.
BAZNAS pusat pun membuat aturanNo. 01 Tahun 2014 tentang tata cara pengajuan pertimbangan, pengangkatan/pemberhentian pimpinan BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten Kota.
Masih persoalan regulasi.
BAZNAS pusat mengeluarka aturan No. 2 Tahun 2014 tentang pedoman tata cara pemberian rekomendasi izin pembentukan lembaga amil zakat (LAZ).
Disamping masih ada aturan BAZNAS pusat tentang organisasi dan tata kerja BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota.
Regulasi, berbentuk UU, Inpres, Keputusan Menteri Agama dan Keputusan Dirjen Bimas Islam, keseluruhannya mengukuhkan BAZNAS lembaga resmi negara yang diberi wewenang menghimpun, mendistribusikan dan mendayagunaan harta zakat.
Mulai dari BAZNAS pusat, provinsi sampai ke BAZNAS kabupaten dan kota.
Apakah kelompok lain tidak boleh menghimpun harta zakat? Jawabannya, boleh. MESTI IKUTI ATURAN. Agar tidak disebut lembaga amil zakat illegal atau dituduh melawan/melanggar hukum.
Setiap perkantoran, lembaga kemanusiaan, masjid atau mushalla dibenarkan membentuk unit penghimpun zakat (UPZ). Syaratnya, lembaga itu memilih paling kurang tiga orang sebagai (ketua, sekretaris dan bendahara).
Kalau mau ditambah dengan satu orang konsultan zakat, juga dibolehkan.
Nah, setelah itu baru nama-nama calon pengurus UPZ diajukan ke Kantor BAZNAS kabupaten atau kota untuk diminta dikeluarkan surat keputusan (SK). Sekaligus mengukuhkan pengurus UPZ itu.
Kalau sudah terbentuk dan di SK-kan, UPZ sudah ‘halal’ melakukan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan harta zakat. Kepada siapa nanti UPZ menyalurkan harta zakat, tidak ada intervensi dari BAZNAS kota atau kabupaten.
Yang penting penyaluran harta zakat harus sesuai dengan asnap delapan.
Namun, sebagai tanggungjawab moral dan administarsi UPZ-UPZ harus memberikan laporan keuangan dan kebijakan tertulis kepada BAZNAS.
Bagaimana pula kalau menghimpun zakat melawan hukum? Jelans setiap perbuatan melawan hukum atau melanggar hukum pasti ada sanksi pidananya.
Dalam pasal 38, UU No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan harta zakat, dijelaskan dengan tegas. Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak sebagai amil zakat, malakukan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
Siapa lembaga yang dimaksud berwenang itu? Lembaga yang berwenang pengelola zakat adalah BAZNAS. Jika ada yang melakukan pemungutan zakat dan mendistribusikannya kepada orang lain tanpa izin BAZNAS, perbuatan tersebut dikategorikan melawan hukum.
Berkaitan dengan sanksi mengelola zakat tanpa izin yang berwenang, ditegaskan dalam pasal 41, UU No, 23 Tahun 2011.
Isinya adalah setiap orang yang melakukan pelanggaran mengelola (menghimpun dan mendistribusikan) zakat tanpa izin, dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. Atau pidana denda paling banyak Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
JENIS HARTA ZAKAT
Pertanyaan lain yang sering kita dengar dari masyarakat di lapangan, tentang bentuk-bentuk harta zakat. Apa saja jenis dan bentuk harta zakat.
Dilihat dari jenis zakat, ada dua. Zakat fitrah dan zakat maal (harta).Sedangkan zakat maal terdiri dari, zakat binatang ternak, zakat harta peninggalan dan perusahaan dan zakat hasilpertania.
