Jakarta, (AntaraSumbar) - Mahkamah Agung memperberat hukuman mantan ketua umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum dari tujuh tahun penjara menjadi 14 tahun penjara.
Denda Rp5 miliar subsidair satu tahun empat bulan bulan kurungan, serta Anas juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp57.592.330.580,- kepada Negara.
Anggota majelis hakim kasasi perkara tersebut, Krisna Harahap, di Jakarta, Senin, membenarkan putusan itu serta apabila uang pengganti ini dalam waktu satu bulan tidak dilunasinya maka seluruh kekayaannya akan dilelang dan apabila masih juga belum cukup, ia terancam penjara selama empat tahun.
Majelis Hakim Agung yang terdiri atas Artidjo Alkostar, Krisna Harahap dan MS Lumme itu mengabulkan pula permohonan Jaksa Penuntut Umum dari KPK yang meminta agar Anas dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih untuk menduduki jabatan publik.
Majelis berkeyakinan bahwa Anas telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a UU TPPK jo Pasal 64 KUHP, pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Pasal 3 ayat (1) huruf c UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003.
Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI sebenarnya telah meringankan vonnis Pengadilan Negeri dari delapan tahun menjadi tujuh tahun.
Anas Urbaningrum, anggota Komisi X DPR dan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR oleh Majelis Hakim dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan korupsi dan melakukan tindak pidana pencucian uang sehubungan dengan proyek P3SON Hambalang.
Di dalam pertimbangannya, MA menolak keberatan terdakwa yang menyatakan bahwa tindak pidana asal (predicate crime) dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) harus dibuktikan terlebih dahulu.
Majelis Agung mengacu kepada ketentuan Pasal 69 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang menegaskan bahwa predicate crime tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu.
Majelis yang memeriksa kasasi Anas Urbaningrum ini menyatakan pula bahwa adalah keliru pertimbangan pengadilan tingkat pertama dan banding yang menyatakan bahwa hak terdakwa untuk dipilih dalam jabatan publik tidak perlu dicabut mengingat untuk memperoleh jabatan tersebut, tergantung kepada publik sehingga harus dikembalikan kepada penilaian publik atau masyarakat itu sendiri.
Sebaliknya, Mahkamah Agung berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin.
Kemungkinan bahwa publik salah pilih kembali haruslah dicegah dengan mencabut hak pilih seseorang yang nyata-nyata telah mengkhianati amanat yang pernah diberikan publik kepadanya, katanya. (*)