Padang, (Antara Sumbar)  - Anggota Komisi XI DPR RI  daerah pemilihan Sumatera Barat, Refrizal mengingatkan pemerintah agar waspada terhadap tingkat ketimpangan ekonomi dan pemerataan distribusi pendapatan.

          "Berdasar data Global Wealth Report yang dirilis oleh Credit Suisse's 2016, Indonesia menempati posisi keempat negara dengan tingkat ketimpangan ekonomi tertinggi di dunia karena   satu  persen  orang terkaya menguasai 49,3 persen  kekayaan nasional," kata dia saat dikonfirmasi dari Padang, Sabtu.

          Ia menyebutkan negara dengan ketimpangan ekonomi tertinggi dunia berdasarkan rangking yaitu  Rusia 74,5 persen, India 58,4 persen, Thailand 58 persen.

         Dari data yang dirilis oleh Credit Suisse, Indonesia masuk dalam kondisi ketimpangan yang cukup tertinggi, saya  harap pemerintah serius mengatasi persoalan ini dan mampu menjawab problem distribusi pendapatan, katanya.

          Ia menilai efek dari tingginya tingkat ketimpangan tersebut adalah rawannya kejahatan sosial di masyarakat.

          Kemudian ia mengingatkan agar pemerintah waspada terhadap  kinerja pertumbuhan kredit perbankan yang melambat dan meningkatnya NPL (Non Performing Loan) atau kredit bermasalah.

          Data Agustus 2016 pertumbuhan kredit di angka 6,7 persen  atau terendah sejak krisis global 2008, sedangkan NPL perbankan meningkat 3,22 persen, sebut dia.

         Refizal melihat kinerja perbankan di 2016 tidak terlalu baik, terjadi pelambatan pertumbuhan kredit yang diiringi dengan peningkatan NPL.

         Walau NPL belum mencapai 5 persen  namun diharapkan pemerintah berperan aktif mengatasi persoalan ini, katanya.

         Ia menerangkan  kekhawatiran ini menjadi relevan bila dikaitkan dengan keinginan presiden Jokowi yang mencanangkan program bunga satu angka  untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

         Bila tidak diatasi dengan serius, suku bunga perbankan "single digit" sulit untuk direalisasikan, lanjut dia.

         Selain itu ia melihat terbitnya Peraturan Pemerintah  nomor  1 Tahun 2017 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan terindikasi melanggar UU No.4/2009 tentang Minerba, karena secara jelas dinyatakan bahwa kegiatan ekspor mineral mentah terlarang.

         Kebijakan ini,  akan membuat pembangunan hilirisasi industri menjadi terhambat,  efeknya akan merugikan perekonomian Indonesia,  apalagi ditengarai berdasar data dari Asosiasi Industri Pengolahan investasi di sektor ini sudah lebih dari Rp150 triliun, kata dia.

        Oleh karena itu ia  meminta pemerintah harus memikirkan efek kebijakan ini terhadap struktur APBN 2017, seperti berapa besaran pajak ekspor yang diterima atau lapangan pekerjaan yang berkurang.

         Diharapkan kualitas pertumbuhan ekonomi di 2017 ini lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sehingga dapat memberikan dampak maksimal bagi kesejahteraan bangsa, terangnya.

          Sejalan dengan itu Bank Indonesia perwakilan Sumbar  mencatat kredit bermasalah usaha menengah di provinsi itu sudah melampaui batas karena hingga Juli 2016 berada pada posisi 12,5 persen.

         "Ambang batas maksimal kredit bermasalah yang ditetapkan Bank Indonesia adalah di bawah lima persen, kalau 12,5 persen itu artinya sudah parah sekali," kata Kepala Bank Indonesia perwakilan Sumbar, Puji Atmoko.

         Ia menegaskan kredit bermasalah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) Sumbar hingga Juli 2016 mencapai 7,6 persen dengan perincian usaha mikro 3,1 persen, usaha kecil 7,1 persen dan usaha menengah 12,5 persen.

        "Artinya pelaku usaha mikro dan kecil masih cukup baik perkembangannya, namun yang menengah sudah tidak sehat karena nilai pinjamannya lumayan besar," ujar dia.

         Ia  mengingatkan perbankan harus lebih hati-hati ketika menyalurkan kredit dan ini butuh dukungan pihak terkait untuk menyelesaikannya.  (*)
 


Pewarta : Ikhwan Wahyudi
Editor :
Copyright © ANTARA 2024