Masih termasuk zakat maal, zakat emas dan perak, zakat profesi, zakat barang tambang dan hasil laut serta zakat rikaz (harta karun).* Wallahu’aklam bis shawaf. Penulis adalah Humas Baznas Kota Padang
Kita umat Islam, tentu sudah hafal dan paham benar membayar zakat rukun Islam yang ke empat. Rukun Islam pertama, pengakuan kita mengucapkan dua kali masyahadat. Bahwa tidak ada Tuhan Selain Allah Swt dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah.
Rukun Islam kedua, perintah mendirikan shalat dan Rukun Islam ketiga kewajiban berpuasa di bulan Ramdhan. Dan rukun Islam kelima menunaikan ibadah haji.
Al Qur’an sebagai hudam (petunjuk) bagi umat Islam, berulang kali menyebutkan tentang perintah mendirikan shalat dan kewajiban membayar zakat.
“Kerjakankan shalat dan tunaikan zakat,” (QS: Al Baqarah : 43).
Artinya perintah shalat dan kewajiban membayar zakat berdiri sejajar. Tidak terpisahkan. Bila kita mampu mendirikan shalat, tapi kita tidak mau membayar zakat (padahal kita sudah mampu membayarnya), berarti ada sesuatu yang belum sempurna.
Bahkan dalam ayat lain, ditegaskan Allah Swt,”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka,” (QS. At Taubah : 103).
Kedua ayat Al Qur’an itu dasar hukumnya bersifat qat’i (pasti dan tidak boleh diabaikan). Kalau diabaikan?
Ya, selain kita hina (berdosa), berarti kita tidak bersyukur dan tidak patuh kepada Allah SWT yang telah menciptakan lagit, bumi beserta isinya. Termasuk kita manusia. Na’uzubillah min zalik (kita berlindung kepada Allah SWT dari hal yang demikian).
Bukankah ketika kita masih dalam kandungan ibu kita masing-masing, Allah Swt bertanya,”Apakah Aku ini Tuhanmu,”? Langsung kita menjawab, “Benar Engkau Ya Allah Tuhan kami,”.
Kalau kita sudah akui Allah Swt Tuhan kita, sedangkan perintah membayar zakat adalah perintah Allah.
Kenapa kita ‘tidak mematuhi perintah-Nya’?
Sesungguhnya tidak ada alasan bagi kita untuk menafsirkan perintah membayar zakat dengan ‘dagelan-dagelan’ atau dalil akal. Konon lagi dikal-akali.
Muncul pertanyaan, di Indonesia siapa lembaga yang berhak mengelola/mengurus harta zakat? Dan siapa pula yang sebenarnya berhak menerima harta zakat itu? Semakin menarik, memang persoalan ini diuraikan.
Sebab pertanyaan sederhana ini sering kita dengar baik di perkantoran, di lapau (warung) bahkan dalam masjid atau mushalla.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita jangan terjebak dalam logika akal atau perasaan. Karena Allah SWT sudah memberikan tuntunan yang jelas dan pasti.
Nah, siapa yang berhak mengelola harta zakat dan siapa-siapa pula mereka yang berhak menerima zakat.
Ini dalilnya.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk (1), orang-orang fakir, (2), orang-orang miskin, (3), pengurus-pengurus zakat (amil zakat), (4) para mu’alaf yang dibujuk hatinya, (5), untuk budak, (6), orang-orang yang berutang (gharimin), (7), untuk jalan Allah dan (8), untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Megetahui lagi Maha Bijaksana,” (QS. At Taubah :60).
Ini firman Allah SWT, sebagai dasar hukum tentang siapa yang berhak mengelola dan menerima harta zakat umat Islam.
Dari firman Allah ini, dapat kita pahami bahwa harta zakat harus dikelola oleh badan amil zakat atau lembaga resmi. Kemudian hanya delapan asnap (kelompok orang) yang berhak menerima harta zakat itu.
Kenapa harta zakat mesti diserahkan dulu kepada amil zakat? Mengapa tidak langsung saja diberikan pemilik harta zakat kepada mereka yang memang berhak menerima zakat?
