Sawahlunto, (Antara Sumbar) - Petani kemiri di Desa Taratak Bancah Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, membutuhkan bantuan pemerintah berupa alat penyulingan dan bibit untuk mengembangkan usaha mereka.
"Saat ini potensi hasil panen petani telah mencapai sekitar 30 ton untuk setiap satu kali musim panen," kata Kepala Desa setempat, Sudirman di Sawahlunto, Rabu.
Hasil panen tersebut dijual ke pedagang pengumpul di desa itu dengan harga berkisar antara Rp5.000 hingga Rp5.500 per kilogram untuk kemiri yang belum dikupas, sementara untuk kemiri kupas dijual dengan harga sekitar Rp22.000.
Untuk mendongkrak nilai jual komoditas tersebut, jelasnya, adalah dengan melalui proses penyulingan minyak kemiri dengan harga jual mencapai ratusan ribu rupiah per liter.
"Namun untuk membangun pabrik olahan minyak kemiri tersebut membutuhkan biaya yang cukup besar, sehingga tidak mampu dibiayai jika hanya mengandalkan dana desa yang sudah diatur tata cara pengelolaannya berdasarkan pos anggaran tertentu yang sudah disepakati," kata dia.
Sementara itu, seorang pelaku usaha budidaya komoditas kemiri di desa itu, Arifno menyebutkan, selain alat suling ia bersama petani lainnya juga membutuhkan bantuan berupa pengadaan bibit berkualitas.
Menurut dia, ketersediaan lahan perkebunan di desa itu mencapai luas sekitar 1.000 hektare lebih. Saat ini berstatus hutan produksi setelah dilepas dari status kawasan hutan lindung pada era 90-an.
Selain budidaya kemiri yang bibitnya diperoleh dari hasil pembibitan sendiri, mereka juga memanfaatkan lahan tersebut untuk menanam komoditas perkebunan lainnya, yakni kakao, karet dan lain sebagainya.
Disinggung tentang bantuan pemerintah setempat, dia mengungkapkan, sebelumnya mereka telah memperoleh bantuan mesin pemecah kulit kemiri namun sebagian besar petani enggan memanfaatkannya karena ketika digunakan justru menjadikan biji kemiri banyak yang pecah sehingga harga jual menjadi turun.
"Petani lebih memilih untuk memecahkan kulit kemiri secara manual dengan alat sederhana berupa belitan karet ban dalam sepeda motor yang dibentuk menyerupai limas dengan ukuran tertentu," katanya.
Untuk membuka kulit tersebut, mereka harus mengeluarkan biaya untuk membayar upah pekerja sebesar Rp2.000 per kilogram dan menjadi salah satu mata pencaharian baru bagi kelompok masyarakat lainnya.
Di samping upah, pekerja tersebut juga bisa memanfaatkan kulit sisa pengupasan kemiri tersebut untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif pengganti kayu bakar yang dijual ke pemilik restoran atau dipakai sendiri.
Menanggapi keinginan masyarakat tersebut, Ketua Komisi II DPRD setempat, Bakri SP ME, berjanji menindaklanjuti keinginan masyarakat itu bersama pihak terkait yang menjadi mitra lembaganya.
"Saya yakin daerah ini memiliki kemampuan keuangan untuk itu jika memang ada niat untuk membantu usaha masyarakat dan itu jauh lebih baik ketimbang membangun sesuatu yang bersifat monumental seperti taman, tugu dan makam dengan nilai miliaran rupiah," tegasnya. (*)