Jakarta, (Antaranews Sumbar) - Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesis (Alpha) Azmi Syahputra menyatakan saatnya partai politik melakukan evaluasi terkait dengan banyaknya kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Menjelang pilkada 27 Juni 2018 semakin meningkat OTT pejabat negara yang kini jumlahnya sudah belasan, ditambah kasus OTT beberapa hari lalu di mana Bupati Blitar dan Bupati Tulung Agung ikut menyerahkan diri ke KPK menambah rentetan daftar korupsi kepala daerah," katanya melalui siaran persnya yang diterima Antara di Jakarta, Minggu (10/6) malam.
Ia menyebutkan faktor penyebab banyaknya kepala daerah terjaring OTT itu akibat biaya kampanye politik serta ada permintaan kebutuhan
guna merebut suara pemilih.
Kendati demikian, ia menambahkan terdapat dua jenis kelompok masyarakat dalam membantu OTT ini, yaitu masyarakat yang cenderung lebih sensitif dan aktif memantau atau melaporkan serta kelompok yang tidak mendapat bagian dari "bancakan" proyek anggaran negara dalam hal pembagian.
"Kedua jenis kelompok inilah yang menjadi bagian mitra KPK untuk mengungkap korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah menjelang pilkada serentak tahun 2018," katanya.
Secara personel KPK yang terbatas, kata dia, tentu KPK lebih mudah dengan dibantu partisipasi dari kedua jenis kelompok masyarakat ini.
Azmi menyebutkan pilkada serentak tahun 2018 lebih kental dengan roma OTT dibanding formulasi solusi atau program unggulan kampanye dari calon.
Karena itu, pemerintah maupun partai politik perlu melakukan pengkajian dan evaluasi terhadap pilkada langsung, mengingat kenyataan beberapa kali OTT dijadikan momentum agar menjadi yang terakhir faktanya selalu terjadi lagi.
Namun, apa pun alasannya aroma pilkada rasa OTT, hal ini merupakan wujud kerja KPK sehingga patut dan harus diapresiasi.
"Korupsi sangat berbahaya jika itu dilakukan oleh kader partai yang seharusnya menjadi contoh dan panutan masyarakat," katanya.
Jika partai tidak membenahi proses seleksi kandidat kepala daerah maka akan berdampak ke depannya, yaitu akan melumpuhkan dan merusak mesin partainya.
"Tidak ada cara lain untuk memperbaiki ini. Partai harus evaluasi sistem rekrutmen dan harus tegas menerapkan komitmen dan sanksi kepada kadernya yang menjadi bagian penyelenggara negara," katanya. (*)
"Menjelang pilkada 27 Juni 2018 semakin meningkat OTT pejabat negara yang kini jumlahnya sudah belasan, ditambah kasus OTT beberapa hari lalu di mana Bupati Blitar dan Bupati Tulung Agung ikut menyerahkan diri ke KPK menambah rentetan daftar korupsi kepala daerah," katanya melalui siaran persnya yang diterima Antara di Jakarta, Minggu (10/6) malam.
Ia menyebutkan faktor penyebab banyaknya kepala daerah terjaring OTT itu akibat biaya kampanye politik serta ada permintaan kebutuhan
guna merebut suara pemilih.
Kendati demikian, ia menambahkan terdapat dua jenis kelompok masyarakat dalam membantu OTT ini, yaitu masyarakat yang cenderung lebih sensitif dan aktif memantau atau melaporkan serta kelompok yang tidak mendapat bagian dari "bancakan" proyek anggaran negara dalam hal pembagian.
"Kedua jenis kelompok inilah yang menjadi bagian mitra KPK untuk mengungkap korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah menjelang pilkada serentak tahun 2018," katanya.
Secara personel KPK yang terbatas, kata dia, tentu KPK lebih mudah dengan dibantu partisipasi dari kedua jenis kelompok masyarakat ini.
Azmi menyebutkan pilkada serentak tahun 2018 lebih kental dengan roma OTT dibanding formulasi solusi atau program unggulan kampanye dari calon.
Karena itu, pemerintah maupun partai politik perlu melakukan pengkajian dan evaluasi terhadap pilkada langsung, mengingat kenyataan beberapa kali OTT dijadikan momentum agar menjadi yang terakhir faktanya selalu terjadi lagi.
Namun, apa pun alasannya aroma pilkada rasa OTT, hal ini merupakan wujud kerja KPK sehingga patut dan harus diapresiasi.
"Korupsi sangat berbahaya jika itu dilakukan oleh kader partai yang seharusnya menjadi contoh dan panutan masyarakat," katanya.
Jika partai tidak membenahi proses seleksi kandidat kepala daerah maka akan berdampak ke depannya, yaitu akan melumpuhkan dan merusak mesin partainya.
"Tidak ada cara lain untuk memperbaiki ini. Partai harus evaluasi sistem rekrutmen dan harus tegas menerapkan komitmen dan sanksi kepada kadernya yang menjadi bagian penyelenggara negara," katanya. (*)