Setidaknya ada empat alasan kenapa harta zakat mesti dikelola amil zakat.
Pertama, mesti kita pahami dengan benar, Allah Swt yang memerintahkan zakat harus dikelola melalui amil zakat. Kalau Allah Swt yang memerintahkan, pasti Allah Swt lebih tahu manfaat dan mudharatnya bagi manusia.
Maka sebaiknya, kita patuh sajalah pada perintah Allah. Mari kita serahkan zakat harta kita kepada amil zakat.
Kedua, tujuan zakat untuk membersihkan harta pemiliknya. Untuk apa? Agar hartanya bersih, subur/tumbuh dan berkembang.
Yakinlah tidak ada orang yang membayar zakat atau bersedekah menjadi miskin.
Malah sebaliknya, membayar zakat dan bersedekah membuat harta kita bertambah dan berkembang.
Ketiga, untuk menjauhkan terjadinya sifat ria dan sombong. Dan untuk menghindari agar penerima zakat tidak merasa dibebani, sebab dia tahu orang yang memberi dia harta zakat.
Keempat, agar pencatatan harta zakat dan pendistribusian harta zakat tepat sasaran. Jangan sampai salah sasaran. Orang yang tidak berhak menerima zakat (karena tidak masuk dalam delapan asnap), justru menerimannya.
Contoh, seseorang yang sudah wajib bayar zakat, zakat hartanya dia berikan pada ayah dan ibunya yang tinggal di kampung. Padahal ayah dan ibu kandunya itu tidak berhak menerima zakat.
Sekali lagi, tidak ada satu alasan pun bagi kita melogika-logikan-kan untuk tidak membayar zakat melalui amil zakat. Tidak membayar zakat, sekali lagi membantah perintah Allah SWT.
Yakinlah, setiap perintah Allah pasti membawa kemaslahatan kepada manusia itu sendiri. Sebaliknya, melanggar larangan Allah SWT membuat manusia sengsara.
Melihat besarnya jumlah umat Islam dan besarnya potensi harta zakat di Indonesia, maka pemerintah membuat aturan (regulasi).
Siapa yang diberi wewenang mengurusi harta zakat.
Walaupun masih ada orang yang berpendapat membayar zakat ituk hak yang melekat pada pribadi (privasi) seseorang. “Mau kemana dia berikan zakat hartanya, silahkan. Ngapain pula harus diatur-atur,” kata segelintir orang yang belum paham.
Memang, membayar zakat adalah kewajiban per-individu orang yang memiliki harta. Namun, jangan lupa bahwa hak pribadi itu ada aturannya. Baik aturan secara agama maupun aturan kenegaraan.
Kalau kita perhatikan pemerintah sangat serius mengurus harta zakat. Sejak enam tahun lalu, pemerintah bersama anggota dewan (DPR RI) telah membuat sebuah regulasi (aturan) tentang harta zakat di negeri mayoritas penduduknya muslijm ini.
Lahirnya UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat adalah bukti konkrit harta zakat hak pribadi seseorang tapi ditur oleh negara. Sebagai turunan dari UU 23 Tahun 2011 itu, diterbitkan peraturan pemerintah (PP) No 14 tahun 2014 tentang aturan pelaksanaan pengelolaan zakat.
Seterusnya lebih rinci lagi, dikeluarkan Intruksi Presiden (Inpres) No 3 Tahun 2014 tentang optimalisasi pengumpulan zakat di
Kementerian dan Lembaga Negara, Sekretariat jenderal, BUMN dan BUMD melalui BAZNAS.
Kemudian, lebih teknis lagi, Keputusan Menteri Agama (Kepmen) RI No.118 Tahun 2014 tentang pembentukan BAZNAS Provinsi.
Dilanjutkan dengan Keputusan Dirjen Bimas Islam No. DJ.II.568 Tahun 2014 tentang pembentukan BAZNAS Kabupaten dan BAZNAS Kota.
