Jakarta, (Antaranews Sumbar) - Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif diserahkan kepada partai politik dengan membuat aturan dan syarat ketat ketika seorang mendaftar sebagai caleg.
"Jalan tengah yang bisa dilakukan adalah larangan 'nyaleg' mantan napi korupsi diserahkan saja kepada parpol untuk membuat peraturan dan syarat menjadi caleg," kata Pangi di Jakarta, Sabtu.
Hal itu menurut dia dilakukan karena terjadinya polemik dan perbedaan pandangan yang berlarut-larut terkait KPU yang akan mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) mengenai larangan mantan napi korupsi menjadi caleg.
Dia menilai kalau persyaratan tersebut dibuat parpol maka "bola panas" ada pada parpol, bukan di KPU sehingga tidak perlu berhadapan secara langsung dengan aktor individu caleg dan partai politik.
"Sekarang KPU berhadapan langsung dengan aktor individu dan elit parpol. Namun kalau bicara 'sennse of politics', KPU tidak perlu khawatir karena opini masyarakat mendukung kebijakan tersebut," ujarnya.
Pangi menilai mengatasi polemik tersebut harus dengan pandangan yang jernih dan melihatnya secara komprehensif dengan tinjauan dua sisi yang berbeda.
Di satu sisi menurut dia, kita berdebat soal HAM terkait hak politik setiap warga negara memilih dan dipilih, kembali ke prinsip "equality before of the law" atau sama di hadapan hukum, siapa pun dia.
"Namun di sisi lain, biarkan pengadilan yang mencabut hak politik mereka, misalnya dicabut hak politik seumur hidup maka selama itu tidak punya hak memilih dan dipilih," ujarnya.
Pangi mendukung KPU yang punya itikad baik menyaring orang-orang baik sebelum disajikan menu tersebut ke masyarakat, melalui peraturan PKPU yakni mantan napi koruptor kehilangan hak dipilih sebagai caleg.
Selain itu Pangi menilai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak melarang mantan napi kasus korupsi "nyaleg", khususnya Pasal 240 Ayat 1 huruf g dinyatakan, "seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka bahwa dirinya pernah berstatus sebagai narapidana".
Karena itu menurut dia, persepsi awam masyarakat bahwa PKPU yang melarang mantan napi berhadapan dengan peraturan perundang undangan sehingga muncul pertanyaan apakah kebijakan KPU itu melanggar UU Pemilu khususnya pasal 240 ayat 1 huruf g atau tidak.
Dia menegaskan di satu sisi PKPU yang dibuat KPU harus punya korelasi linear dengan peraturan perundang undangan yang berlaku yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun di sisi lain menurut Pangi, KPU memang tidak melampaui kewenangannya karena PKPU hak KPU untuk menyiapkan aturan tersebut. (*)
"Jalan tengah yang bisa dilakukan adalah larangan 'nyaleg' mantan napi korupsi diserahkan saja kepada parpol untuk membuat peraturan dan syarat menjadi caleg," kata Pangi di Jakarta, Sabtu.
Hal itu menurut dia dilakukan karena terjadinya polemik dan perbedaan pandangan yang berlarut-larut terkait KPU yang akan mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) mengenai larangan mantan napi korupsi menjadi caleg.
Dia menilai kalau persyaratan tersebut dibuat parpol maka "bola panas" ada pada parpol, bukan di KPU sehingga tidak perlu berhadapan secara langsung dengan aktor individu caleg dan partai politik.
"Sekarang KPU berhadapan langsung dengan aktor individu dan elit parpol. Namun kalau bicara 'sennse of politics', KPU tidak perlu khawatir karena opini masyarakat mendukung kebijakan tersebut," ujarnya.
Pangi menilai mengatasi polemik tersebut harus dengan pandangan yang jernih dan melihatnya secara komprehensif dengan tinjauan dua sisi yang berbeda.
Di satu sisi menurut dia, kita berdebat soal HAM terkait hak politik setiap warga negara memilih dan dipilih, kembali ke prinsip "equality before of the law" atau sama di hadapan hukum, siapa pun dia.
"Namun di sisi lain, biarkan pengadilan yang mencabut hak politik mereka, misalnya dicabut hak politik seumur hidup maka selama itu tidak punya hak memilih dan dipilih," ujarnya.
Pangi mendukung KPU yang punya itikad baik menyaring orang-orang baik sebelum disajikan menu tersebut ke masyarakat, melalui peraturan PKPU yakni mantan napi koruptor kehilangan hak dipilih sebagai caleg.
Selain itu Pangi menilai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak melarang mantan napi kasus korupsi "nyaleg", khususnya Pasal 240 Ayat 1 huruf g dinyatakan, "seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka bahwa dirinya pernah berstatus sebagai narapidana".
Karena itu menurut dia, persepsi awam masyarakat bahwa PKPU yang melarang mantan napi berhadapan dengan peraturan perundang undangan sehingga muncul pertanyaan apakah kebijakan KPU itu melanggar UU Pemilu khususnya pasal 240 ayat 1 huruf g atau tidak.
Dia menegaskan di satu sisi PKPU yang dibuat KPU harus punya korelasi linear dengan peraturan perundang undangan yang berlaku yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun di sisi lain menurut Pangi, KPU memang tidak melampaui kewenangannya karena PKPU hak KPU untuk menyiapkan aturan tersebut. (*)