Jakarta, (Antara) - Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 padahal sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Pengamat Asosiasi Kader Sosio Ekonomi Strategis (Akses) Suroto di Jakarta, Kamis, mengatakan ia menyesalkan ketika Agenda Prolegnas 2015 tidak memasukkan pembahasan RUU Perkoperasian. "Padahal Putusan MK setelah pembatalan UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian mengamanatkan agar segera disusun UU yang baru untuk menggantikan UU Nomor 25 Tahun 1992 yang sudah tidak memadai lagi," katanya. Menurut dia, pada dasarnya proses penyusunan RUU Perkoperasian juga sebetulnya akan lebih mudah jika pemerintah lebih bersikap mau terbuka pada publik. Ia mencontohkan, misalnya dengan memperhatikan apa yang menjadi putusan pembatalan UU Nomor 17 Tahun 2012 oleh MK dengan melibatkan para pihak yang melakukan Judicial Review tahun lalu. "Saya tidak tahu, sepertinya Pemerintah dan Parlemen kehilangan keinginan untuk menyesaikan RUU Perkoperasian. Sampai saat ini bahkan saya juga tidak mendengar ada pelibatan secara terbuka pada gerakan koperasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli pada koperasi dan terlibat dalam Uji Materi di MK untuk diajak membahas," katanya. Ia menilai Pemerintah dan Parlemen tidak melihat pembahasan RUU Perkoperasian sebagai hal penting. "Padahal kita saat ini sedang gencar-gencarnya untuk membangun infrastruktur," katanya. Menurut dia, pengertian infrastruktur terlihat hanya dipahami secara fisik saja dan cenderung melupakan bahwa koperasi adalah infrastruktur sosial ekonomi yang penting bagi pembangunan yang demokratis dan berkelanjutan dan bahkan disebut dalam konstitusi sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi. Ia berpendapat UU Perkoperasian yang ada saat ini sudah tidak memadai lagi untuk menjawab tantangan ekonomi dan sosial ke depan. "Bahkan kita desifit kelembagaan koperasi yang berfungsi untuk mendorong partisipasi sosial dan ekonomi masyarakat secara luas," katanya. Indonesia, kata dia, juga sedang mengalami defisit koperasi yang baik bagi pencapaian upaya ketahanan, kedaulatan dan keadilan pangan. Keberadaan UU Perkoperasian baru, menurut dia, adalah hal yang mendesak karena koperasi sejatinya mampu menyejahterakan dan menghindarkannya dari penguasaan kapital pada segelintir orang. Ia menegaskan, koperasi sebetulnya merupakan instrumen penting untuk juga meredakan bentuk komersialisasi dan komodifikasi barang/jasa dan layanan publik yang marak saat ini. "Pemerintah dan Parlemen harus mempertimbangkan kembali RUU Perkoperasian agar masuk dalam agenda Prolegnas. Kalau tidak kita juga akan kesulitan nantinya untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean yang sudah di depan mata," katanya. (*/sun)

Pewarta : 22
Editor :
Copyright © ANTARA 2024