BAZNAS pusat pun membuat aturanNo. 01 Tahun 2014 tentang tata cara pengajuan pertimbangan, pengangkatan/pemberhentian pimpinan BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten Kota.
Masih persoalan regulasi.
BAZNAS pusat mengeluarka aturan No. 2 Tahun 2014 tentang pedoman tata cara pemberian rekomendasi izin pembentukan lembaga amil zakat (LAZ).
Disamping masih ada aturan BAZNAS pusat tentang organisasi dan tata kerja BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota.
Regulasi, berbentuk UU, Inpres, Keputusan Menteri Agama dan Keputusan Dirjen Bimas Islam, keseluruhannya mengukuhkan BAZNAS lembaga resmi negara yang diberi wewenang menghimpun, mendistribusikan dan mendayagunaan harta zakat.
Mulai dari BAZNAS pusat, provinsi sampai ke BAZNAS kabupaten dan kota.
Apakah kelompok lain tidak boleh menghimpun harta zakat? Jawabannya, boleh. MESTI IKUTI ATURAN. Agar tidak disebut lembaga amil zakat illegal atau dituduh melawan/melanggar hukum.
Setiap perkantoran, lembaga kemanusiaan, masjid atau mushalla dibenarkan membentuk unit penghimpun zakat (UPZ). Syaratnya, lembaga itu memilih paling kurang tiga orang sebagai (ketua, sekretaris dan bendahara).
Kalau mau ditambah dengan satu orang konsultan zakat, juga dibolehkan.
Nah, setelah itu baru nama-nama calon pengurus UPZ diajukan ke Kantor BAZNAS kabupaten atau kota untuk diminta dikeluarkan surat keputusan (SK). Sekaligus mengukuhkan pengurus UPZ itu.
Kalau sudah terbentuk dan di SK-kan, UPZ sudah ‘halal’ melakukan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan harta zakat. Kepada siapa nanti UPZ menyalurkan harta zakat, tidak ada intervensi dari BAZNAS kota atau kabupaten.
Yang penting penyaluran harta zakat harus sesuai dengan asnap delapan.
Namun, sebagai tanggungjawab moral dan administarsi UPZ-UPZ harus memberikan laporan keuangan dan kebijakan tertulis kepada BAZNAS.
Bagaimana pula kalau menghimpun zakat melawan hukum? Jelans setiap perbuatan melawan hukum atau melanggar hukum pasti ada sanksi pidananya.
Dalam pasal 38, UU No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan harta zakat, dijelaskan dengan tegas. Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak sebagai amil zakat, malakukan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
Siapa lembaga yang dimaksud berwenang itu? Lembaga yang berwenang pengelola zakat adalah BAZNAS. Jika ada yang melakukan pemungutan zakat dan mendistribusikannya kepada orang lain tanpa izin BAZNAS, perbuatan tersebut dikategorikan melawan hukum.
Berkaitan dengan sanksi mengelola zakat tanpa izin yang berwenang, ditegaskan dalam pasal 41, UU No, 23 Tahun 2011.
Isinya adalah setiap orang yang melakukan pelanggaran mengelola (menghimpun dan mendistribusikan) zakat tanpa izin, dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. Atau pidana denda paling banyak Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
JENIS HARTA ZAKAT
Pertanyaan lain yang sering kita dengar dari masyarakat di lapangan, tentang bentuk-bentuk harta zakat. Apa saja jenis dan bentuk harta zakat.
Dilihat dari jenis zakat, ada dua. Zakat fitrah dan zakat maal (harta).Sedangkan zakat maal terdiri dari, zakat binatang ternak, zakat harta peninggalan dan perusahaan dan zakat hasilpertania.
Masih termasuk zakat maal, zakat emas dan perak, zakat profesi, zakat barang tambang dan hasil laut serta zakat rikaz (harta karun).* Wallahu’aklam bis shawaf. Penulis adalah Humas Baznas Kota Padang