Pertengkaran sengit di antara beberapa jenderal purnawirawan Tentara Nasional Indonesia atau TNI selama beberapa hari terakhir ini mengundang tanya jawab di kalangan masyarakat, sehingga kemudian muncul pertanyaan apakah para pensiunan itu masih menghormati atau menghargai institusi militer yang membesarkan mereka. atau tidak.

        "Penculikan dilakukan mulai Desember 1997 sampai Februari 1998. Penculikan itu jelas tidak sesuai dengan kebijakan pimpinan," kata mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan dan juga mantan Panglima angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Jenderal TNI Wiranto dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat.

         Masalah itu dikemukakan Wiranto ketika mengomentari tuduhan terhadap mantan komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI-Angkatan Darat Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Prabowo Subianto yang merupakan calon presiden dalam Pemilihan Presiden pada 9 Juli 2014.

         Wiranto yang kini merupakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) menyebutkan Prabowo telah dituduh melakukan penculikan terhadap sejumlah tokoh mahasiswa dengan menggunakan anak buahnya di satuan elit Kopassus.

         Saat peristiwa "penculikan" itu terjadi, yang menjadi panglima ABRI adalah Jenderal TNI Feisal Tanjung yang menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah memerintahkan tindak penculikan.

          Karena itu, Wiranto yang mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla menyebutkan bahwa tindak kekerasan penculikan itu merupakan prakarsa atau insiatif Prabowo sendiri.

         Namun tuduhan yang dilontarkan Wiranto itu langsung dibantah keras oleh mantan kepala staf umum ABRI Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Suryo Prabowo. "Rakyat tahu bahwa Wiranto itu sering berbohong," kata purnawirawan berbintang tiga emas itu.

         Presiden Bacharudin Jusuf Habibie kemudian memberhentikan Prabowo setelah munculnya saran atau rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) agar Prabowo diberhentikan atau dipecat.

        Sementara itu, juru bicara tim pemenangan Prabowo-Hatta Rajasa, Marwah Daud Ibrahim  pada Jumat siang juga menjelaskan bahwa Prabowo diberhentikan dengan hormat dan mendapat pensiun sehingga tidak mungkin dia ditafsirkan atau dianggap dipecat.

         Persoalan ini menjadi sorotan masyarakat terutama karena Prabowo adalah calon presiden yang berhadapan dengan Jokowi, apalagi hasil survei berbagai lembaga menunjukkan bahwa semakin tipis perbedaan suara antara Jokowi dengan mantan panglima Komandan Cadangan Strategis TNI- AD atau Kostrad.

        Sekalipun Wiranto mengaku bahwa ia bukan berbicara dalam posisi atau kapasitasnya sebagai Ketua Umum Demokrat, ternyata pensiunan jenderal ini didampingi Wakil Sekretaria Jenderal DPP Hanura Fariza Irawadi.

         Baik Wiranto maupun Prabowo sama-sama mengikuti pilpres tahun 2009, namun saat itu tidak terjadi keributan mengenai keterlibatan Prabowo terhadap puluhan tokoh mahasiswa dan aktivis hak asasi manusia yang puluhan orang.

        Pertanyaan yang timbul dalam masyarakat adalah kalau pada tahun 2009 saja tidak terjadi perdebatan seru mengenai masalah penculikan yang ditujukan kepada Prabowo, maka kenapa justru sekarang masalah ini masih saja diutak-atik?

"Kampanye Hitam"

     Selama masa kampanye pilpres 2014 ini, masyarakat menonton atau bahkan menghadiri langsung kampanye yang dilaksanakan tim pemenang dua calon terutama di lapangan, di pasar hingga datangnya pemusik-pemusik terkenal. Namun ternyata, juga ada kampanye yang tidak nampak secara fisik yang lebih dikenal dengan sebutan " black campaign" atau kampanye hitam yang bisa diduga sebagai kampanye yang menjelek-jelekkan pihak lawan.

        Kampanye hitam ini mulai dari masalah sederhana hingga yang berat seperti pertanyaan tentang agama, suku hingga diterbitkannya brosur dan tabloid.

