Awal tahun 2018 menjadi waktu suram bagi nelayan bagan di Sumbar, karena saat orang menyambut dan merayakan tahun baru dengan gegap gempita, mereka malahan harus meratapi nasib kelam yang sudah menunggu di depan mata.

         Mulai awal tahun itu mereka tidak bisa lagi pergi melaut, memecah ombak dan bergurau dengan gelombang untuk menghidupi anak istri  di rumah.

         Pekerjaan yang telah mereka geluti turun-temurun dari orang tua itu dengan membaca cuaca kini menjadi aktivitas terlarang.

         Mereka terkendala penggunaan alat tangkap yang dinilai melanggar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawl) dan Pukat Tarik (seinen nets).

         Juga Peraturan Menteri Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP RI).

         Akibatnya ratusan kapal bagan terpaksa harus bersandar saja di pelabuhan sementara ribuan nelayan yang menggantungkan hidup dari kapal itu terpaksa mencari pekerjaan lain untuk menghidupi keluarga.

         Hidup seperti itu sungguh terasa berat olah nelayan, karena keahlian yang mereka miliki, yang diturunkan dari nenek moyang adalah hanyalah melaut. Mereka gagap jika harus mengubah mata pencarian secara tiba-tiba. Apalagi mencari pekerjaan saat ini juga bukan perkara mudah.

         Jika hal itu terus berlanjut, angka pengangguran di provinsi itu diperkirakan akan meningkat demikian juga dengan angka kemiskinan karena yang terimbas bukan hanya nelayan, tetapi juga keluarganya.

         Ketua Persatuan Nelayan Bagan Sumbar, Hendra Halim mengatakan jumlah bagan di Sumbar sekitar 500 unit yang 250 di antaranya adalah bagan di atas 30 gross ton (GT).

         Masing-masing bagan biasanya membawa sekitar 20-25 orang nelayan. Ada yang masih bujang tetapi sebagian besar telah berkeluarga dan memiliki beberapa anak.

         Jika dihitung-hitung ada belasan ribu orang yang menggantungkan hidup dari kapal bagan itu di Sumatera Barat.

         Ia mengatakan sejak aturan kementerian itu diterbitkan nelayan bagan di daerah itu telah berupaya semaksimal mungkin untuk memperjuangkan hidupnya. Setidaknya dua kali mereka melakukan demonstrasi ke kantor gubernur dan Dinas Kelautan dan Perikanan setempat.

Cantrang
    Pemerintah Provinsi Sumbar menerima aspirasi nelayan itu karena meyakini bagan di daerah itu tidak sama dengan cantrang di Jawa Timur. Selain itu bagan bukan hanya mata pencarian, tetapi telah menjadi budaya.

         Bagan adalah jaring angkat yang dioperasikan di perairan pantai pada malam hari dengan cahaya lampu sebagai penarik ikan. Untuk memindahkan bagan digunakan perahu, maka dinamakan perahu bagan. Perahu bagan ini beroperasi di laut tenang dan tidak berombak dan khusus dipergunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil atau ikan teri.

         Di Pesisir Selatan, Sumbar bagan itu dikenal dengan Bagan Talai. Nelayan bagan berangkat ke laut pada sore hari sekitar pukul 17.00 WIB lalu pulang pada pagi hari. Sepanjang malam mereka menjaga jaring talai mereka dan menunggu hingga ikan berkumpul banyak untuk kemudian diangkat. Begitu sehari-hari mereka mencari penghidupan.

         Budaya yang terbentuk dari aktivitas berbagan itu tidak hanya terjadi di tengah laut, antara nelayan saat menangkap ikan, tetapi telah dimulai dari saat proses pembuatan bagan.

         Gubernur Sumbar Irwan Prayitno dalam beberapa kesempatan mengatakan sulit untuk melarang nelayan melakukan apa yang telah menjadi budaya bagi mereka. Apalagi itu menjadi mata pencarian utama keluarga.

         Berdasarkan hal itu, ia memerintahkan Kepala Dinas KP Sumbar, Yosmeri untuk menjelaskan budaya nelayan di daerah itu agar aturan yang dikeluarkan kementerian bisa mengecualikan bagan.

         Kalau bisa ada revisi terhadap Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawl) dan Pukat Tarik (seinen net).

         Juga Peraturan Menteri Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP RI).

         Puluhan kali pertemuan dengan Kementerian KP sejak 2016 membuahkan hasil positif. Meski belum ada revisi, tetapi kementerian memberikan kelonggaran barupa penundaan pelaksanaan aturan.

         Penundaan itu dari awalnya pelaksanaan pada Januari 2017 menjadi Juni 2017. Selama masa itu, nelayan bagan diminta mematuhi aturan yang ada terutama terkait mata jaring yang digunakan dan penggunaan cahaya lampu.

         Namun hal itu ternyata tidak bisa dipenuhi nelayan bagan. Karena jika menggunakan mata jaring 2,5 inci sesuai aturan, maka ikan yang menjadi tangkapan utama yang memang ukurannya kecil, tidak bisa dijaring.

         Untuk jenis ikan pelagis kecil atau sering disebut ikan teri itu dibutuhkan mata jaring empat milimeter. Tetapi mata jaring itu dilarang oleh Kementerian KP.

         Penundaan pelaksanaan aturan kembali dilakukan dari Juni 2017 menjadi Desember 2017 untuk nelayan bagan dengan instruksi yang sama yaitu mematuhi aturan yang ada. Dan bisa ditebak, nelayan tidak bisa mengikuti aturan itu.

         Pada Januari 2018, Kementerian KP tidak lagi memberikan kelonggaran. Aturan dilaksanakan dengan tegas hingga nelayan bagan di Sumbar tidak bisa lagi melaut.

         Mereka takut, tanpa mengantongi izin penangkapan ikan, mereka akan ditangkap oleh aparat jika nekad terus melaut.

         Kepala Dinas KKP Sumbar Yosmeri mengatakan ketakutan nelayan itu wajar, karena tidak memiliki dokumen yang dibutuhkan untuk melaut. Tanpa itu, sesuai aturan aparat berwenang bisa melakukan penangkapan.

         Ia mengatakan pihaknya terus mengupayakan perpanjangan izin melaut bagi nelayan bagan itu agar dapat kembali melaut setelah 1 Januari 2018.

         "Kami akan kembali didiskusikan dengan Gubernur terkait hal ini sebelum mengambil keputusan terkait nelayan bagan ini," kata dia.

         Ia berharap ada kelonggaran kembali yang diberikan oleh Kementerian KP untuk nelayan bagan di Sumbar. Karena tanpa itu efeknya buruk terhadap nelayan dan perekonomian daerah. (*)

Pewarta : Miko Elfisha
Editor : Azhari
Copyright © ANTARA 2024