Sawahlunto, (Antara) - Penambang batubara di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, mengeluhkan dugaan praktik monopoli pasokan batubara ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sijantang yang berada di Kecamatan Talawi.

         Direktur CV Bina Mitra Kencana (BMK) salah satu perusahaan tambang rakyat di kota itu, Jon Reflita di Sawahlunto, Rabu, mengatakan usaha pertambangan batubara milik mereka nyaris tidak bisa beraktivitas, akibat terbatasnya pasokan batubara lokal yang diterima unit pembangkit listrik tersebut, sejak beberapa tahun belakangan ini.

         "Pasokan dikuasai oleh salah satu perusahaan tambang asal Provinsi Sumatera Selatan, produksi penambang lokal hanya diterima ketika mereka kesulitan memasok dan jumlah permintaan pun tidak mampu menutupi biaya operasional kami," kata dia.

         Akibatnya, lanjut dia, para penambang lokal terpaksa harus menanggung kerugian miliaran rupiah, karena harus menghidupi hampir seribuan orang pekerja tambang, yang merupakan masyarakat kota itu.

         Padahal, jelasnya, sejauh pengetahuannya spesifikasi alat pembangkit listrik di PLTU Sijantang seharusnya menggunakan bahan baku batubara lokal, dengan skala enam satuan kalori.

         "Sementara pasokan yang ada saat ini, jelas tidak memenuhi standar tersebut karena kualitasnya masih di bawah batubara yang ada di perut bumi kota ini," ujar dia.

         Pihaknya meminta permasalahan minimnya pasokan batubara dari mereka ke PLTU Sijantang, segera disikapi dengan tegas oleh pihak terkait.

         "Ini bukan sekedar masalah keuntungan yang bisa kami terima, melainkan menyangkut nasib ribuan orang masyarakat serta berimbas pada pendapatan daerah juga," kata dia.

         Sementara itu, Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Sawahlunto, Deri Asta, menilai masalah tersebut membutuhkan ketegasan dari pihak pemerintah daerah.

         "Sebagai salah satu daerah penghasil batubara, seharusnya mampu menjadi penyangga pendapatan daerah melalui royalty yang diterima," kata dia.

         Menurutnya, dengan terjadinya dugaan praktik monopoli pasokan di pembangkit listrik dari tambang yang ada di daerah lain, bisa dikatakan kota itu tidak mendapatkan keuntungan apa-apa.

         "Daerah ini hanya mendapatkan abu dan ruas jalan yang rusak, karena aktivitas pengangkutan batubara tersebut harus melewati jalan utama yang melewati pusat kota," ujar dia.

         Karena, lanjutnya, sesuai aturan pembagian royalty hanya diperoleh oleh daerah asal tambang tersebut berada. Dengan kata lain, berapa pun pasokan yang masuk ke kota itu dari daerah lain, hasilnya hanya dinikmati oleh daerah tersebut.

         "Pada akhirnya, potensi batubara yang ada di kota ini lambat laun akan kehilangan manfaat bagi daerah, tak hanya di Kota Sawahlunto melainkan bagi Provinsi Sumatera Barat," kata dia.

         Sebelumnya, Pelaksana Harian (PLH) Manajer PLTU Sijantang, Mustika Effendi mengatakan kebutuhan batubara di pembangkit listrik tersebut dipasok oleh perusahaan tambang rakyat di kota itu.

         Menurutnya, pengusaha lokal hanya mampu memenuhi 50 persen dari total kebutuhan batubara, sehingga terpaksa ditambah dengan mendatangkan pasokan dari luar daerah Kota Sawahlunto.

          Terkait penanganan limbah abu batubara yang dihasilkan, Kepala Bidang Lingkungan Hidup pada Badan Lingkungan Hidup setempat, Iwan Kartiwan, mengatakan Izin pembuangan limbah abu sisa pembakaran batubara di PLTU Sijantang, masih terkendala hingga saat ini.

         Hal itu disebabkan rekomendasi pihak Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH), yang menyaratkan kembali perubahan tata lokasi tempat pembuangan yang dinilai masih belum memenuhi standar keamanan dalam penanganan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). (*)

Pewarta : Rully Firmansyah
Editor :
Copyright © ANTARA 2024