        Belum lagi tentang tuduhan prajurit TNI terutama bintara pembina desa atau babinsa TNI-AD yang didakwa memaksa warga untuk memilih calon presiden tertentu seperti yang dilontarkan kepada Kopral Satu Rusfandi di Jakarta Pusat. Akibatnya, Koptu Rusfandi harus masuk sel dan kenaikan gajinya ditunda selama 18 bulan.

         Hukuman terhadap Koptu itu diumumkan oleh Markas Besar TNI-AD, namun kemudian Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko membantah adanya prajurit TNI yang melanggar prinsip netralitas TNI itu.

         "Tidak ada babinsa yang melanggar netralitas TNI," kata Jenderal Moeldoko usai memimpin rapat para jenderal yang menjadi pimpinan berbagai lembaga dan satuan.

         Jika masyarakat merenungkan "pertengkaran" antara Wiranto dengan Prabowo dan juga anak buah mereka yang semuanya merupakan jenderal pensiunan maka akan timbul pertanyaan kenapa mereka harus bertengkar di depan publik dan apakah mereka tidak memperhitungkan dampak negatifnya terhadap ratusan ribu prajurit ?

     Wiranto, Prabowo, Jenderal Suryo Prabowo serta mantan panglima TNI Jenderal TNI Purnawirawan Djoko Santoso merupakan pensiunan sehingga mereka tidak mempunyai garis komando ke satuan yang mana pun juga sehingga mereka tidak punya hak lagi memerintahkan para prajurit untuk melakukan sesuatu atau sebaliknya tidak melakukan hal apa pun juga dalam pilpres ini.

         Namun di belakang ratusan ribu prajurit itu, terdapat jutaan jiwa mulai istri, suami, anak hingga cucu mereka sehingga jutaan orang anggota keluarga TNI itu yang memiliki hak suara bisa memainkan peran yang besar dan penting dalam memenangkan suara.

         Bagi para pensiunan terdapat wadah Pepabri atau Persatuan Purnawirawan TNI dan Polri. Kemudian ada lagi organisasi Forum Komunikasi Putra dan Putri Purnawirawan  dan Anggota TNI-Polri. Jika saja terdapat sekitar 400.000 hingga 500.000 anggota TNI yang kemudian ditambah lagi dengan anggota Polri, maka keluarga besar TNI dan Polri merupakan kekuatan yang dahsyat yang harus diperhitungkan para capres, cawapres dan politisi dari partai yang mana pun juga.

         Kalau pertengkaran Wiranto dan Prabowo terus dilanjutkan maka apakah para jenderal ini masih pantas untuk dihormati atau dihargai oleh "anak-anak mereka" para prajurit dan keluarganya"? 

    Persaingan sengit Prabowo dan Wiranto akhirnya bisa mengakibatkan keluarga besar TNI dan juga Polri untuk tidak memilih Prabowo atau Jokowi atau bahkan mungkin menjadi kelompok  golput atau golongan putih atau orang-orang yang tidak sudi untuk pergi ke tempat pemungutan suara atau TPS.

        Wiranto dan Prabowo serta para pengikutnya harus kembali ke posisinya bahwa sekalipun mereka sudah pensiunan, maka lembaga TNI harus tetap yang paling dihormati dan dijunjung tinggi sehingga politik harus menjadi pilihan kedua.

         Pertarungan Wiranto dan Prabowo hanya bisa mengakibatkan prajurit-prajurit dan keluarga mereka menjadi marah atau geram dan kemudian mengambil sikap bagaikan anak-anak mereka yang berkata "emang gua pikirin".

          Siapa pun mengakui bahwa sejak dulu hingga sekarang TNI atau dahulu  ABRI merupakan organisasi modern yang  paling kompak atau solid yang praktis tidak pernah terkotak-kotak atau terpecah belah. Jika TNI saja bisa menjadi wadah yang  "gurem" atau jelek gara-gara ulah para jenderal purnawirawan maka bisa terjadi para prajurit tidak mau lagi bertemu dengan para seniornya yang dituduh telah merusak tatanan ini.

         Sementara itu, para politisi harus kembali menghormati atau menghargai lembaga TNI dan Polri serta seluruh prajuritnya, karena prajurit tentara dan polisi merupakan satu-satunya lembaga pemerintah di bidang pertahanan. (*)


Pewarta : Arnaz Firman
Editor :
Copyright © ANTARA 2024