Sawahlunto, (Antara Sumbar) - Aktivis LSM Fortaran Sumatera Barat Yuheldi Nasution SH mendesak penyidik mengusut dokumen APBD 2016 Kota Sawahlunto yang dilakukan perubahan secara sepihak tanpa diketahui DPRD setempat.
"Kasus tersebut pada dasarnya sudah memiliki dua alat bukti yang cukup untuk dilanjutkan ke tahap penyelidikan dan penyidikan, salah satunya pengakuan pihak eksekutif di hadapan Komisi I DPRD Kota Sawahlunto itu," kata dia, saat dihubungi di Padang, Sabtu (21/5) malam.
Dia juga menyesalkan ketidaktegasan pimpinan DPRD Kota Sawahlunto yang tidak berupaya menindaklanjuti permasalahan itu dengan membentuk panitia khusus (pansus), untuk menghimpun data dan fakta serta menyampaikan secara tertulis ke pihak penegak hukum sebagai laporan.
Menurutnya, dalam persoalan itu terkesan ada upaya pembungkaman masalah untuk tujuan tertentu tanpa mempertimbangkan akibatnya bagi proses pembangunan yang berlangsung jika permasalahan tersebut tidak segera dituntaskan.
"Bahkan kami mensinyalir ada upaya 'membetulkan' kembali mata anggaran yang sempat ditambah, dikurangi serta dihapus tersebut pada APBD Perubahan 2016," ujarnya lagi.
Menurutnya, meskipun belum bisa dibuktikan perbuatan tersebut telah merugikan keuangan dan perekonomian negara, namun secara hukum pidana umum pelakunya sudah bisa dituntut karena dokumen tersebut setelah disepakati dan ditandatangani dalam rapat paripurna maka secara hukum konstitusi akan berstatus dokumen negara dengan klasifikasi sebagai lembaran daerah dalam hirarki peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia.
Hal itu dengan tegas diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang - undangan dan prosedur penyusunan produk hukum daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 52 Tahun 2015 tentang pedoman penyusunan APBD 2016 dalam mekanisme penganggaran.
Dalam Permendagri tersebut, lanjutnya, dijelaskan bahwa penambahan, perubahan, pengurangan, rasionalisasi dan lain sebagainya terhadap dokumen APBD harus melibatkan lembaga legislatif dan eksekutif dan dituangkan kembali dalam bentuk kesepakatan dua lembaga tersebut.
"Secara logika konstitusi seharusnya pihak legislatif menyikapinya sebagai pelanggaran tehadap kedaulatan rakyat, mengingat lembaga tersebut bukanlah milik pimpinan atau anggota dewan melainkan lembaga negara yang anggotanya dipilih oleh rakyat melalui proses demokrasi," kata dia pula.
Sebelumnya, Komisi I DPRD Kota Sawahlunto menduga dokumen APBD 2016 kota itu telah cacat hukum karena adanya perubahan mata anggaran yang tidak melalui mekanisme dan aturan.
"Kami menemukan adanya beberapa mata anggaran yang diubah dan dihilangkan yang mengakibatkan terjadi perubahan materi kesepakatan antara pihak eksekutif dan legislatif pada saat penandatanganan dokumen tersebut melalui sidang paripurna DPRD Sawahlunto," kata Wakil Ketua Komisi I DPRD Kota Sawahlunto Neldaswenti, di Sawahlunto beberapa waktu lalu.*